SENGKARUT KASUS BLBI
loading...
A
A
A
Oleh : ROMLI ATMASASMITA
Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) bukan sesuatu hal yang mengejutkan atau harus menimbulkan pro dan kontra bagi setiap ahli hukum, termasuk LSM Antikorupsi. Karena keputusan pemerintah mem-bailout bank-bank pada tahun 1998 adalah tindakan yang dilakukan dalam keadaan darurat (emergency situation) krisis keuangan internasional yang dialami seluruh negara. Pemerintah Indonesia bertindak tidak tanpa landasan hukum karena telah diperkuat satu Ketetapan MPR (Nomor X tahun 2001), satu UU (nomor 25 tahun 2000) dan Instruksi Presiden (nomor 8 tahun 2002). Merujuk pada uraian tersebut, tujuan utama bailout adalah menyelamatkan keuangan dan perekonomian nasional melalui pemulihan iklim perbankan nasional.
Kebijakan negara ini menjadi masalah yang krusial karena beberapa alasan. Alasan pertama bahwa perkembangan masyarakat, termasuk perekonomian nasional, sejak abad ke-19 sangat tergantung pada fluktuasi keuangan internasional, yang tidak dapat dinafikan oleh siapa pun. Alasan kedua, kehidupan sosial ekonomi, politik masyarakat selalu dalam keadaan dinamis, termasuk pola pikir dan pendekatan dalam menilik masalah-masalah hukum di balik suatu peristiwa sosial bahwa pendekatan hukum (pidana) atas suatu peristiwa oleh praktisi hukum yang diduga suatu pelanggaran pidana, masih didominasi paham masa peradaban abad ke-15, yaitu an eye for an eye a tooth for a tooth alias pembalasan (revenge), yang mana tidak lagi relevan dan telah kedaluwarsa dalam peradaban masyarakat abad ke-20-21.
Alasan ketiga, peradaban masa lalu belum mengenal masalah ekonomi dan keuangan terlebih masalah korporasi, melainkan melihat suatu peristiwa laiknya “kacamata kuda”, tidak mempertimbangkan lagi masalah dampak ekonomi dan sosialnya. Saat ini, tidak lagi demikian karena perkembangan masyarakat yang sangat jauh dan sangat dinamis dibandingkan peradaban masyarakat abad ke-15. Perkembangan hukum kekinian selalu berkelindan dengan perkembangan kehidupan ekonomi karena fungsi dan peranan ekonomi saat ini diakui salah satu faktor yang berperanan menentukan nasib dan masa depan suatu bangsa. Hukum dalam konteks ekonomi tidak semata-mata dipandang sebagai alat penjaga/pemelihara ketertiban dan keamanan, akan tetapi juga harus dilihat dari bagaimana seharusnya hukum ditegakkan sehingga tidak berdampak kerusakan lebih besar yang dapat mengganggu atau menghambat kesinambungan perkembangan ekonomi nasional. Alasan keempat, kelemahan mendasar dalam teori dan praktik hukum adalah mengabaikan fungsi dan peranan hukum dalam mencapai tujuan hukum, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Hukum hanya diperlakukan sebagai peraturan tertulis yang harus dibaca dan diterapkan dengan memperhatikan lex scripta, lex stricta, dan lec certa.
Kerumitan penyelesaian dugaan pelanggaran hukum dalam kasus BLBI adalah disebabkan pola pikir tersebut. Alasan kelima, penanganan kasus BLBI sejak awal tidak menerapkan prinsip “due care”, “due process of law” yang berdampak miscarriage of justice sehingga mengakibatkan pelanggaran terhadap prinsip ne bis in idem (subjek dan objek perkara yang sama dituntut dua kali). Alasan kelima, objektivitas dan prinsip-prinsip yang seharusnya dihormati terkait perlindungan hak asasi manusia telah tergerus oleh opini publik yang seharusnya dikritisi, tidak dilakukan KPK Jilid III hanya karena semangat “zero tolerance to corruption”. Jargon yang tidak lagi relevan dan bermanfaat dari aspek ekonomi bagi negeri kita karena terbukti di belahan negara di luar kita, korupsi dapat dihentikan penyidikannya melalui “deferred prosecution agreement” dengan alasan pelaku korupsi telah membayar denda administratif kepada negara.
Yang jelas dan pasti bahwa biaya negara untuk KPK terbukti lebih tinggi daripada pemasukan keuangan negara (Akuntabilitas KPK dan ICW, Prenada, 2016). Alasan keenam, kelalaian akademisi dan praktisi hukum yang tidak melihat perbedaan besar antara sanksi administratif yang bertujuan memulihkan sesuatu masalah dan sanksi pidana yang bertujuan membuat pelaku menjadi jera, akan tetapi tidak menyelesaikan masalah secara keseluruhan yaitu dampak sosial ekonomi pelaku dan masyarakat sekitarnya. Kelalaian terbesar dan bersifat serius adalah asumsi umum bahwa sanksi pidana merupakan solusi satu-satunya dalam menyelesaikan masalah hukum dan pada saat yang sama, tujuan kepastian dipertentangkan dengan tujuan keadilan, sedangkan tujuan kemanfaatan luput sama sekali dari perhatian aparatur hukum. Di dalam masa pembangunan nasional saat ini, hukum harus mengawal, bukan menghambat, apalagi “mencelakakannya. Kasus BLBI atas nama SYN ternyata pada bulan Juli tahun 2004 telah dihentikan Kejaksaan Agung RI dengan alasan “peristiwa yang dilakukan (SYN sic.pen) bukan merupakan tindak pidana”. Dan, menimbulkan pertanyaan adalah 15 tahun kemudian, KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) menetapkan SYN dan ISYN menjadi tersangka pada tanggal 13 Mei 2019 dengan tuduhan yang sama, sekalipun KPK Jilid III berdalih bahwa objek perkara untuk tersangka yang sama berbeda.
Harus penulis akui secara jujur bahwa penetapan tersangka kedua kali terhadap SYN dan IYSN merupakan over kriminalisasi dan miscarriage of justice. Keputusan Pimpinan KPK Jilid IV patut diapresiasi karena bukan hanya berani menegakkan hukum, akan tetapi sekaligus telah berani bersikap secara moral yang dibenarkan untuk tidak menunda-nunda keadilan yang akan mengakibatkan ketidakadilan bagi siapa pun tersangkanya, karena cara sedemikian juga termasuk pelanggaran hak asasi manusia yang diakui UUD 1945, hak setiap orang untuk memperoleh jaminan dan perlindungan kepastian hukum yang adil dan persamaan perlakuan di muka hukum.
Di dalam UNCAC 2003, ketentuan internasional menegaskan semangat antikorupsi seharusnya tetap dipelihara, akan tetapi tidak melanggar prinsip-prinsip dasar UNCAC, yaitu hak asasi manusia. Berkaca pada pengalaman hukum menangani kasus BLBI dan sejenisnya di masa yang akan datang kiranya sejak saat ini pendekatan keadilan responsif dan keadilan restoratif sepatutnya dijadikan rujukan utama kalangan aparatur penegak hukum; lebih mulia lagi jika selain tujuan kepastian, keadilan dan kemanfaatan juga diakui tujuan hukum keempat, yaitu mencari dan menemukan kebenaran hukum (secara) materiil (legal truth). Sekalipun bukti permulaan yang cukup telah ditemukan, tetapi masih menjadi persoalan di dalam penegakan hukum di negeri ini tentang bagaimana bukti-bukti tersebut diperoleh (?)
Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) bukan sesuatu hal yang mengejutkan atau harus menimbulkan pro dan kontra bagi setiap ahli hukum, termasuk LSM Antikorupsi. Karena keputusan pemerintah mem-bailout bank-bank pada tahun 1998 adalah tindakan yang dilakukan dalam keadaan darurat (emergency situation) krisis keuangan internasional yang dialami seluruh negara. Pemerintah Indonesia bertindak tidak tanpa landasan hukum karena telah diperkuat satu Ketetapan MPR (Nomor X tahun 2001), satu UU (nomor 25 tahun 2000) dan Instruksi Presiden (nomor 8 tahun 2002). Merujuk pada uraian tersebut, tujuan utama bailout adalah menyelamatkan keuangan dan perekonomian nasional melalui pemulihan iklim perbankan nasional.
Kebijakan negara ini menjadi masalah yang krusial karena beberapa alasan. Alasan pertama bahwa perkembangan masyarakat, termasuk perekonomian nasional, sejak abad ke-19 sangat tergantung pada fluktuasi keuangan internasional, yang tidak dapat dinafikan oleh siapa pun. Alasan kedua, kehidupan sosial ekonomi, politik masyarakat selalu dalam keadaan dinamis, termasuk pola pikir dan pendekatan dalam menilik masalah-masalah hukum di balik suatu peristiwa sosial bahwa pendekatan hukum (pidana) atas suatu peristiwa oleh praktisi hukum yang diduga suatu pelanggaran pidana, masih didominasi paham masa peradaban abad ke-15, yaitu an eye for an eye a tooth for a tooth alias pembalasan (revenge), yang mana tidak lagi relevan dan telah kedaluwarsa dalam peradaban masyarakat abad ke-20-21.
Alasan ketiga, peradaban masa lalu belum mengenal masalah ekonomi dan keuangan terlebih masalah korporasi, melainkan melihat suatu peristiwa laiknya “kacamata kuda”, tidak mempertimbangkan lagi masalah dampak ekonomi dan sosialnya. Saat ini, tidak lagi demikian karena perkembangan masyarakat yang sangat jauh dan sangat dinamis dibandingkan peradaban masyarakat abad ke-15. Perkembangan hukum kekinian selalu berkelindan dengan perkembangan kehidupan ekonomi karena fungsi dan peranan ekonomi saat ini diakui salah satu faktor yang berperanan menentukan nasib dan masa depan suatu bangsa. Hukum dalam konteks ekonomi tidak semata-mata dipandang sebagai alat penjaga/pemelihara ketertiban dan keamanan, akan tetapi juga harus dilihat dari bagaimana seharusnya hukum ditegakkan sehingga tidak berdampak kerusakan lebih besar yang dapat mengganggu atau menghambat kesinambungan perkembangan ekonomi nasional. Alasan keempat, kelemahan mendasar dalam teori dan praktik hukum adalah mengabaikan fungsi dan peranan hukum dalam mencapai tujuan hukum, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Hukum hanya diperlakukan sebagai peraturan tertulis yang harus dibaca dan diterapkan dengan memperhatikan lex scripta, lex stricta, dan lec certa.
Kerumitan penyelesaian dugaan pelanggaran hukum dalam kasus BLBI adalah disebabkan pola pikir tersebut. Alasan kelima, penanganan kasus BLBI sejak awal tidak menerapkan prinsip “due care”, “due process of law” yang berdampak miscarriage of justice sehingga mengakibatkan pelanggaran terhadap prinsip ne bis in idem (subjek dan objek perkara yang sama dituntut dua kali). Alasan kelima, objektivitas dan prinsip-prinsip yang seharusnya dihormati terkait perlindungan hak asasi manusia telah tergerus oleh opini publik yang seharusnya dikritisi, tidak dilakukan KPK Jilid III hanya karena semangat “zero tolerance to corruption”. Jargon yang tidak lagi relevan dan bermanfaat dari aspek ekonomi bagi negeri kita karena terbukti di belahan negara di luar kita, korupsi dapat dihentikan penyidikannya melalui “deferred prosecution agreement” dengan alasan pelaku korupsi telah membayar denda administratif kepada negara.
Yang jelas dan pasti bahwa biaya negara untuk KPK terbukti lebih tinggi daripada pemasukan keuangan negara (Akuntabilitas KPK dan ICW, Prenada, 2016). Alasan keenam, kelalaian akademisi dan praktisi hukum yang tidak melihat perbedaan besar antara sanksi administratif yang bertujuan memulihkan sesuatu masalah dan sanksi pidana yang bertujuan membuat pelaku menjadi jera, akan tetapi tidak menyelesaikan masalah secara keseluruhan yaitu dampak sosial ekonomi pelaku dan masyarakat sekitarnya. Kelalaian terbesar dan bersifat serius adalah asumsi umum bahwa sanksi pidana merupakan solusi satu-satunya dalam menyelesaikan masalah hukum dan pada saat yang sama, tujuan kepastian dipertentangkan dengan tujuan keadilan, sedangkan tujuan kemanfaatan luput sama sekali dari perhatian aparatur hukum. Di dalam masa pembangunan nasional saat ini, hukum harus mengawal, bukan menghambat, apalagi “mencelakakannya. Kasus BLBI atas nama SYN ternyata pada bulan Juli tahun 2004 telah dihentikan Kejaksaan Agung RI dengan alasan “peristiwa yang dilakukan (SYN sic.pen) bukan merupakan tindak pidana”. Dan, menimbulkan pertanyaan adalah 15 tahun kemudian, KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) menetapkan SYN dan ISYN menjadi tersangka pada tanggal 13 Mei 2019 dengan tuduhan yang sama, sekalipun KPK Jilid III berdalih bahwa objek perkara untuk tersangka yang sama berbeda.
Harus penulis akui secara jujur bahwa penetapan tersangka kedua kali terhadap SYN dan IYSN merupakan over kriminalisasi dan miscarriage of justice. Keputusan Pimpinan KPK Jilid IV patut diapresiasi karena bukan hanya berani menegakkan hukum, akan tetapi sekaligus telah berani bersikap secara moral yang dibenarkan untuk tidak menunda-nunda keadilan yang akan mengakibatkan ketidakadilan bagi siapa pun tersangkanya, karena cara sedemikian juga termasuk pelanggaran hak asasi manusia yang diakui UUD 1945, hak setiap orang untuk memperoleh jaminan dan perlindungan kepastian hukum yang adil dan persamaan perlakuan di muka hukum.
Di dalam UNCAC 2003, ketentuan internasional menegaskan semangat antikorupsi seharusnya tetap dipelihara, akan tetapi tidak melanggar prinsip-prinsip dasar UNCAC, yaitu hak asasi manusia. Berkaca pada pengalaman hukum menangani kasus BLBI dan sejenisnya di masa yang akan datang kiranya sejak saat ini pendekatan keadilan responsif dan keadilan restoratif sepatutnya dijadikan rujukan utama kalangan aparatur penegak hukum; lebih mulia lagi jika selain tujuan kepastian, keadilan dan kemanfaatan juga diakui tujuan hukum keempat, yaitu mencari dan menemukan kebenaran hukum (secara) materiil (legal truth). Sekalipun bukti permulaan yang cukup telah ditemukan, tetapi masih menjadi persoalan di dalam penegakan hukum di negeri ini tentang bagaimana bukti-bukti tersebut diperoleh (?)
(war)