Fenomena Teroris Lone Wolf, Pakar: Ada Motif Teologis yang Sangat Kuat
loading...
A
A
A
Dedy melanjutkan kaum muda milenial mudah sekali dipengaruhi atau diindoktrinasi oleh gerakan-gerakan teroris karena mereka pada dasarnya adalah orang baru yang tidak memiliki cukup ilmu agama dan sedang berada di dalam situasi kekeringan spiritual yang akut.
Hal itu dimanfaatkan para ulama organik kekerasan dari jaringan teroris untuk menyebarkan ilmu agama secara gratis dan praktis dengan rujukan-rujukan yang yang jelas dan tegas melalui media sosial.
Tentunya penafsiran yang dilakukan oleh para ulama organik kekerasan ini adalah tafsir yang berasal dari kelompok keagamaan yang cenderung tekstual dan skripturalis. “Penafsiran tunggal ini dipahami oleh anak muda milenial, hingga masuk ke dalam jebakan kelompok teroris,” ujar Dedy.
Tafsir tunggal ini kemudian memonopoli seluruh pemahaman world view kaum muda milenial yang direkrut melalui media sosial. “Monopoli penafsiran tunggal yang disebarkan oleh kelompok Jamaah Ansharut Daulah adalah monopoli ala Wahabi Takfiri yang sering mengkafirkan dan membid'ahkan orang-orang Muslim dan juga mereka menanamkan sikap kebencian kepada agama Kristen atau agama non muslim lainnya,” kata Dedy.
“Christophobia adalah sentimen kebencian kepada ada orang tempat ibadah dan dan institusi serta kitab-kitab Kristen,” sambungnya.
Kebencian ini, lanjut Dedy, kemudian di transformasikan sebagai ideologi yang di dalamnya memuat misi serta kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada penghancuran dan penyerangan terhadap orang-orang Kristen dan tempat ibadahnya.
Lantas, bagaimana cara untuk menanggulangi terorisme lone wolf? Menurut Dedy salah satunya dengan mengaktifkan pemantauan melalui cyber police. “Jika cyber police di Indonesia lemah dalam memantau perkembangan dan komunikasi dari kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah, maka kelompok ini akan menguasai dan membajak anak-anak muda Indonesia untuk menjadi tentara-tentara milenial yang dikendalikan secara online,” tegasnya.
Cara lainnya, kata Dedy, dengan menerapkan program kontra wacana atau counter discourse dalam tema-tema yang sering menjadi bahasan kelompok teroris.
“Tema-tema yang sering menjadi bahasannya adalah tentang jihad, Daulah Islamiyah, khilafah, baiat, perang qital, imamah, Al wala wal Baro (loyalitas dan melepaskan diri dari struktur thogut), dll,” papar Dedy.
Selain tu pemerintah harus segera meratifikasi konvensi PBB tahun 2008 tentang daftar organisasi teroris agar menciptakan self control dan self cencorship bagi kaum muda agar tak mengikuti seruan-seruan dari gerakan-gerakan dan organisasi teroris.
Hal itu dimanfaatkan para ulama organik kekerasan dari jaringan teroris untuk menyebarkan ilmu agama secara gratis dan praktis dengan rujukan-rujukan yang yang jelas dan tegas melalui media sosial.
Tentunya penafsiran yang dilakukan oleh para ulama organik kekerasan ini adalah tafsir yang berasal dari kelompok keagamaan yang cenderung tekstual dan skripturalis. “Penafsiran tunggal ini dipahami oleh anak muda milenial, hingga masuk ke dalam jebakan kelompok teroris,” ujar Dedy.
Tafsir tunggal ini kemudian memonopoli seluruh pemahaman world view kaum muda milenial yang direkrut melalui media sosial. “Monopoli penafsiran tunggal yang disebarkan oleh kelompok Jamaah Ansharut Daulah adalah monopoli ala Wahabi Takfiri yang sering mengkafirkan dan membid'ahkan orang-orang Muslim dan juga mereka menanamkan sikap kebencian kepada agama Kristen atau agama non muslim lainnya,” kata Dedy.
“Christophobia adalah sentimen kebencian kepada ada orang tempat ibadah dan dan institusi serta kitab-kitab Kristen,” sambungnya.
Kebencian ini, lanjut Dedy, kemudian di transformasikan sebagai ideologi yang di dalamnya memuat misi serta kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada penghancuran dan penyerangan terhadap orang-orang Kristen dan tempat ibadahnya.
Lantas, bagaimana cara untuk menanggulangi terorisme lone wolf? Menurut Dedy salah satunya dengan mengaktifkan pemantauan melalui cyber police. “Jika cyber police di Indonesia lemah dalam memantau perkembangan dan komunikasi dari kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah, maka kelompok ini akan menguasai dan membajak anak-anak muda Indonesia untuk menjadi tentara-tentara milenial yang dikendalikan secara online,” tegasnya.
Cara lainnya, kata Dedy, dengan menerapkan program kontra wacana atau counter discourse dalam tema-tema yang sering menjadi bahasan kelompok teroris.
“Tema-tema yang sering menjadi bahasannya adalah tentang jihad, Daulah Islamiyah, khilafah, baiat, perang qital, imamah, Al wala wal Baro (loyalitas dan melepaskan diri dari struktur thogut), dll,” papar Dedy.
Baca Juga
Selain tu pemerintah harus segera meratifikasi konvensi PBB tahun 2008 tentang daftar organisasi teroris agar menciptakan self control dan self cencorship bagi kaum muda agar tak mengikuti seruan-seruan dari gerakan-gerakan dan organisasi teroris.