Tenaga Surya Dinilai Lebih Aman Dibandingkan Nuklir

Senin, 29 Maret 2021 - 14:20 WIB
loading...
Tenaga Surya Dinilai Lebih Aman Dibandingkan Nuklir
Tenaga surya. Foto/SINDOnews/Yorri Farli
A A A
JAKARTA - Kecelakaan reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi, Jepang akibat gempa dan tsunami pada 11 Maret 2011 dinilai membuka mata banyak pihak untuk menjadi bahan pembelajaran.

Dampak ekonomi dan sosial akibat peristiwa tersebut menjadi catatan khusus bagi negara-negara yang sudah mengoperasikan maupun masih mempertimbangkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebagai sumber energi.

"Kecelakaan nuklir yang masuk kategori level 7 ini membuat 160.000 orang penduduk belasan desa sekitar pembangkit harus dievakuasi. Diprediksi, pembersihan zat radioaktif akan tuntas dalam kurun waktu 30-40 tahun dan saat ini sudah menghabiskan biaya kerugian sebesar 21 triliun Yen atau Rp2.772 triliun," ujar Dwi Hary Soeryadi, anggota Dewan Energi Nasional 2014-2019.

Dwi menyampaikan itu dalam Kuliah Tamu dan Webinar bertema bertajuk Renewable Energy : Indonesian Prospects & Alternatives Toward Clean Environment yang diselenggarakan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin, Universitas Airlangga, Surabaya, akhir pekan kemarin.

Reaksi negara-negara di dunia terutama setelah terjadinya tragedi Fukushima dinilai juga perlu dicermati sebagai bagian mitigasi.



Dia menjelaskan, negara-negara yang saat ini sudah menggunakan nuklir menjadi lebih waspada dan sangat berhati-hati. Salah satunya, kata Dwi, pernyataan Presiden Korea Selatan Mon Jae-in yang menyebut kecelakaan nuklir Fukushima telah dengan jelas menunjukkan bahwa reaktor nuklir tidak aman, tidak ekonomis dan tidak ramah lingkungan.

Menurut dia, kecelakaan reaktor nuklir yang disebabkan gempa menyebabkan dampak sangat buruk. Oleh karena itu, Korea Selatan secara bertahap akan menonaktifkan reaktor nuklirnya. "Jerman pun demikian akan membekukan semua PLTN yang dimiliki secara bertahap sampai akhir 2022," tandasnya.

Padahal, lanjut dia, Kanselir Jerman Angela Merkel adalah ahli fisika yang memahami betul nuklir seperti apa. Dwi mengutip ahli lingkungan dari Jerman, Jochen Flasbarth yang mengatakan bahwa gagasan energi nuklir dapat membantu iklim adalah ilusi. Sebab, energi nuklir saat ini hanya menghasilkan sekitar 5% pasokan energi dunia.

"Energi terbarukan akan lebih murah dan lebih murah lagi dari tahun ke tahun, sementara energi nuklir menjadi semakin mahal. Masalah keamanan juga menjadi pertimbangan, waktu lamanya pembangunan, biayanya juga sangat mahal dan limbah atomnya pun sampai saat ini belum ada solusi penyelesaiannya seperti apa," sambung Dwi.

Sementara Jepang sejauh ini masih terus menggunakan PLTN. Namun, setelah tragedi Fukushima, sebanyak 54 reaktor langsung ditutup dan dievaluasi. Beberapa reaktor yang dinyatakan tidak layak langsung ditutup permanen dan sebagian upgrade kualitas fisik untuk mengakomodasi standar kemanan yang baru.

"Saat ini baru sembilan reaktor yang disetujui beroperasi kembali. Jepang negara kaya tapi tidak kaya sumber energi maka tidak ada pilihan memfungsikan lagi PLTN," kata Dwi
.
Saat ini, kata Dwi, kurang lebih ada 31 negara dan 400 reaktor nuklir yang terbangun di seluruh dunia. Terbaru adalah reaktor nuklir di UAE dan Bangladesh. UAE mulai membangun pada tahun 2013 dan 2021 akan operasional bekerja sama dengan Korea Selatan dengan total 5,6 Gigawatt. Bangladesh mulai membangun pada 2017 dan akan operasional pada 2024 bekerja sama dengan Rosatom, Rusia sebesar 2,4 Gigawatt.

Lalu bagaimana negara-negara ASEAN menyikapi pembangkit listrik tenaga nuklir? Dwi menyatakan, mantan PM Malaysia Mahathir Mohammad pernah menyampaikan kerisauan soal penanganan limbah radioaktif. Sementara pemerintah Filipina menyoroti ketergantungan impor uranium jika menggunakan PLTN, limbah radioaktif, dan biaya yang mahal, dan keamanan.

Thailand belum pernah mengeluarkan kebijakan terkait nuklir, namun tim penelitiannya tergabung dalam riset reaktor fusi ITER (International Thermonuclear Experimental Reaktor), jenis reaktor yang tidak menghasilkan limbah radioaktif dan sedang dikembangkan oleh konsorsium berbagai negara.

"Vietnam sudah tanda tangan dengan Rosatom, Rusia tahun 2012 tapi tahun itu juga dia batalkan dan berpaling ke energi terbarukan. Sekarang malah mampu membangun PLTS 2.000 MW per tahun dan mulai memproduksi hulu ke hilir PLTS," ujar Dwi.

Prioritas terakhir Indonesia sendiri, kata Dwi, sudah mempertimbangkan nuklir di masa depan melalui PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUES). Dalam kedua payung hukum tersebut sudah jelas bahwa Indonesia punya target 31% energi baru dan terbarukan di tahun 2050 termasuk nuklir di dalamnya.

Kendati demikian, penggunaan nuklir masuk sebagai prioritas terakhir. "Prioritas pembangunan energi nasional sesuai KEN dan RUEN yang pertama maksimumkan pemanfaatan energi terbarukan. Lalu, kedua minimumkan penggunaan minyak, mengoptimalkan penggunaan gas bumi, batubara sebagai andalan pasokan energi nasional (penyeimbang), dan yang kelima energi nuklir sebagai pilihan terakhir," kata Dwi.

Potensi energi terbarukan di Indonesia sangat besar. Berdasarkan data Dirjen EBTKE (Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral per Maret 2021, potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 417,8 GW.

Namun, yang sudah termanfaatkan baru 2,5%. Potensi tersebut masing-masing dari PLTA 75 GW (baru dimanfaatkan 7%), PLTS 207 GW (0.04%), PLTP 23,9 GW (5,6%), PLTB 60,6 GW (0.002%), Biomas 32,6 GW (5,5%), PLTL 17,9 GW, ditambah Biofuel/Biogas. Target bauran energi baru terbarukan kalau dikonversi sebesar 45,2 Gigawatt pada tahun 2025 dan 167.7 GW tahun 2050.

(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2614 seconds (0.1#10.140)