Patuhi Hukum dan Aturan adalah Bentuk Kesalehan Bernegara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ajaran agama mengajarkan kepada umat untuk mewujudkan harmoni dan keteraturan sosial sebagai bagian dari indikator kesalehan sosial. Termasuk dalam sikap beragama yang baik adalah menaati hukum dan peraturan sebagai bentuk kesalehan bernegara.
Oleh karena itu, beragama yang baik adalah berkomitmen memegang perjanjian dan mematuhi aturan hukum, bukan pembangkang.
Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan mengatakan beragama tidak boleh diartikan sekadar prosesi ritual-formal. Lebih dari itu, beragama, khususnya pemeluk agama Islam juga diajarkan pula untuk menaati pemimpin (ulil amri).
Menurut dia, sebuah negara akan sulit mencapai kestabilan tanpa adanya pemimpin yang memimpin keberlangsungan suatu negara. ”Kestabilan tersebut dapat dicapai melalui pemberlakuan hukum yang mengatur segala aspek kehidupan bernegara agar tercipta ketertiban dan keadilan di dalamnya,” ujar Ken Setiawan di Jakarta, Selasa 23 Maret 2021.
Terlebih, sambung Ken, dalam Islam, kewajiban untuk taat kepada penguasa atau pemerintah sudah tertuang dalam surat An-Nisaa:59.
Mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII) ini menyatakan kekahwatirannya terhadap kondisi yang sedang berlangsung di Tanah Air mengenai bahaya radikalisme, sebuah tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama.
”Dewasa ini banyak sekali orang yang mengaku paling beragama namun malah menyampaikan ujaran kebencian, caci maki serta hujatan termasuk kepada pemerintah dan hukum negara ini,” kata Ken.
Dia menilai media sosial berperan besar atas informasi yang begitu cepat termasuk informasi yang bersifat hoaks. Informasi yang sulit dibendung ini, termasuk hoaks dan propaganda anti-Pancasila semakin mengekskalasi dan mengikis nilai-nilai kebhinnekaan.
Menurut dia, hal seperti itu seharusnya disikapi secara kritis, apalagi jika yang disampaikan adalah hujatan dan caci maki. ”Seluruh elemen masyarakat harus cerdas menyikapi kondisi tersebut dengan cara mengkampanyekan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika,” ungkapnya.
Selain itu, dia menyebutkan bahwa saat ini semua harus menerima realita di lapangan, bahwa anak usia dini bahkan sudah dipaksa menelan ideologi radikal dari oknum-oknum yang memanipulasi agama untuk menentang hukum dan aturan yang ada.
“Penanaman paham radikalis intoleransi pada anak usia dini ini sangat berbahaya. Karena ketika mereka dewasa nanti akan seperti buah yang matang tinggal petik, ditanamkan kebencian kepada negara ditambah polesan ayat-ayat jihad maka meraka akan siap melakukan amaliah terorisme,” tuturnya.
Dia menjelaskan, NII Crisis Center bergerak untuk menerima aduan dengan membuka hotline yang ditujukan untuk masayarakat luas, identifikasi dan investigasi.
Dia menyebut bahwa pihaknya juga melakukan dialog-dialog dengan korban NII yang bertujuan untuk memberikan alternatif pemikiran kepada korban.
“Kita harus tabayyun ketika menerima informasi, jangan sampai terjebak dan bahkan menyebarkan berita yang tidak diketahui kebenarannya itu. Sekalipun mencantumkan ayat dalam kitab, kita harus cek agar tidak terkena atau melanggar UU ITE,” tuturnya.
Oleh karena itu, beragama yang baik adalah berkomitmen memegang perjanjian dan mematuhi aturan hukum, bukan pembangkang.
Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan mengatakan beragama tidak boleh diartikan sekadar prosesi ritual-formal. Lebih dari itu, beragama, khususnya pemeluk agama Islam juga diajarkan pula untuk menaati pemimpin (ulil amri).
Menurut dia, sebuah negara akan sulit mencapai kestabilan tanpa adanya pemimpin yang memimpin keberlangsungan suatu negara. ”Kestabilan tersebut dapat dicapai melalui pemberlakuan hukum yang mengatur segala aspek kehidupan bernegara agar tercipta ketertiban dan keadilan di dalamnya,” ujar Ken Setiawan di Jakarta, Selasa 23 Maret 2021.
Terlebih, sambung Ken, dalam Islam, kewajiban untuk taat kepada penguasa atau pemerintah sudah tertuang dalam surat An-Nisaa:59.
Mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII) ini menyatakan kekahwatirannya terhadap kondisi yang sedang berlangsung di Tanah Air mengenai bahaya radikalisme, sebuah tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama.
”Dewasa ini banyak sekali orang yang mengaku paling beragama namun malah menyampaikan ujaran kebencian, caci maki serta hujatan termasuk kepada pemerintah dan hukum negara ini,” kata Ken.
Dia menilai media sosial berperan besar atas informasi yang begitu cepat termasuk informasi yang bersifat hoaks. Informasi yang sulit dibendung ini, termasuk hoaks dan propaganda anti-Pancasila semakin mengekskalasi dan mengikis nilai-nilai kebhinnekaan.
Menurut dia, hal seperti itu seharusnya disikapi secara kritis, apalagi jika yang disampaikan adalah hujatan dan caci maki. ”Seluruh elemen masyarakat harus cerdas menyikapi kondisi tersebut dengan cara mengkampanyekan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika,” ungkapnya.
Selain itu, dia menyebutkan bahwa saat ini semua harus menerima realita di lapangan, bahwa anak usia dini bahkan sudah dipaksa menelan ideologi radikal dari oknum-oknum yang memanipulasi agama untuk menentang hukum dan aturan yang ada.
“Penanaman paham radikalis intoleransi pada anak usia dini ini sangat berbahaya. Karena ketika mereka dewasa nanti akan seperti buah yang matang tinggal petik, ditanamkan kebencian kepada negara ditambah polesan ayat-ayat jihad maka meraka akan siap melakukan amaliah terorisme,” tuturnya.
Dia menjelaskan, NII Crisis Center bergerak untuk menerima aduan dengan membuka hotline yang ditujukan untuk masayarakat luas, identifikasi dan investigasi.
Dia menyebut bahwa pihaknya juga melakukan dialog-dialog dengan korban NII yang bertujuan untuk memberikan alternatif pemikiran kepada korban.
“Kita harus tabayyun ketika menerima informasi, jangan sampai terjebak dan bahkan menyebarkan berita yang tidak diketahui kebenarannya itu. Sekalipun mencantumkan ayat dalam kitab, kita harus cek agar tidak terkena atau melanggar UU ITE,” tuturnya.
(dam)