Dari Hutan Kota ke Kota Hutan

Jum'at, 19 Maret 2021 - 05:02 WIB
loading...
Dari Hutan Kota ke Kota Hutan
Nirwono Joga (Foto: Istimewa)
A A A
Nirwono Joga
Peneliti pada Pusat Studi Perkotaan

SETIAP 21 Maret, masyarakat memperingati Hari Hutan Sedunia sesuai resolusi PBB Nomor 67/200 pada 21 Desember 2012. Tujuannya untuk mengingatkan kepada masyarakat tentang pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup manusia, bagi generasi sekarang dan mendatang, benteng mitigasi bencana lingkungan dan perubahan iklim.

Kota dan kita semakin merindukan hutan, setelah sekian lama keberadaan mereka dirampas pembangunan kota yang masif. Hutan kota beralih rupa menjadi hutan beton. Gedung pencakar langit berhimpitan rapat tanpa sejengkal lahan untuk pepohonan. Kompleks perumahan dan permukiman pun banyak mengabaikan ketersediaan pohon yang memadai. Di permukiman padat, semua lahan habis ditutup bangunan rumah.

Hari Hutan Sedunia merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menggerakkan pembangunan dari hutan (di dalam) kota menuju ke kota (di dalam) hutan. Lalu langkah apa yang harus dilakukan?

Pertama, kota (di dalam) hutan menyediakan pepohonan sebanyak-banyaknya bagi kota, Ia berfungsi mendinginkan suasana kota dan warganya, baik fisik maupun psikis. Kota hutan membutuhkan rasa memiliki (budaya menanam pohon), keinginan untuk merawat (program adopsi pohon), membangun toleransi (ketahanan sosial), dan menjaga pohon bersama-sama untuk menjamin kehidupan kota dan kita sebagai warga.

Hutan di mana pepohonan tumbuh berkembang adalah paru-paru kota. Pohon di dalamnya memiliki banyak makna. Semua agama juga menempatkan pohon sebagai simbol dan sumber kehidupan semua makhluk hidup. Kitab suci mempertegas keberlanjutan alam; makhluk hidup tergantung pada upaya pelestarian pohon dan hutan sekaligus.

Kedua, pohon beringin (ficus benjamina) kembar di tengah alun-alun sebagai pusat kota memiliki nilai filosofi kehidupan yang tinggi bagi masyarakat Jawa. Pohon keben atau kalpataru (barringtonia asiatica) dipilih sebagai lambang penghargaan Adipura bagi kota/kabupaten yang dinilai berhasil menata lingkungan hidupnya.

Dalam riwayat agama Budha, Sidharta Gautama bertapa di bawah pohon bodi (ficus reliogosa) ketika mendapatkan pencerahan kehidupan. Pohon bodhi banyak ditanam di kawasan Candi Borobudur sesuai yang terpahat di relief candi. Pohon kiara payung (filicium decipiens) yang terpahat di relief Candi Prambanan menjadi simbol sebagai “tangga ke langit”. Pohon kamboja (plumeria alba) dipercaya masyarakat Afrika, yang kemudian dianut masyarakat Hindu, untuk mengusir roh jahat sehingga banyak ditanam di pura atau taman pemakaman.

Ketiga, hutan kota telah menjadi primadona menghadapi perubahan iklim, ia jadi ikon penyelamat bumi. Hutan merupakan aset, potensi, dan investasi kota jangka panjang. Berbagai perayaan atau peringatan penting sering dipuncaki dengan prosesi menanam pohon.

Hutan kota telah lama memberikan “jasa lingkungan” bagi keberlanjutan semua makhluk hidup, kita dan kota. Pohon memang tidak bisa bergerak, apalagi berbicara. Ia “hanya” bertumbuh-kembang, meninggi, dan membesar. Kanopi pepohonan hutan kota meneduhi dan menyejukkan iklim mikro serta menurunkan suhu warga dan kota. Dedaunan menyerap karbon dioksida dan gas polutan. Dan, melalui proses fotosintesis, daun-daun melepaskan oksigen.

Batang pohon yang kokoh, dahan dan ranting yang kuat, menjadi habitat dan tempat berkembang biak beragam satwa liar. Akar pohon yang menghujam ke dalam tanah menyerap dan menyimpan air sebanyak-banyaknya untuk cadangan di musim kemarau.

Keempat, setiap pemerintah kota/kabupaten harus mengembangkan kota hutan dan dilegalisasikan dalam peraturan daerah atau peraturan kepala daerah. Rencana induk kota hutan meliputi pemetaan lokasi rencana lokasi hutan-hutan kota baru, penanaman pohon (penyulaman, penanaman baru), tema penghijauan (identitas lokal, nama kawasan, jalan protokol, habitat satwa liar), fungsi ekologis (penyerap gas polutan, peredam bising, penahan angin, penyimpan air), dan pemilihan pohon yang sesuai lokasi (kondisi tapak, pertimbangan perancangan, teknik pemeliharaan, dan manfaatnya).

Keberadaaan hutan kota dan penanaman pohon mensyaratkan jenis pohon (pantai, dataran rendah, pegunungan), fungsi (ekologis, ekonomi, estetis, arsitektural, evakuasi), ketetapan cara (standar keamanan, keselamatan, kenyamanan), kondisi media tumbuh, pengadaan perbanyakan (biji, stek, cangkok), waktu penanaman (musim hujan, kemarau), pemilihan, penyediaan dan pendistribusian (pemassalan), serta teknik perawatan dan pemeliharaan (pemangkasan, pemupukan, perbanyakan).

Kelima, pemilihan pohon lokal yang kuat, tidak mudah roboh, tumbang, atau patah, berusia panjang, dengan karakter batang besar, tegak, dan akar tidak muncul di permukaan (tak berbanir) merupakan pilihan yang paling bijak.

Pola tanam pohon hutan kota sebaiknya berlapis-lapis. Strata pertama penyerap polutan partikel. Strata kedua penyerap polutan gas. Sementara itu, strata ketiga menjadi peredam kebisingan. Ini dimaksudkan untuk menghindari gangguan proses ekofisiologi pohon yang menyebabkan pohon cenderung terpapar polutan tinggi sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman. Polutan yang terbagi rata pada lapisan tanaman dapat meminimalkan kadar polutan lingkungan dan mengurangi stres pohon.

Keenam, pohon yang tumbuh kembang di hutan kota adalah makhluk hidup yang memiliki hak hidup, sama seperti warga kota. Pohon perlu diaudit, didata, dan diberi nomor (registrasi dan asuransi pohon). Pohon ditempeli “pin” nomor dan titik koordinat pada batangnya. Peta lokasi dan data kondisi terkini mempermudah petugas untuk mengetahui status pohon (sehat, sakit, keropos, patah, akan tumbang) dan merekomendasikan tindak lanjut (dijaga, dirawat, dipangkas, ditebang, diganti pohon baru).

Pohon sebagai makhluk hidup tentu mengalami siklus tumbuh kembang, sehat, sakit, dan mati. Pohon yang sakit dirawat, yang patah dipangkas rapi, yang berlubang ditambal, yang sudah keropos atau akan tumbang ditebang dan segera diganti pohon baru yang lebih kuat. Pohon diasuransikan agar warga atau kendaraannya yang terdampak pohon tumbang mendapat biaya ganti rugi dari pemerintah daerah.

Ketujuh, pembangunan kota hutan mensyaratkan standar kerja, kompetensi pekerjaan, tenaga pengawas dan pelaksana pengelolaan hutan kota dan pohon profesional dan bersertifikat. Pemangkasan dahan, pembentukan percabangan batang, dan penebangan pohon dilakukan melalui prosedur standar operasional yang jelas dan ketat. Unit reaksi cepat tanggap yang siap siaga 24 jam diperlukan untuk mengantisipasi pohon tumbang.

Pembangunan kota hutan sebagai bagian strategi memitigasi perubahan iklim, mengimbangi pertumbuhan penduduk, meredam pemanasan kota, menahan laju tekanan pembangunan fisik kota, serta mendorong keterlibatan partisipasi masyarakat untuk memanfaatkannya. Mereka dapat menjadi orang tua asuh dalam program adopsi pohon di hutan kota, turut merawat, memelihara, dan menjaga pohon dengan baik; layaknya di rumah sendiri.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4619 seconds (0.1#10.140)