Asupan Gizi Anak Tentukan Masa Depan Bangsa

Kamis, 18 Maret 2021 - 13:55 WIB
loading...
Asupan Gizi Anak Tentukan Masa Depan Bangsa
Kementerian Kesehatan mengakui Indonesia masih memiliki masalah yang serius untuk urusan gizi. Foto/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Reanisa Azzahra memilih berhenti sebagai pekerja bank swasta sekitar 3 tahun lalu. Dia banting setir menjadi penjual buku di lokapasar. Kini, perempuan 32 tahun itu beraktivitas penuh di rumahnya, Citayam, Depok, mengurus bisnis sekaligus suami dan kedua anaknya. Nisa-sapaan akrabnya-sekarang bisa memantau aktivitas anak-anaknya dan memasak untuk keluarga secara penuh.

Nisa biasa menyajikanmenu masakan variatif. Yang penting ada sayuran, seperti sop, bayam, dan kangkung. Nanti dikombinasi dengan telur, ayam, dan ikan. “Susu sudah pasti (harus untuk anak-anak),” ucapnya kepada SINDOnews, Kamis (18/3/2021). Nisa menerangkan dua anaknya mempunyai pola makan yang berbeda-beda.

“Kalau anak pertama sudah besar. Kalau pagi enggak mau, enggak usah. Terserah dia mau makannya kapan. Anak satu lagi badannya kurus, kalau bisa makan sehari tiga kali. Akan tetapi, jamnya enggak saya tentuin. Terserah dia kapan laparnya. Kalau dia belum lapar enggak dikasih karena percuma enggak bakal habis. Kalau dia lapas atau minta baru dikasih,” tuturnya.

(Baca: Sambangi Sumur Batu, MNC Peduli Berikan Penyuluhan Gizi)

Sama halnya dengan Nisa, Atya Asriyanti Inayatullah telah membiasakan mendidik kedua anaknya dari segi waktu dan cara makan. Menurut ibu muda yang tinggal di Utan Kayu ini,hal tersebutmembuat kedua anaknya (6,5 tahun dan 2 tahun 4 bulan) menjadi disiplin. Dia pun tidak terlalu berpegang teguh pada menu empat sehat, lima sempurna.

“Anak itu disuguhi (yang sehat) apa saja mau asal harus dibiasakan. Sebenarnya, enggak harus empat sehat, lima sempurna. Kalau saya biasanya ada karbohidrat, protein hewani, dan sayuran. Biasanya, kalau makan seperti itu dari kecil, anak akan terbiasa dengan menu seperti itu,” jelasnya.

Dia menyatakan penting juga seorang ibu menyiapkan makanan cemilan, seperti biskuit, untuk selingan. Makanan itu akan berguna ketika anak-anaknya sedang bosan makan berat. Perempuan 32 tahun itu juga tetap mengkombinasikan semua makanannya dengan sayur dan buah-buahan. “Kalau hari ini enggak ada buah, harus ada sayur. Untungnya, pada doyan sayur semua,” ucapnya.

Perhatian Nisa dan Atya terhadap asupan gizi anaknya tidak lain demi kesehatan dan masa depan anak-anaknya. Nisa mengungkapkan selain makanan, dia memilih menyekolah anaknya di bimbingan baca, tulis, dan hitung (calistung). Setelah itu, anaknya baru dimasukkan ke taman kanak-kanak (TK). “Di TK itu diajarin sholat, doa, dan akhlak. Itu penting. Jadi enggak calistung doang. Nanti pinter doang, enggak punya akhlak kan percuma,” ucapnya.

(Baca:PAUD Berperan Penting Edukasi Gizi Anak Sejak Dini)

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengakui Indonesia masih memiliki masalah yang serius untuk urusan gizi. Ada tiga permasalahan gizi, yakni kekurangan (stunting), kelebihan (obesitas), dan kekurangan zat gizi mikro, seperti anemia. Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes Dhian Probhoyekti mengatakan ada perkembangan yang menggembirakan terkait penanganan stunting.

“Indonesia menunjukkan kemajuan untuk perbaikan gizi. Pada tahun 2018, prevalensi stunting 30,8 persen. Pada tahun 2019, dari data yang ada prevalensi turun menjadi 27,7 persen atau sekitar 6,6 juta anak. Angka stunting, wasting, overweight pada balita turun. Namun, secara absolut masih banyak anak kekurangan gizi,” ujarnya.

Dampak dari kekurangan gizi, antara lain, imunitas rendah. Efeknya, mudah terkena infeksi dan penyakit kronis meningkat. Efek dominonya, akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak secara kognitif. Dalam jangka panjang, karena kualitas SDM yang tidak berkualitas akan berpengaruh pada kemampuan daya saing generasi bangsa. Juga minimnya penghasilan dan perputaran ekonomi.

Ada beberapa penyebab stunting, yakni masalah asupan gizi sejak usia kandungan 1-4 bulan, pemeriksaan kehamilan kurang dari 4 kali, tidak mendapatkan ASI eksklusif, dan tidak mendapatkan imunitas yang lengkap. Dhian menyebut hampir 50 persen bayi tidak mendapatkan imunitas secara lengkap.

Lalu, setengah dari jumlah balita Indonesia pertumbuhannya tidak terpantau secara rutin. Dhian menjelaskan ada 54 persen anak usia 6-23 bulan asupan makanannya yang dibutuhkan tidak terpenuhi, terutama protein. Dia menegaskan anak merupakan investasi sumber daya manusia (SDM) yang memerlukan perhatian kecukupan gizi sejak dalam kandungan.

“Balita akan menjadi sehat jika sejak awal kehidupan sudah diberikan makanan sehat dan seimbang sehingga kualitas SDM menjadi optimal. Zat gizi dari makanan sumber utama itu untuk memenuhi anak bertumbuh dan berkembang mencapai kesehatan paripurna, kesehatan fisik, mental dan sosial,” paparnya.

(Baca:Demokrat Sedang Panas, SBY Bertemu Dubes Uni Eropa)

Ada empat pilar untuk penerapan gizi seimbang. Pilar pertama, mengkonsumsi pangan yang beraneka ragam. Masyarakat diimbau untuk memperbanyak konsumsi makanan kaya protein, seperti ikan, telur, susu, tempe, dan tahu, serta sayuran dan buah-buah. Kedua, membiasakan perilaku hidup sehat. Pilar ketiga, melakukan aktivitas fisik. Terakhir, mempertahankan dan memantau berat badan normal.

Lintas Sektor

pemerintah tak bisa sendiri untuk memerangi stunting. Dhian menyatakan upaya ini membutuhkan kerja sama lintas sektor, seperti pemerintah daerah (pemda), pendidikan, masyarakat, swasta atau industri. Toh, ini untuk meningkatkan daya saing SDM Indonesia di tingkat nasional dan global. “Itu menjadi lingkaran dalam sinergi dan harmonisasi perbaikan gizi,” ucap Dhian.

Salah satu ujung tombak pemerintah adalah guru PAUD dalam mengedukasi ibu dan anak tentang pola asuh, hidup dan makanan sehat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah mempunyai program PAUD Holistik-Integrasi (HI). Program ini memberdayakan semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemda, hingga swasta untuk pemenuhan gizi, nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan kepada anak-anak sejak usia dini.

Atya mengakui di TK, anak-anak diminta membawa makanan yang sehat. “Tidak boleh mie instan,” ucapnya. Pengamat kesehatan masyarakat Ede S Darmawan mengatakan penanganan stunting ini memerlukan solusi yang bersifat lokal dan spesifik. Tidak bisa dibuat secara nasional. “Jadi pemda yang pertama kali harus disadarkan. Kemudian RT dan RW harus disadarkan bahwa kita menghadapi masalah. Kalau memiliki anak-anak stunting, maka generasi kita tidak akan lebih baik,” ujarnya.

(Baca:Guru Besar Kesehatan Anak UI: Ini Cara Edukasi 3M kepada Anak-anak)

Dia menerangkan pandemi Covid-19 seharusnya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Masyarakat tengah dibanjiri dan mencari informasi kesehatan, baik melalui media mainstream maupun medsos. Sejak pandemi melanda, masyarakat mulai sadar akan pentingnya hidup bersih. Pandemi, menurutnya, harus menjadi wake up call agar masyarakat hidup bersih dan sehat sehingga tidak mudah terkena penyakit.

“Kalau setiap daerah memandang setiap orang bagian dari keluarganya dan anak-anak kita semua, maka harus dipantau sebaik-baiknya. Kalau ada yang tidak beres, segera dibereskan. Ini mumpung orang lagi sadar. Mengalahkan Covid-19 itu bukan menunggu sakit, tetapi dengan hidup sehat,” tegas Dosen Universitas Indonesia (UI).

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Periode 2017-2020 Abdul Manan mengakui isu kesehatan selama ini kalah dengan pemberitaan politik, hukum, dan ekonomi. Pandemi, menurutnya, telah menyadarkan semua pihak bahwa kesehatan itu sesuatu yang penting. “Tema kesehatan sekarang jauh lebih mendapatkan perhatian. Bukan karena kita sehat, justru tidak sehat karena pandemi,” ujarnya.

Sementara itu, salah perusahaan swasta, Danone Indonesia, menyatakan memulai edukasi kesehatan dari internal kepada seluruh karyawan. Corporate Communication Director Danone Indonesia Arif Mujahidin mengatakan masalah kesehatan itu soft topik. Namun, jangan dilupakan setiap makan dan minum itu ada biaya yang dikeluarkan untuk hari ini dan masa yang akan datang. “Kalau salah makan, 30-40 tahun mendatang badan kita yang sakit. Itu biayanya mahal. Kita benahi di hulunya,” pungkasnya.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1393 seconds (0.1#10.140)