P2G: Program Merdeka Belajar Tidak Menyentuh Persoalan Fundamental SMK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengkritik program baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bertitel Merdeka Belajar Episode 8: SMK Pusat Unggulan. Seunggul apapun program revitalisasi, tetapi persoalan fundamental tak dibenahi, SMK akan tetap bermasalah.
Pengurus Perhimpunan Guru Surifuddin menjabarkan beberapa masalah dari program ini. Pertama, model SMK Unggulan melalui afirmasi 300 (2019) dan 491 SMK (2020) tak menyelesaikan masalah pokok. Apalagi model ini sebenarnya mirip dengan sekolah dan guru penggerak Kemendikbud.
“Bagi kami, afirmasi SMK semestinya diberikan kepada SMK yang terpinggirkan, akreditasi jurusannya rendah, serapan lulusannya rendah, bengkel dan ruang prakteknya minim, serta kompetensi guru yang belum baik. SMK seperti ini yang harus diafirmasi pemerintah,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima SINDONews, Kamis (18/3/2021).
Guru di SMK Negeri di Kalimantan Timur itu menerangkan Kemendikbud harus mengevaluasi implementasi Inpres Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Revitalisasi SMK. Perhimpunan Guru menilai model dan skema pengimbasan SMK telah gagal. “Indikatornya, dilihat dari tingkat pengangguran terbuka (TPT) jenjang SMK masih yang paling tinggi di antara tingkat pendidikan lainnya, yakni 8,49% (BPS 2020). Hal serupa juga terjadi pada tahun sebelumnya. Artinya, lulusan SMK menjadi penymbang angka pengangguran terbesar di Indonesia,” tutur Surifuddin.
Kedua, menurut Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim, masalah pokok SMK adalah kekurangan guru mata pelajaran produktif. Kadang, yang mengajar mata pelajaran “core program” SMK banyak diisi oleh guru mata pelajaran normatif, seperti PPKN, agama, dan bahasa. "Mestinya kekurangan guru mata pelajaran produktif ini yang dipenuhi dulu. Mengingat ‘core program’ SMK sesungguhnya terletak pada mata pelajaran produktif," tegasnya.
Ketiga, SMK kekurangan bengkel dan ruang praktik. Pembelajaran sering dilakukan secara naratif. Satriwan mengatakan itu yang sering disebut anekdot SMK sastra atau bahasa. “Mestinya ruang praktik dan bengkel dicukupi, dilengkapi, dan dimodernisasi. Sehingga betul-betul mampu memfasilitasi siswa-guru dalam meningkatkan keterampilan siswa (terampil) agar nantinya bisa diterima dunia kerja,” paparnya.
Keempat, pemerintah harus melakukan pemetaan ulang tentang penyebaran SMK negeri dan swasta di Indonesia. Beberapa indikator yang bisa digunakan, antara lain, potensi lokal (ketersediaan lapangan kerja) dan komposisi SMK di urban dan rural area. "Sebab, kami melihat ada semacam over supply lulusan SMK jurusan tertentu: Teknologi Informasi, Komputer, Akuntansi, dan Administrasi Perkantoran," ucap Satriwan.
Dia mengungkapkan jumlah SMK swasta lebih banyak ketimbang SMK negeri juga menjadi faktor tidak terserapnya lulusan SMK oleh dunia industri. Pengetatan perizinan pendirian SMK swasta perlu dipertahankan seperti yang sudah dilakukan selama ini. “SMK didominasi swasta sebesar 74,56% dari total 14.064 sekolah SMK. Artinya keberadaan SMK swasta hampir 11.000 sekolah berdasarkan data BPS, 2019,” pungkasnya.
Pengurus Perhimpunan Guru Surifuddin menjabarkan beberapa masalah dari program ini. Pertama, model SMK Unggulan melalui afirmasi 300 (2019) dan 491 SMK (2020) tak menyelesaikan masalah pokok. Apalagi model ini sebenarnya mirip dengan sekolah dan guru penggerak Kemendikbud.
“Bagi kami, afirmasi SMK semestinya diberikan kepada SMK yang terpinggirkan, akreditasi jurusannya rendah, serapan lulusannya rendah, bengkel dan ruang prakteknya minim, serta kompetensi guru yang belum baik. SMK seperti ini yang harus diafirmasi pemerintah,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima SINDONews, Kamis (18/3/2021).
Baca Juga
Guru di SMK Negeri di Kalimantan Timur itu menerangkan Kemendikbud harus mengevaluasi implementasi Inpres Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Revitalisasi SMK. Perhimpunan Guru menilai model dan skema pengimbasan SMK telah gagal. “Indikatornya, dilihat dari tingkat pengangguran terbuka (TPT) jenjang SMK masih yang paling tinggi di antara tingkat pendidikan lainnya, yakni 8,49% (BPS 2020). Hal serupa juga terjadi pada tahun sebelumnya. Artinya, lulusan SMK menjadi penymbang angka pengangguran terbesar di Indonesia,” tutur Surifuddin.
Kedua, menurut Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim, masalah pokok SMK adalah kekurangan guru mata pelajaran produktif. Kadang, yang mengajar mata pelajaran “core program” SMK banyak diisi oleh guru mata pelajaran normatif, seperti PPKN, agama, dan bahasa. "Mestinya kekurangan guru mata pelajaran produktif ini yang dipenuhi dulu. Mengingat ‘core program’ SMK sesungguhnya terletak pada mata pelajaran produktif," tegasnya.
Ketiga, SMK kekurangan bengkel dan ruang praktik. Pembelajaran sering dilakukan secara naratif. Satriwan mengatakan itu yang sering disebut anekdot SMK sastra atau bahasa. “Mestinya ruang praktik dan bengkel dicukupi, dilengkapi, dan dimodernisasi. Sehingga betul-betul mampu memfasilitasi siswa-guru dalam meningkatkan keterampilan siswa (terampil) agar nantinya bisa diterima dunia kerja,” paparnya.
Keempat, pemerintah harus melakukan pemetaan ulang tentang penyebaran SMK negeri dan swasta di Indonesia. Beberapa indikator yang bisa digunakan, antara lain, potensi lokal (ketersediaan lapangan kerja) dan komposisi SMK di urban dan rural area. "Sebab, kami melihat ada semacam over supply lulusan SMK jurusan tertentu: Teknologi Informasi, Komputer, Akuntansi, dan Administrasi Perkantoran," ucap Satriwan.
Dia mengungkapkan jumlah SMK swasta lebih banyak ketimbang SMK negeri juga menjadi faktor tidak terserapnya lulusan SMK oleh dunia industri. Pengetatan perizinan pendirian SMK swasta perlu dipertahankan seperti yang sudah dilakukan selama ini. “SMK didominasi swasta sebesar 74,56% dari total 14.064 sekolah SMK. Artinya keberadaan SMK swasta hampir 11.000 sekolah berdasarkan data BPS, 2019,” pungkasnya.
(cip)