Guru, Kodrat Anak, dan Merdeka Belajar

Rabu, 25 November 2020 - 05:10 WIB
loading...
Guru, Kodrat Anak, dan Merdeka Belajar
Erry Trisna
A A A
Erry Trisna
Guru, Tinggal di Denpasar Bali

FILM 3 Idiots (2009) mengisahkan persahabatan tiga orang mahasiswa dengan latar belakang sosial dan tujuan yang berbeda. Ketiganya kuliah di Imperial College Engieering (ICE). Ranco, anak yang sangat mencintai mesin, suka belajar, dan selalu optimistis. “All is well”, begitulah jargonnya ketika menemui masalah. Sikap ini sudah ditunjukkannya ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus.

Awal pertemuan Ranco dengan sahabatnya, Farhan dan Raju, terjadi di hari pertama malam tradisi. Senior kampus memiliki tradisi untuk memberi stempel kepada mahasiswa baru. Mahasiswa baru diwajibkan memberi penghormatan, hanya mengenakan pakaian dalam. Ranco datang, tetapi menolak acara tradisi itu. Ia kabur, masuk kamar. Sang senior mengancam akan mengencingi pintu. Tanpa diketahui senior, Ranco memasang sendok beralirkan listrik. Saat air seni mengenai alat rakitannya, sang senior pun tersetrum. Semua mahasiswa engineering tahu jika air dapat menghantarkan listrik. Namun, tidak satu pun mahasiswa mempraktikkannya.

Sepenggal adegan di atas memberi gambaran kepada kita tentang esensi pengetahuan, yaitu praktik. Sejatinya, pengetahuan itu tidak terbatas pada teori semata, tetapi perlu praktik. Dalam pendidikan, guru memang selayaknya menyebarkan pengetahuan kepada siswa. Pengetahuan yang diperoleh dan melekat pada diri siswa akan berguna jika siswa mampu mempraktikkan dalam kehidupannya. Praktik pengetahuan yang dimaksud tentu dalam hal yang baik, bermanfaat, dan bersifat konstruktif.

ICE menjadi kampus engineering terbaik di India. Namun, sayang, sistem pendidikan di kampus itu hanya berorientasi nilai. Mahasiswa diajak berlomba-lomba memperoleh nilai, bukan ilmu pengetahuan. Mahasiswa tidak memperoleh ruang berinovasi. Joy Lobo, seorang mahasiswa, harus mengakhiri hidupnya. Proyek pesawat pengintainya dianggap tidak realistis, bahkan kesempatan presentasi untuk karyanya tidak didapatkan. Dosen lebih suka kepada mahasiswa yang jawabannya sama persis dengan isi buku. Tidak ada hal baru yang dibahas, hanya text book.

Kodrat Anak dan Merdeka Belajar
Gambaran sistem pendidikan ICE tentu diharapkan tidak terjadi, termasuk di Indonesia. Konsep merdeka belajar yang kini menjadi jargon Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikud) harus diwujudkan. Guru merupakan ujung tombak pendidikan, sedangkan siswa adalah objeknya. Sebagai objek pendidikan, mereka lahir sudah membawa kodratnya masing-masing. Guru ibaratnya petani yang hanya bertugas menuntun agar benih pada diri siswa dapat tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya. Bukan memaksa anak menjadi seperti apa yang guru atau orang tua inginkan.

Seperti Farhan, mahasiswa yang tidak berobsesi menjadi insinyur. Karena keinginan sang ayah, ia “terpaksa” kuliah di teknik engineering. Belajar tanpa mencintai apa yang dipelajari hanyalah kesia-siaan. Ini membuatnya konsisten di urutan terakhir setiap ujian.

Anak yang lahir sudah memiliki talenta, hanya tinggal menemukan dan mengasahnya. Tidak mudah, memang, tetapi ini harus. Kondisi pemaksaan ini menimbulkan tekanan pada diri siswa. Ia tidak merdeka dalam belajar.

Tidak hanya guru yang harus mengenal talenta siswa. Orang tua menjadi guru pertama yang mengenal jati diri sang anak. Mengutip kisah Thomas Alfa Edison (sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id, 12/4/2007) yang hanya betah sekolah formal selama tiga bulan. Sang ibu menyadari talenta Tommy (panggilan Thomas) di bidang sains. Ia memberi ruang kepada sang anak untuk melakukan beragam percobaan. Tommy merdeka dalam belajar. Ia bebas bereksperimen berdasarkan sumber-sumber buku yang dibacanya. Ibunya mendukung dengan mendirikan laboratorium sederhana di rumah hingga akhirnya Tommy lahir menjadi ilmuwan besar—penemu lampu pijar.

Dari kisah Tommy ada beberapa hal yang menjadi perhatian untuk mewujudkan merdeka belajar. Pertama, membangun kesadaran akan adanya kodrat anak. Baik guru maupun orang tua harus menyadari bahwa setiap anak unik. Mereka berkembang sesuai dengan tahapannya masing-masing. Namun, sebagai sebuah sistem, pendidikan tetap dibutuhkan untuk menetapkan standar minimal yang harus dicapai. Generasi muda masa kini identik dengan pencarian, pembuktian, dan rasa ingin tahu yang besar. Mereka tidak bisa selalu didikte. Bimbingan, mungkin itu kata yang paling tepat dalam proses pedagogi untuk menumbuhkembangkan potensi diri.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1352 seconds (0.1#10.140)