PKS Ungkap 4 Alasan Menolak Revisi UU Pemilu Didepak dari Prolegnas 2021
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ) satu-satunya partai yang menolak Revisi UU Pemilu ( RUU Pemilu ) dikeluarkan dari Prolegnas 2021 . Hal itu disampaikan Ketua Departemen Politik DPP PKS, Nabil Ahmad Fauzi dalam diskusi Polemik MNC Trijaya bertajuk 'Implikasi Batalnya Revisi UU Pemilu secara virtual, Sabtu (13/3/2021).
Nabil menyatakan ada empat pandangan PKS kenapa menolak RUU 'didepak' dari Prolegnas. Pertama, hal ini berkaitan dengan faktor penyelenggaraan pemilu dan belajar dari kerumitan di Pemilu Serentak 2019.
"Ini sekaligus sebenarnya untuk merevisi pandangan ketika partai-partai ini walaupun perdebatan saat itu penentuan UU Pilkada 2016 terkait dengan keserentakan itu kan ya kita akui mungkin ada tarikan-tarikan politik yang saat itu jauh lebih urgent," ujarnya.
Sehingga, menurutnya, faktor itu luput dari cara pandang pembuat UU untuk melihat bagaimana keserentakan secara teknis itu berakibat fatal di 2019 seperti munculnya banyak korban meninggal dari unsur penyelenggara pemilu. Karenanya dibutuhkan revisi untuk mengatur ulang pelbagai tahapan dan pelaksanaan Pemilu 2024.
Kedua, lanjut Nabil, tentang pelaksanaan pilkada yang harus disamakan waktunya di tahun 2024. Menurut dia, secara filosofis pilkada itu adalah hak rakyat untuk mendapatkan dan hak untuk memilih pemimpin daerah secara definitif sehingga perlu basis legitimasi yang kuat.
"Bagaimana kemudian dalam situasi pandemi dalam situasi masyarakat perlu bangkit secara sosial ekonomi kita perlu kepemimpinan yang kukuh secara legitimasi berbasis dari election bukan dari selection," jelasnya.
Kemudian yang ketiga, terkait dengan potensi terhambatnya akselerasi pembangunan. Sebab, pengangkatan terhadap penjabat kepala daerah selama 2 tahun dari 2022 sampai dengan 2024 selain catatan utamanya adalah faktor legitimasi tetapi juga jalannya pemerintahan daerah.
Kata Nabil, mungkin secara teknis administrasi pemerintahan birokrat Eselon I di Kemendagri itu beberapa yang sudah berpengalaman tetapi catatan pentingnya itu terkait kerja kepala daerah apalagi menyangkut kerja-kerja politik misalnya bagaimana proses penganggaran dan kebijakan anggaran yang harus diputuskan bersama dengan DPRD setempat.
"Yang terakhir (keempat) PKS ingin menggunakan argumen bahwa Pilkada 2022 dan 2023 kalau kita pisahkan dengan Pemilu Serentak 2024 itu sebenarnya penting kita perlu dua tahun depan untuk membangkitkan ekonomi, dengan anggaran Pilkada 2020 saja kemarin yang sekitar Rp20 triliun itu Mendagri Tito bisa mengatakan bahwa pentingnya pilkada itu salah satunya untuk mendorong perekonimian. Kenapa logika itu tidak kita pakai," pungkasnya.
Nabil menyatakan ada empat pandangan PKS kenapa menolak RUU 'didepak' dari Prolegnas. Pertama, hal ini berkaitan dengan faktor penyelenggaraan pemilu dan belajar dari kerumitan di Pemilu Serentak 2019.
"Ini sekaligus sebenarnya untuk merevisi pandangan ketika partai-partai ini walaupun perdebatan saat itu penentuan UU Pilkada 2016 terkait dengan keserentakan itu kan ya kita akui mungkin ada tarikan-tarikan politik yang saat itu jauh lebih urgent," ujarnya.
Sehingga, menurutnya, faktor itu luput dari cara pandang pembuat UU untuk melihat bagaimana keserentakan secara teknis itu berakibat fatal di 2019 seperti munculnya banyak korban meninggal dari unsur penyelenggara pemilu. Karenanya dibutuhkan revisi untuk mengatur ulang pelbagai tahapan dan pelaksanaan Pemilu 2024.
Kedua, lanjut Nabil, tentang pelaksanaan pilkada yang harus disamakan waktunya di tahun 2024. Menurut dia, secara filosofis pilkada itu adalah hak rakyat untuk mendapatkan dan hak untuk memilih pemimpin daerah secara definitif sehingga perlu basis legitimasi yang kuat.
"Bagaimana kemudian dalam situasi pandemi dalam situasi masyarakat perlu bangkit secara sosial ekonomi kita perlu kepemimpinan yang kukuh secara legitimasi berbasis dari election bukan dari selection," jelasnya.
Kemudian yang ketiga, terkait dengan potensi terhambatnya akselerasi pembangunan. Sebab, pengangkatan terhadap penjabat kepala daerah selama 2 tahun dari 2022 sampai dengan 2024 selain catatan utamanya adalah faktor legitimasi tetapi juga jalannya pemerintahan daerah.
Kata Nabil, mungkin secara teknis administrasi pemerintahan birokrat Eselon I di Kemendagri itu beberapa yang sudah berpengalaman tetapi catatan pentingnya itu terkait kerja kepala daerah apalagi menyangkut kerja-kerja politik misalnya bagaimana proses penganggaran dan kebijakan anggaran yang harus diputuskan bersama dengan DPRD setempat.
"Yang terakhir (keempat) PKS ingin menggunakan argumen bahwa Pilkada 2022 dan 2023 kalau kita pisahkan dengan Pemilu Serentak 2024 itu sebenarnya penting kita perlu dua tahun depan untuk membangkitkan ekonomi, dengan anggaran Pilkada 2020 saja kemarin yang sekitar Rp20 triliun itu Mendagri Tito bisa mengatakan bahwa pentingnya pilkada itu salah satunya untuk mendorong perekonimian. Kenapa logika itu tidak kita pakai," pungkasnya.
(kri)