Eijkman Khawatirkan Mutasi B117 Bisa Menurunkan Sensitifitas Diagnostik PCR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Lembaga Biologi Molekuler ( LBM) Eijkman , Amin Soebandrio menyebutkan bahwa mutasi B117 dari virus COVID-19 yang berasal dari Inggris bisa menurunkan sensitifitas diagnostik polymerase chain reaction (PCR).
“Tentu ada sifat-sifat lain karena ada perubahan di dalam gennya maka dikhawatirkan diagnosis molekuler yaitu PCR itu juga akan terganggu. Jadi kan menurun sensitifitasnya,” ungkap Amin dalam dialog Pemantauan Genomik Varian Baru SARS-Cov2 di Indonesia secara virtual, Jumat (12/3/2021).
Sehingga, kata Amin, PCR bisa terjadi false negatif. Meskipun, katanya masih belum perlu untuk mengubah alat PCR yang sudah ada. “Itu jadi yang kita khawatirkan dengan PCR tidak terdeteksi, jadi negatif. Tapi itu masih belum dianggap perlu untuk mengubah PCR nya,” katanya.
Namun demikian, Amin mengatakan bahwa dari sekian banyak mutasi B117 ini, hanya 4% yang menyebabkan virus itu lebih berbahaya. “Dari sekian banyak mutasi sebetulnya hanya 4% yang menyebabkan virus itu menjadi lebih berbahaya. Artinya menyebabkan perubahan yang signifikan.”
“Sebagian besar mutasi yang dialami oleh virus itu akan menyebabkan bahkan kematian si virus itu sendiri, atau tambah lemah atau tidak terjadi apa-apa ya. Jadi yang yang menyebabkan peningkatan kesehatan dan sebagainya Itu hanya 4% dari mutasi-mutasi,” jelasnya.
Meskipun demikian, bahwa kecepatan menginfeksi mutasi B117 ini lebih tinggi hingga lebih dari 70%. “Virus B117 ini mengalami beberapa mutasi. Sehingga dia memiliki salah satu karakteristik yang signifikan adalah bisa menginfeksi sel manusia dengan kecepatan yang lebih tinggi 40 sampai 70%,” katanya.
Sehingga, kata Amin, dikhawatirkan akan menginfeksi lebih cepat dibandingkan dnegan sebelum adanya mutasi COVID-19. “Tapi juga karena dia bisa mennginfeksi lebih cepat dikawatirkan dia menular lebih cepat atau bisa mengeluarkan ke lebih banyak orang.”
“Tentu ada sifat-sifat lain karena ada perubahan di dalam gennya maka dikhawatirkan diagnosis molekuler yaitu PCR itu juga akan terganggu. Jadi kan menurun sensitifitasnya,” ungkap Amin dalam dialog Pemantauan Genomik Varian Baru SARS-Cov2 di Indonesia secara virtual, Jumat (12/3/2021).
Sehingga, kata Amin, PCR bisa terjadi false negatif. Meskipun, katanya masih belum perlu untuk mengubah alat PCR yang sudah ada. “Itu jadi yang kita khawatirkan dengan PCR tidak terdeteksi, jadi negatif. Tapi itu masih belum dianggap perlu untuk mengubah PCR nya,” katanya.
Namun demikian, Amin mengatakan bahwa dari sekian banyak mutasi B117 ini, hanya 4% yang menyebabkan virus itu lebih berbahaya. “Dari sekian banyak mutasi sebetulnya hanya 4% yang menyebabkan virus itu menjadi lebih berbahaya. Artinya menyebabkan perubahan yang signifikan.”
“Sebagian besar mutasi yang dialami oleh virus itu akan menyebabkan bahkan kematian si virus itu sendiri, atau tambah lemah atau tidak terjadi apa-apa ya. Jadi yang yang menyebabkan peningkatan kesehatan dan sebagainya Itu hanya 4% dari mutasi-mutasi,” jelasnya.
Meskipun demikian, bahwa kecepatan menginfeksi mutasi B117 ini lebih tinggi hingga lebih dari 70%. “Virus B117 ini mengalami beberapa mutasi. Sehingga dia memiliki salah satu karakteristik yang signifikan adalah bisa menginfeksi sel manusia dengan kecepatan yang lebih tinggi 40 sampai 70%,” katanya.
Sehingga, kata Amin, dikhawatirkan akan menginfeksi lebih cepat dibandingkan dnegan sebelum adanya mutasi COVID-19. “Tapi juga karena dia bisa mennginfeksi lebih cepat dikawatirkan dia menular lebih cepat atau bisa mengeluarkan ke lebih banyak orang.”
(kri)