Membangkitkan Pangan Lokal di Masa Pandemi

Selasa, 09 Maret 2021 - 05:00 WIB
loading...
Membangkitkan Pangan Lokal di Masa Pandemi
Ali Khomsan (Foto: Istimewa)
A A A
Ali Khomsan
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB

INDONESIA sebagai negara agraris seharusnya bisa meraih predikat mandiri pangan karena lahan yang subur, iklim yang mendukung, dan sumber daya petani yang jumlahnya puluhan juta orang. Namun, kenyataannya negara produsen pangan terbesar di dunia adalah China dan Amerika Serikat. Dua negara ini menghasilkan pangan-pangan penting seperti padi-padian, daging, sayuran, dan buah. Khusus untuk sumber karbohidrat, negara-negara yang dinobatkan sebagai produsen utama adalah China, Amerika Serikat, India, Rusia, dan Prancis. Sementara Indonesia masih harus bergelut dengan impor pangan yang menunjukkan beratnya beban menuju negara mandiri pangan.

Kalau setiap kali terjadi gejolak pangan hanya dipecahkan dengan kebijakan impor, maka sumber daya lokal sejatinya tidak pernah diberdayakan secara serius. Petani-petani kita dibiarkan harus bertarung dengan petani luar yang lebih efisien dan mendapat dukungan subsidi serta fasilitas infrastruktur yang lebih baik dari negaranya. Oleh sebab itu, adanya masalah pangan di tingkat masyarakat harus menjadi cambuk bagi pemberdayaan petani-petani kita sehingga bisa lebih optimal dalam berproduksi sehingga sumber daya lokal termanfaatkan secara baik.

Diversifikasi pangan kini menjadi momentum yang tepat untuk dibicarakan agar pangan lokal semakin berkembang dan ketergantungan pada beras dapat dikurangi. Indonesia memiliki lebih dari 70 jenis pangan sumber karbohidrat, namun pemberdayaan budi dayanya masih kurang. Berbagai jenis umbi-umbian yang dulu sering dikonsumsi masyarakat seperti talas, kimpul, gembili, garut, ubi jalar ungu, dan singkong kini semakin langka dijumpai. Anak-anak kita yang kini menyandang gelar sebagai generasi milenial tidak mau lagi melirik pangan lokal umbi-umbian sebagai bagian dari pola makan mereka. Padahal, harus ditumbuhkan rasa kebanggaan di tiap keluarga bahwa mengonsumsi pangan lokal adalah bagian dari jati diri bangsa dan bagian dari bela negara.

Masyarakat harus diimbau agar mempunyai kemampuan menyediakan pangan dari sumber daya lingkungan di sekitar rumah sehingga beban penyediaan pangan bukan hanya tergantung pada petani atau ketersediaan pangan di pasar, tetapi juga dari lingkungan sendiri antara lain melalui pemanfaatan pekarangan.

Pandemi Covid-19 menjadi momentum penting agar kita serius memanfaatkan sumber daya lahan di sekitar permukiman untuk produksi pangan. Pemanfaatan pekarangan di sekitar rumah perlu dibina Kementerian Pertanian secara terus-menerus. Program-program pemberdayaan masyarakat yang pembinaannya bersifat hit and runmembuat masyarakat kurang tekun sehingga kegiatannya terhenti alias mangkrak. Bantuan sembako, bantuan langsung tunai, dan bantuan lain di tengah Covid-19 memang diperlukan, namun masyarakat juga harus diberdayakan agar tidak selalu mengharapkan bantuan-bantuan yang bersifat natura (cash).

Sudah lazim apabila diversifikasi seringkali dimaknai secara sempit menganekaragamkan konsumsi pangan dengan mengurangi pangan pokok beras dan menggantinya dengan umbi-umbian. Padahal, diversifikasi dapat juga berarti menganekaragamkan menu makanan agar masyarakat mengonsumsi pangan secara beragam (nasi, lauk, sayur, buah) dan bergizi.

Di tengah serbuan wabah Covid-19 yang meruntuhkan ketahanan pangan rumah tangga, gerakan menanam pangan lokal di sekitar rumah bisa menjadi solusi untuk menopang kebutuhan pangan masyarakat. Pengalaman penulis yang baru-baru ini mendapatkan grants dari the Nestle Foundation, Switzerland untuk menggalakkan pekarangan sebagai bagian dari program gizi, menunjukkan banyaknya kendala di tingkat masyarakat. Tidak semua rumah tangga di desa memiliki pekarangan yang cukup luas untuk ditanami. Hal ini dapat diatasi dengan menanam sayuran di polybag yang tidak memerlukan lahan luas. Di wilayah nonpertanian banyak masyarakatnya bekerja sebagai buruh industri dan tidak mempunyai pengalaman untuk mengolah lahan pekarangan. Untuk itu, penyuluh pertanian harus meluangkan waktu lebih banyak untuk membina mereka.

Budi daya pangan lokal di level rumah tangga dapat lestari apabila masyarakat mendapatkan pembelajaran tentang pembenihan dan pembibitan. Idealnya, ketika produksi pangan lokal semakin berkembang, maka perlu ada pasar yang mampu menyerap produknya. Namun, sebaiknya kita jangan berharap terlalu muluk dulu. Inti dari gerakan pemanfaatan pekarangan berbasis pangan lokal bukan untuk meningkatkan pendapatan keluarga, tetapi lebih pada mengurangi belanja pangan rumah tangga.

Perhatian terhadap lahan pekarangan layak dihidupkan kembali. Lahan pekarangan dapat menjadi sumber produksi pangan lokal dalam lingkungan rumah tangga. Penyebutan pekarangan dengan istilah lumbung hidup, warung hidup, apotek hidup, dan tabungan hidup mempunyai makna yang sangat positif. Disebut lumbung hidup karena sewaktu-waktu persediaan pangan habis dapat diperoleh bahan-bahan seperti sayuran, buah, umbi-umbian, telur, daging unggas, atau ikan. Bahan-bahan tersebut tersimpan di pekarangan dalam keadaan hidup. Disebut warung hidup karena sewaktu-waktu uang belanja habis kita tetap dapat memperoleh sayuran dari pagar atau pohon-pohonan seperti melinjo, kemang, kelor, dan lain-lain. Disebut apotek hidup karena sewaktu-waktu ada yang sakit kita dapat memetik sirih dari pekarangan untuk pengobatan luka, daun ingu untuk mengompres panas atau temulawak untuk menambah nafsu makan.

Peranan pekarangan dalam menunjang kebutuhan pangan dan gizi telah dikaji dalam berbagai penelitian. Di Thailand, lahan pekarangan berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi sayuran dan pemanfaatan pekarangan dapat lebih menghemat pengeluaran atau belanja keluarga. Studi Diet Total (2014) menunjukkan bahwa lebih dari 90% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayuran dan buah.

Dulu, ketika program gizi di Indonesia dicanangkan sebagai upaya perbaikan gizi keluarga (UPGK) ragam kegiatannya bukan hanya menimbang anak balita setiap bulan. Pemanfaatan pekarangan juga menjadi kegiatan andalan, dan oleh sebab itu UPGK dalam implementasinya juga melibatkan sektor pertanian.

Saat ini kita lebih mengenal UPGK yang telah berganti baju menjadi posyandu. Fokus kegiatan pertanian (baca: pekarangan) dalam posyandu sudah sirna. Para penyuluh pertanian lapangan (PPL) tidak hirau terhadap posyandu karena mereka lebih fokus pada target untuk menggenjot produksi beras.

Posyandu yang menjadi ujung tombak pelayanan gizi masyarakat hendaknya jangan terfokus pada masalah kesehatan saja, tetapi juga harus bisa menggerakkan ibu-ibu pesertanya untuk mengembangkan pertanian pangan lokal (sayuran dan umbi-umbian). Pangan sumber gizi tidak harus dibeli apabila setiap rumah tangga mampu mengelola pekarangannya dengan baik. Hasil pangan lokal dari pekarangan yang dikelola posyandu dapat menjadi modal pembuatan makanan tambahan bagi anak-anak balita yang setiap bulan datang ke posyandu. Perbaikan gizi dapat terwujud secara mandiri dari kekuatan produksi pangan lokal yang dihasilkan dari pekarangan masyarakat.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3319 seconds (0.1#10.140)