Hari Perempuan Sedunia: Pandemi Momentum Benahi Ketimpangan Gender
loading...
A
A
A
IBARAT sudah jatuh tertimpa tangga. Ungkapan ini tepat menggambarkan kondisi kaum perempuan selama masa pandemi Covid-19.
Pandemi memberi beban yang lebih berat kepada kaum perempuan. Selain mengurus rumah tangga sambil mengajari anak-anak yang sekolah jarak jauh, banyak perempuan yang juga harus bekerja.
Namun, ironisnya di saat beban menumpuk di pundak perempuan, tidak sedikit dari mereka yang menjadi korban kekerasan. Hasil penelitian Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, selain kekerasan fisik, perempuan umumnya mengalami kekerasan psikologis dan ekonomi selama masa pandemi.
Menindaklanjuti hasil temuan tersebut, Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor meminta pemerintah betul-betul memperhatikannya. Menurutnya, pandemi telah membuat perempuan tidak hanya mendapat beban ganda, melainkan beban yang berlipat-lipat ganda.
āKami menyebut dampak Covid-19 semakin kompleks bagi perempuan, bukan lagi double burden, tapi sudah multiple burden. Di sisi lain, perempuan pun masih menjadi korban kekerasan,ā kata Ulfah kepada KORAN SINDO, Sabtu (6/3).
)
Menurut Maria, berdasarkan jenisnya, perempuan lebih banyak mengalami semua jenis kekerasan dibandingkan laki-laki. Kekerasan psikologis dan ekonomi lebih umum dialami oleh responden daripada jenis kekerasan lainnya.
Untuk jenis kekerasan psikologis, 289 perempuan (15%) mengaku kadang-kadang mengalami, dan 66 perempuan (4%) menjawab sering mengalami. Sementara untuk kekerasan yang sama hanya 41 laki-laki (11%) yang menjawab kadang-kadang mengalami, dan hanya 2 orang menjawab sering mengalami.
Secara keseluruhan, kata Maria, baik responden yang mengalami kekerasan atau tidak, sekitar 14% atau 316 orang mengaku diam saja atau tidak melakukan apa-apa jika mengalami kekerasan, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikologis, seksual, maupun ekonomi.
āIni memperkuat asumsi bahwa angka kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena gunung es. Angka yang ada atau tersedia hanyalah data-data yang terlaporkan,ā ujarnya.
)
Riset Komnas Perempuan tersebut dilakukan pada rentang waktu bulan Maret-Mei 2020 dengan melibatkan responden 2.285 orang. Survei dilakukan secara daring dengan cara mengirimkan pertanyaan lewat kuisioner. Responden berusia 31-50 tahun, lulusan S1/sederajat, dengan penghasilan rumah tangga Rp2-5 juta rupiah per bulan, menikah, memiliki anak, dan bekerja penuh waktu di sektor formal.
Dia menyebutkan, beberapa hambatan dialami perempuan korban kekerasan di masa pandemi. Termasuk di dalamnya lembaga pengaduan layanan yang beralih dari pelayanan fisik menjadi daring, sehingga menyulitkan korban untuk melapor.
Dari hasil penelitian tersebut Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah rekomendasi. Terkait ketersediaan layanan, Ulfa berharap pemerintah bisa memperkuat unit layanan aduan berbasis komunitas yang dikelola lembaga masyarakat.
āIni strategi jangka pendek yang fokusnya memberi perlindungan kepada perempuan dan kelompok rentan,ā ujarnya.
Terkait pemenuhan hak konstitusional perempuan, Komnas mendorong pengembangan kapasitas perempuan untuk beradaptasi sehingga bisa melakukan pemulihan.
Sedangkan untuk strategi jangka panjang, Komnas Perempuan mendorong transformasi berkeadilan. Menurut Ulfa, hasil kajian Komnas ditemukan ada relasi kuasa yang tidak adil di dalam rumah tangga antara laki-laki dan perempuan.
Relasi kuasa inilah yang kemudian mendorong terjadinya ketidakadilan atau kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan. āNah, momentum pandemi ini kita harapkan terjadi perubahan, tidak sekadar kita beralih dari situasi Covid hari ini lalu Covid berakhir nanti, tapi betul-betul ada perubahan pada relasi kuasa yang adil antara laki-laki dan perempuan,ā tandasnya.
Kekerasan Berbasis Online
Sementara itu, situasi pandemi Covid-19 sedikit banyak telah menggeser lanskap kekerasan seksual dari kekerasan fisik menjadi kekerasan online atau daring. Hal ini terungkap berdasarkan riset bertajuk āMekanisme Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan Berbasis Kebijakan Negara di Masa Pandemiā melalui Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT) yang didanai oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Penelitian dilakukan pada 2020 dalam konteks negara-negara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Anggota peneliti dari Universitas Indonesia (UI) Arief Wicaksono, mengatakan, sejumlah laporan menunjukkan bahwa angka kasus kekerasan terhadap perempuan secara daring meningkat di masa pandemi.
āKekerasan gender berbasis online juga menjadi hal yang penting untuk dimatangkan, baik kebijakan, regulasi, maupun mekanisme penanganannya,ā ujarnya kepada KORAN SINDO, Jumat (5/3).
)
Selain itu, untuk melindungi perempuan korban kekerasan di masa pandemi, riset tersebut juga menyimpulkan perlunya peningkatan kapasitas tenaga penyedia layanan dan tenaga advokasi. Hal itu disebabkan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang menyediakan layanan rumah aman, baik berupa transit house maupun shelter, mengalami kendala infrastruktur saat pandemi.
Menurut Arief, di satu sisi tingkat kebutuhan untuk mengakses layanan meningkat. Namun di sisi lain jumlah kapasitas ruang ditambah faktor protokol kesehatan yang mewajibkan semua orang menjaga jarak, menjadikan rumah aman belum optimal dalam menyediakan layanan tinggal sementara.
āPerlu peningkatan kapasitas para tenaga penyedia layanan perlindungan perempuan korban kekerasan dan tenaga untuk advokasi. Peningkatan kapasitas ini bisa dalam berarti jumlah tenaganya secara kuantitas, namun yang tidak kalah penting adalah penguatan aspek psikologis para pendamping,ā ujarnya.
Riset ini mengungkap dukungan komunitas atau publik sangat penting untuk melindungi kelompok kekerasan dari kerentanan kekerasan di lingkungannya, terutama dalam hal pemantauan dan pelaporan.
āHal ini disebabkan pada masa pandemi, aktivitas lebih banyak dilakukan di dalam dan lingkungan rumah. Hal ini kemudian diduga penyebab kekerasan domestik meningkat,ā ujarnya.
Pandemi memberi beban yang lebih berat kepada kaum perempuan. Selain mengurus rumah tangga sambil mengajari anak-anak yang sekolah jarak jauh, banyak perempuan yang juga harus bekerja.
Namun, ironisnya di saat beban menumpuk di pundak perempuan, tidak sedikit dari mereka yang menjadi korban kekerasan. Hasil penelitian Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, selain kekerasan fisik, perempuan umumnya mengalami kekerasan psikologis dan ekonomi selama masa pandemi.
Menindaklanjuti hasil temuan tersebut, Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor meminta pemerintah betul-betul memperhatikannya. Menurutnya, pandemi telah membuat perempuan tidak hanya mendapat beban ganda, melainkan beban yang berlipat-lipat ganda.
āKami menyebut dampak Covid-19 semakin kompleks bagi perempuan, bukan lagi double burden, tapi sudah multiple burden. Di sisi lain, perempuan pun masih menjadi korban kekerasan,ā kata Ulfah kepada KORAN SINDO, Sabtu (6/3).
Baca Juga
Menurut Maria, berdasarkan jenisnya, perempuan lebih banyak mengalami semua jenis kekerasan dibandingkan laki-laki. Kekerasan psikologis dan ekonomi lebih umum dialami oleh responden daripada jenis kekerasan lainnya.
Untuk jenis kekerasan psikologis, 289 perempuan (15%) mengaku kadang-kadang mengalami, dan 66 perempuan (4%) menjawab sering mengalami. Sementara untuk kekerasan yang sama hanya 41 laki-laki (11%) yang menjawab kadang-kadang mengalami, dan hanya 2 orang menjawab sering mengalami.
Secara keseluruhan, kata Maria, baik responden yang mengalami kekerasan atau tidak, sekitar 14% atau 316 orang mengaku diam saja atau tidak melakukan apa-apa jika mengalami kekerasan, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikologis, seksual, maupun ekonomi.
āIni memperkuat asumsi bahwa angka kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena gunung es. Angka yang ada atau tersedia hanyalah data-data yang terlaporkan,ā ujarnya.
Baca Juga
Riset Komnas Perempuan tersebut dilakukan pada rentang waktu bulan Maret-Mei 2020 dengan melibatkan responden 2.285 orang. Survei dilakukan secara daring dengan cara mengirimkan pertanyaan lewat kuisioner. Responden berusia 31-50 tahun, lulusan S1/sederajat, dengan penghasilan rumah tangga Rp2-5 juta rupiah per bulan, menikah, memiliki anak, dan bekerja penuh waktu di sektor formal.
Dia menyebutkan, beberapa hambatan dialami perempuan korban kekerasan di masa pandemi. Termasuk di dalamnya lembaga pengaduan layanan yang beralih dari pelayanan fisik menjadi daring, sehingga menyulitkan korban untuk melapor.
Dari hasil penelitian tersebut Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah rekomendasi. Terkait ketersediaan layanan, Ulfa berharap pemerintah bisa memperkuat unit layanan aduan berbasis komunitas yang dikelola lembaga masyarakat.
āIni strategi jangka pendek yang fokusnya memberi perlindungan kepada perempuan dan kelompok rentan,ā ujarnya.
Terkait pemenuhan hak konstitusional perempuan, Komnas mendorong pengembangan kapasitas perempuan untuk beradaptasi sehingga bisa melakukan pemulihan.
Sedangkan untuk strategi jangka panjang, Komnas Perempuan mendorong transformasi berkeadilan. Menurut Ulfa, hasil kajian Komnas ditemukan ada relasi kuasa yang tidak adil di dalam rumah tangga antara laki-laki dan perempuan.
Relasi kuasa inilah yang kemudian mendorong terjadinya ketidakadilan atau kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan. āNah, momentum pandemi ini kita harapkan terjadi perubahan, tidak sekadar kita beralih dari situasi Covid hari ini lalu Covid berakhir nanti, tapi betul-betul ada perubahan pada relasi kuasa yang adil antara laki-laki dan perempuan,ā tandasnya.
Kekerasan Berbasis Online
Sementara itu, situasi pandemi Covid-19 sedikit banyak telah menggeser lanskap kekerasan seksual dari kekerasan fisik menjadi kekerasan online atau daring. Hal ini terungkap berdasarkan riset bertajuk āMekanisme Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan Berbasis Kebijakan Negara di Masa Pandemiā melalui Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT) yang didanai oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Penelitian dilakukan pada 2020 dalam konteks negara-negara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Anggota peneliti dari Universitas Indonesia (UI) Arief Wicaksono, mengatakan, sejumlah laporan menunjukkan bahwa angka kasus kekerasan terhadap perempuan secara daring meningkat di masa pandemi.
āKekerasan gender berbasis online juga menjadi hal yang penting untuk dimatangkan, baik kebijakan, regulasi, maupun mekanisme penanganannya,ā ujarnya kepada KORAN SINDO, Jumat (5/3).
)
Selain itu, untuk melindungi perempuan korban kekerasan di masa pandemi, riset tersebut juga menyimpulkan perlunya peningkatan kapasitas tenaga penyedia layanan dan tenaga advokasi. Hal itu disebabkan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang menyediakan layanan rumah aman, baik berupa transit house maupun shelter, mengalami kendala infrastruktur saat pandemi.
Menurut Arief, di satu sisi tingkat kebutuhan untuk mengakses layanan meningkat. Namun di sisi lain jumlah kapasitas ruang ditambah faktor protokol kesehatan yang mewajibkan semua orang menjaga jarak, menjadikan rumah aman belum optimal dalam menyediakan layanan tinggal sementara.
āPerlu peningkatan kapasitas para tenaga penyedia layanan perlindungan perempuan korban kekerasan dan tenaga untuk advokasi. Peningkatan kapasitas ini bisa dalam berarti jumlah tenaganya secara kuantitas, namun yang tidak kalah penting adalah penguatan aspek psikologis para pendamping,ā ujarnya.
Riset ini mengungkap dukungan komunitas atau publik sangat penting untuk melindungi kelompok kekerasan dari kerentanan kekerasan di lingkungannya, terutama dalam hal pemantauan dan pelaporan.
āHal ini disebabkan pada masa pandemi, aktivitas lebih banyak dilakukan di dalam dan lingkungan rumah. Hal ini kemudian diduga penyebab kekerasan domestik meningkat,ā ujarnya.
(bmm)