DKPP Copot Hasyim Asy’ari, KMPKP Desak KPU Berbenah dan Buat Pedoman Penanganan Kekerasan Gender

Jum'at, 05 Juli 2024 - 12:35 WIB
loading...
DKPP Copot Hasyim Asy’ari, KMPKP Desak KPU Berbenah dan Buat Pedoman Penanganan Kekerasan Gender
KMPKP mengapresiasi DKPP atas putusan tegasnya memberhentikan Hasyim Asy’ari sebagai Ketua dan Anggota KPU. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) mengapresiasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas putusan tegasnya memberhentikan Hasyim Asy’ari sebagai Ketua dan Anggota KPU Periode 2022-2027. Hasyim Asy’ari dicopot dari jabatannya karena terbukti melakukan tindakan asusila serta menyalahgunakan jabatan, wewenang, dan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.

”Sanksi pemberhentian tetap adalah keputusan terbaik untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan menjadi pesan yang tegas bahwa tidak ada ruang atau pun toleransi bagi pelaku untuk menjadi bagian dari penyelenggara pemilu di Indonesia,” bunyi keterangan tertulis diterima SINDOnews, Jumat (5/7/2024).

KMPKP sendiri terdiri atas Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka, Yayasan Kalyanamitra Listyowati, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Iwan Misthohizzaman, Direktur Eksekutif NETGRIT Hadar Nafis Gumay dan Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati.

Selain itu, Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI), Dosen Pemilu FHUI Titi Anggraini, Kadiv Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha, Dosen FHUI dan Anggota Bawaslu 2008-2012 Wirdyaningsih, kemudian perwakilan Maju Perempuan Indonesia (MPI) sekaligus anggota Bawaslu 2008-2012 Wahidah Suaib. Ketua Dewan Pendiri Institut Perempuan Valentina Sagala dan Communication International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Intan Bedisa.

Dalam Putusan Nomor 90-PKE-DKPP/V/2024 terbukti bahwa terdapat relasi kuasa antara Pengadu dan Teradu sehingga terjadi hubungan yang tidak seimbang. Kondisi ini merugikan Pengadu selaku perempuan karena berada pada posisi yang tidak dapat menentukan kehendak secara bebas dan logis. Alhasil, Teradu bisa melakukan kekerasan terhadap korban dengan memaksa dan menjanjikan sesuatu yang melanggar integritas dan profesionalitasnya sebagai Ketua sekaligus Anggota KPU.



DKPP menegaskan Hasyim Asy’ari selaku Teradu telah menggunakan pengaruh, kewenangan, jabatan, dan fasilitas negara untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Selain itu, Teradu telah memanfaatkan berbagai situasi dalam kapasitasnya sebagai Ketua KPU dalam melakukan tindakan yang memaksa dan menjanjikan sesuatu dalam hal melakukan tindakan asusilanya.

Teradu terbukti melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) Pasal 6 ayat (2) huruf a dan c, Pasal 6 ayat (3) huruf e dan f, Pasal 7 ayat (1), Pasal 10 huruf a, Pasal 11 huruf a, 12 huruf a, Pasal 15 huruf a dan huruf d, Pasal 16 huruf e, dan Pasal 19 huruf f Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. “Berdasarkan tren atas kecenderungan yang ada di lingkungan penyelenggara pemilu, kasus kekerasan berbasis gender di lingkungan penyelenggara pemilu telah meningkat tajam,” tulisnya.



Pada periode 2017-2022, terjadi 25 kasus kekerasan seksual yang ditangani DKPP. Kemudian pada 2022-2023, terdapat 4 kasus. Sedangkan pada 2023 meningkat tajam sebanyak 54 perbuatan asusila dan pelecehan seksual yang dilaporkan ke DKPP. Berbagai kasus tersebut terdiri dari pelecehan, intimidasi, diskriminasi, narasi seksis terhadap calon perempuan, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual di ranah privat maupun publik.

Bahkan berdasarkan temuan dari Kalyanamitra, misalnya terdapat pemaksaan perkawinan dengan motif kepentingan pemilu juga ditemukan di Sulawesi Selatan. Dengan eskalasi kasus yang semakin meningkat, KMPKP menilai putusan DKPP ini menjadi langkah tegas sekaligus sinyal yang kuat untuk terus mengukuhkan dan menjaga konsistensi perlindungan perempuan dalam pemilu.

”Putusan ini harus menjadi preseden ke depan untuk ditegakkan secara konsisten bahwa tidak ada impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual, khususnya pada ranah pemilu. Paradigma ini penting agar tidak mengendorkan semangat perempuan untuk menjadi subjek penting dalam aktivitas pemilu di Indonesia baik sebagai pemilih, penyelenggara, maupun peserta,” katanya.

Berdasarkan studi yang telah dirilis Kalyanamitra pada 24 Juni 2024, ditemukan faktor dan akar kekerasan berbasis gender dalam Pemilu 2024 adalah adanya ideologi patriarki dan norma gender, stereotip gender, ketimpangan relasi kekuasaan, kurangnya kesadaran dan pendidikan, kurangnya regulasi dan perlindungan, serta impunitas. Hal tersebut menunjukkan penyelenggaraan pemilu memang berpotensi menjadi ruang yang rawan bagi perempuan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2096 seconds (0.1#10.140)
pixels