Kasus Sengketa Tanah Dinilai Harus Kedepankan Prinsip Hukum dan HAM
loading...
A
A
A
Ia mengilustrasikan pembebasan tanah oleh pemerintah maupun swasta misalnya untuk kepentingan pembangunan apapun, yang mungkin menimbulkan sengketa hukum perdata ataupun pidana, tidak bisa selalu distigmatisasi secara subyektif sebagai Mafia Tanah.
"Ini juga mesti dihindari sehingga tidak benar juga konotasi semua pembebasan tanah seolah merupakan permainan Mafia Tanah. Jadi perlu dihindari opini menyesatkan soal pengertian Mafia Tanah dalam sengketa tanah. Kita tidak boleh gampang memukul rata. Ini agar kita tetap menjaga prinsip negara hukum," papar Hendardi.
Namun demikian, tentu dalam proses penegakan hukumnya harus mengedepankan prinsip presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah), lanjut pakar hukum pidana ini, mengingat Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Hal itu ditekankan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Agus Surono.
"Oleh karena persoalan sengketa tanah sangat berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan oleh mafia tanah, maka persoalan sengketa hak atas tanah yang merupakan ranah hukum perdata, harus memberikan perlindungan hukum kepada pembeli yang beriktikad baik ataupun pihak-pihak yang telah membebaskan tanah sesuai prosedur yang berlaku dalam rangka pengadaan tanah baik oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta," ungkap Prof Agus.
Sehingga kata dia, apabila terdapat sengketa hak atas tanah yang telah diselesaikan melalui mekanisme di pengadilan, imbuh Agus, maka pihak yang memenangkan perkara tersebut tidak dapat disebut sebagai mafia tanah.
"Harus hati-hati membedakan keduanya karena aksi mafia tanah, modus lazimnya adalah melalui pembuatan dokumen palsu atas bukti kepemilikan hak tanah yang bekerja sama dengan oknum yang mempunyai kewenangan dalam penerbitan bukti alas hak palsu, yang biasanya dilakukan secara rapi sehingga sulit untuk diungkap," jelasnya.
"Ini juga mesti dihindari sehingga tidak benar juga konotasi semua pembebasan tanah seolah merupakan permainan Mafia Tanah. Jadi perlu dihindari opini menyesatkan soal pengertian Mafia Tanah dalam sengketa tanah. Kita tidak boleh gampang memukul rata. Ini agar kita tetap menjaga prinsip negara hukum," papar Hendardi.
Namun demikian, tentu dalam proses penegakan hukumnya harus mengedepankan prinsip presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah), lanjut pakar hukum pidana ini, mengingat Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Hal itu ditekankan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Agus Surono.
"Oleh karena persoalan sengketa tanah sangat berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan oleh mafia tanah, maka persoalan sengketa hak atas tanah yang merupakan ranah hukum perdata, harus memberikan perlindungan hukum kepada pembeli yang beriktikad baik ataupun pihak-pihak yang telah membebaskan tanah sesuai prosedur yang berlaku dalam rangka pengadaan tanah baik oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta," ungkap Prof Agus.
Sehingga kata dia, apabila terdapat sengketa hak atas tanah yang telah diselesaikan melalui mekanisme di pengadilan, imbuh Agus, maka pihak yang memenangkan perkara tersebut tidak dapat disebut sebagai mafia tanah.
"Harus hati-hati membedakan keduanya karena aksi mafia tanah, modus lazimnya adalah melalui pembuatan dokumen palsu atas bukti kepemilikan hak tanah yang bekerja sama dengan oknum yang mempunyai kewenangan dalam penerbitan bukti alas hak palsu, yang biasanya dilakukan secara rapi sehingga sulit untuk diungkap," jelasnya.
(maf)