Kasus Sengketa Tanah Dinilai Harus Kedepankan Prinsip Hukum dan HAM

Minggu, 07 Maret 2021 - 13:31 WIB
loading...
Kasus Sengketa Tanah...
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Prof Indriyanto Seno Adjie. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Isu atau narasi mengenai mafia tanah yang digunakan pihak tertentu dengan tujuan terselubung dalam kasus sengketa pertanahan dalam beberapa waktu terakhir, dinilai sejumlah kalangan dapat menghambat dan mengganggu iklim investasi yang menjadi perhatian khusus dari Pemerintah RI demi menggerakkan roda perekonomian di tengah pandemi virus Corona (Covid-19).



Namun sesuai prinsip negara hukum yang equal yang tidak subjektif, sambung Indriyanto, pengungkapan sengketa pertanahan harus dengan tetap menjaga atau mengedepankan prinsip Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Ia berharap, aparat penegak hukum mampu memilah dan mengidentifikasi maksud terselubung sejumlah pihak yang menunggangi isu mafia tanah, dengan pola menebar isu narasi negatif setiap persoalan pertanahan adalah sebagai permainan mafia tanah.

"Pola dan stigma seolah adanya mafia tanah merupakan cara-cara opini sesat yang tidak sehat, yang justru menyimpangi pola dan tata hukum yang sah," tegasnya.

Indriyanto juga mengingatkan kembali, bahwa di era pandemi Covid-19 ini, pemerintah sedang berusaha keras menggenjot roda perekonomian melalui pembukaan investasi dan penanaman modal di segala sektor.

Salah satu strategi untuk mengurangi hambatan investasi itu, sambung Indriyanto, pemerintah melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) telah membentuk Satuan Tugas Pengamanan (Satgas PAM) Investasi di Seluruh Indonesia, menggantikan Tim Pengawal, Pengaman Pemerintah Dan Pembangunan (TP4) Kejaksaan, sejak Juni 2020 berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor 20 tahun 2020.

"Pada saat ini, peran kejaksaan tidak hanya sebatas penegakan hukum, tetapi juga memastikan iklim investasi dapat berjalan baik, di mana tugas dan wewenang tersebut dilakukan untuk mendukung pembangunan jangka menengah nasional tahun 2020-2028 yang berjalan berdasarkan pendekatan pencegahan, penindakan dan penguatan kelembagaan," terang Indriyanto.

Pembentukan Satgas PAM Investasi Kejagung ini adalah dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah di bidang percepatan investasi, sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2019. Serta menindaklanjuti Nota Kesepahaman Kejaksaan RI dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang telah dilakukan pada tanggal 19 Desember 2019.

Persoalan pertanahan seperti pembebasan lahan, jual beli tanah hingga eksesnya seperti sengketa pertanahan, sudah dianggap sebagai salah satu faktor penghambat investasi. Oleh karenanya, tidak perlu diperparah dengan narasi penyamarataan bahwa setiap persoalan tanah adalah aksi mafia tanah. Hal itu ditegaskan oleh Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi.

Ia mengilustrasikan pembebasan tanah oleh pemerintah maupun swasta misalnya untuk kepentingan pembangunan apapun, yang mungkin menimbulkan sengketa hukum perdata ataupun pidana, tidak bisa selalu distigmatisasi secara subyektif sebagai Mafia Tanah.

"Ini juga mesti dihindari sehingga tidak benar juga konotasi semua pembebasan tanah seolah merupakan permainan Mafia Tanah. Jadi perlu dihindari opini menyesatkan soal pengertian Mafia Tanah dalam sengketa tanah. Kita tidak boleh gampang memukul rata. Ini agar kita tetap menjaga prinsip negara hukum," papar Hendardi.

Namun demikian, tentu dalam proses penegakan hukumnya harus mengedepankan prinsip presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah), lanjut pakar hukum pidana ini, mengingat Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Hal itu ditekankan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Agus Surono.

"Oleh karena persoalan sengketa tanah sangat berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan oleh mafia tanah, maka persoalan sengketa hak atas tanah yang merupakan ranah hukum perdata, harus memberikan perlindungan hukum kepada pembeli yang beriktikad baik ataupun pihak-pihak yang telah membebaskan tanah sesuai prosedur yang berlaku dalam rangka pengadaan tanah baik oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta," ungkap Prof Agus.

Sehingga kata dia, apabila terdapat sengketa hak atas tanah yang telah diselesaikan melalui mekanisme di pengadilan, imbuh Agus, maka pihak yang memenangkan perkara tersebut tidak dapat disebut sebagai mafia tanah.

"Harus hati-hati membedakan keduanya karena aksi mafia tanah, modus lazimnya adalah melalui pembuatan dokumen palsu atas bukti kepemilikan hak tanah yang bekerja sama dengan oknum yang mempunyai kewenangan dalam penerbitan bukti alas hak palsu, yang biasanya dilakukan secara rapi sehingga sulit untuk diungkap," jelasnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1725 seconds (0.1#10.140)