Saatnya Menghidupkan 1.000 Artidjo Alkostar
loading...
A
A
A
ARTIDJO Alkostar telah wafat. Kemarin, Senin (1/3), jasadnya dikebumikan di kawasan Kaliurang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, persisnya di kompleks makam Universitas Islam Indonesia (UII). Di kampus UII inilah Artidjo muda dulu belajar hukum hingga meraih gelar sarjana pada 1976 dan akhirnya menjadi dosen.
Banyak orang begitu berduka atas kepulangan Artidjo. Kesedihan itu tak berlebihan, karena sepanjang hayatnya begitu banyak kebaikan yang dilakukan oleh almarhum. Orang meyakini Artidjo bukan sekadar aktivis dan juru pengadil di lembaga peradilan tertinggi Indonesia. Lebih agung dari itu, sosok Artidjo telah mengakar dan menjadi simbol kuat sebagai penjaga keadilan hukum bangsa ini.
Mungkin ada yang menilai penempatan Artidjo pada peran itu berlebihan. Penilaian itu sah-sah saja. Namun, melihat rekam jejaknya, kita meyakini integritas dan kepribadian Artidjo tak terbantahkan. Usai menyalatkan jenazah almarhum di kompleks UII pagi kemarin, Presiden Joko Widodo pun turut mengakui soal tingginya integritas Artidjo. Kepribadiannya pun sangat sederhana dan jujur.
Artidjo adalah sosok pengadil yang kuat pendirian. Dia berulang kali berani berseberangan pendapat (dissenting opinion) dengan sesama hakim agung jika meyakini bahwa argumennya lebih kuat. Dissenting opinion Artidjo pada kasus cessie di Bank Bali dengan terdakwa Joko Chandra (2001), korupsi yayasan dengan terdakwa Presiden Soeharto (2001) dan kasus Munir (2006) adalah di antara sederet bukti keteguhannya.
Di luar itu, Artidjo adalah algojo bagi para koruptor. Puluhan terpidana korupsi dipaksa gigit jari di depannya. Keinginan mereka mendapat pengurangan hukuman dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), tempat Artidjo bertugas sejak 2000, justru menjadi bumerang. Hukuman mereka tidak ringan, malah kian diperberat. Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Ratu Atut Chosiyah, Luthfi Hasan Ishaq, Ahmad Fathanah, Budi Mulya, dan Djoko Susilo di antara yang merasakan pahitnya palu algojo Artidjo.
Terhadap perilaku korupsi, Artidjo memang begitu sangat membenci. Korupsi dianggapnya sebagai kejahatan luar biasa. Dari kejahatan ini bangsa dan negara mengalami kerugian dan kemunduran besar. Lebih-lebih jika menyangkut korupsi politik, maka tak segan lelaki kelahiran Sitobondo yang aktif bertahun-tahun di LBH Yogyakarta ini akan memberikan hukuman ekstraberat. “Korupsi akan menimbulkan kemiskinan struktural,” kata Dewan Pengawas KPK itu dalam suatu kesempatan.
Kehadiran Artidjo di tengah dunia hukum Indonesia pun seolah menjadi harapan besar bagi para masyarakat pencari keadilan (justiabelen). Artidjo dianggap mewakili nasib kaum lemah yang kerap kali keadilannya disingkirkan oleh kepentingan oligarki politik dan ekonomi. Artidjo pun ibarat menjadi obat sekaligus malaikat bagi kaum tak berdaya.
Kini, Artidjo telah tiada. Di sisi lain, harapan akan hadirnya malaikat-malaikat layaknya almarhum tak pernah lekang. Keinginan itu tak berlebihan. Di tengah reformasi peradilan yang tak henti digaungkan, praktik pencederaan hukum masih saja terjadi. Hal yang lebih menyakitkan, pelaku-pelakunya justru kerap dari orang inti yang semestinya menjadi teladan. Kasus suap dan gratifikasi dengan total Rp46 miliar yang menjerat mantan Sekretaris MA Nurhadi adalah di antaranya.
Di luar itu, para hakim yang semestinya menjadi juru pengadil malah kerap kali melacurkan profesi terhormatnya karena tergoda dengan kenikmatan sesaat dunia. Mereka rela berkongkalikong dengan terdakwa atau sekelompok orang tanpa memedulikan lagi nasib rakyat biasa. Runyam dan bukan mudah untuk membenahi peradilan di Indonesia yang telanjur karut-marut ini.
Namun, kita tidak boleh menyerah dengan keadaan. Di setiap zaman pun manusia sejatinya diberi otoritas oleh Tuhan untuk menentukan, apakah menjadi keadaan yang baik atau buruk. Untuk mengubah keadaan tersebut, tentu tak cukup dengan diam, apalagi ketika penindasan keadilan merajalela.
Dengan kesadaran itu, hadirnya Artidjo-Artidjo baru yang semakin banyak adalah sebuah keniscayaan. Dengan lahirnya ribuan Artidjo baru, keadilan hukum akan semakin hidup. Bukan hal yang mustahil untuk mewujudkannya. Seperti keyakinan Artidjo sendiri, keadilan itu bisa tercipta dan hidup karena hakikatnya setiap insan sudah memiliki naluri adil dari Sang Pencipta. Dan, semuanya tergantung, apakah naluri itu rajin diasah atau tidak agar lebih peka.
Banyak orang begitu berduka atas kepulangan Artidjo. Kesedihan itu tak berlebihan, karena sepanjang hayatnya begitu banyak kebaikan yang dilakukan oleh almarhum. Orang meyakini Artidjo bukan sekadar aktivis dan juru pengadil di lembaga peradilan tertinggi Indonesia. Lebih agung dari itu, sosok Artidjo telah mengakar dan menjadi simbol kuat sebagai penjaga keadilan hukum bangsa ini.
Mungkin ada yang menilai penempatan Artidjo pada peran itu berlebihan. Penilaian itu sah-sah saja. Namun, melihat rekam jejaknya, kita meyakini integritas dan kepribadian Artidjo tak terbantahkan. Usai menyalatkan jenazah almarhum di kompleks UII pagi kemarin, Presiden Joko Widodo pun turut mengakui soal tingginya integritas Artidjo. Kepribadiannya pun sangat sederhana dan jujur.
Artidjo adalah sosok pengadil yang kuat pendirian. Dia berulang kali berani berseberangan pendapat (dissenting opinion) dengan sesama hakim agung jika meyakini bahwa argumennya lebih kuat. Dissenting opinion Artidjo pada kasus cessie di Bank Bali dengan terdakwa Joko Chandra (2001), korupsi yayasan dengan terdakwa Presiden Soeharto (2001) dan kasus Munir (2006) adalah di antara sederet bukti keteguhannya.
Di luar itu, Artidjo adalah algojo bagi para koruptor. Puluhan terpidana korupsi dipaksa gigit jari di depannya. Keinginan mereka mendapat pengurangan hukuman dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), tempat Artidjo bertugas sejak 2000, justru menjadi bumerang. Hukuman mereka tidak ringan, malah kian diperberat. Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Ratu Atut Chosiyah, Luthfi Hasan Ishaq, Ahmad Fathanah, Budi Mulya, dan Djoko Susilo di antara yang merasakan pahitnya palu algojo Artidjo.
Terhadap perilaku korupsi, Artidjo memang begitu sangat membenci. Korupsi dianggapnya sebagai kejahatan luar biasa. Dari kejahatan ini bangsa dan negara mengalami kerugian dan kemunduran besar. Lebih-lebih jika menyangkut korupsi politik, maka tak segan lelaki kelahiran Sitobondo yang aktif bertahun-tahun di LBH Yogyakarta ini akan memberikan hukuman ekstraberat. “Korupsi akan menimbulkan kemiskinan struktural,” kata Dewan Pengawas KPK itu dalam suatu kesempatan.
Kehadiran Artidjo di tengah dunia hukum Indonesia pun seolah menjadi harapan besar bagi para masyarakat pencari keadilan (justiabelen). Artidjo dianggap mewakili nasib kaum lemah yang kerap kali keadilannya disingkirkan oleh kepentingan oligarki politik dan ekonomi. Artidjo pun ibarat menjadi obat sekaligus malaikat bagi kaum tak berdaya.
Kini, Artidjo telah tiada. Di sisi lain, harapan akan hadirnya malaikat-malaikat layaknya almarhum tak pernah lekang. Keinginan itu tak berlebihan. Di tengah reformasi peradilan yang tak henti digaungkan, praktik pencederaan hukum masih saja terjadi. Hal yang lebih menyakitkan, pelaku-pelakunya justru kerap dari orang inti yang semestinya menjadi teladan. Kasus suap dan gratifikasi dengan total Rp46 miliar yang menjerat mantan Sekretaris MA Nurhadi adalah di antaranya.
Di luar itu, para hakim yang semestinya menjadi juru pengadil malah kerap kali melacurkan profesi terhormatnya karena tergoda dengan kenikmatan sesaat dunia. Mereka rela berkongkalikong dengan terdakwa atau sekelompok orang tanpa memedulikan lagi nasib rakyat biasa. Runyam dan bukan mudah untuk membenahi peradilan di Indonesia yang telanjur karut-marut ini.
Namun, kita tidak boleh menyerah dengan keadaan. Di setiap zaman pun manusia sejatinya diberi otoritas oleh Tuhan untuk menentukan, apakah menjadi keadaan yang baik atau buruk. Untuk mengubah keadaan tersebut, tentu tak cukup dengan diam, apalagi ketika penindasan keadilan merajalela.
Dengan kesadaran itu, hadirnya Artidjo-Artidjo baru yang semakin banyak adalah sebuah keniscayaan. Dengan lahirnya ribuan Artidjo baru, keadilan hukum akan semakin hidup. Bukan hal yang mustahil untuk mewujudkannya. Seperti keyakinan Artidjo sendiri, keadilan itu bisa tercipta dan hidup karena hakikatnya setiap insan sudah memiliki naluri adil dari Sang Pencipta. Dan, semuanya tergantung, apakah naluri itu rajin diasah atau tidak agar lebih peka.
(bmm)