Belajar Menyenangkan untuk Generasi Emas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sistem pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa makin menjadi kebutuhan, terutama di tengah kondisi sulit akibat pandemi Covid-19. Bahkan, model pembelajaran yang menyenangkan ini perlu terus didorong untuk diterapkan kendati pun nanti pandemi telah berakhir.
Hasil penelitian menunjukkan, anak-anak yang belajar dalam kondisi senang dan bahagia mampu tumbuh dengan karakter yang lebih baik. Pembelajaran yang menyenangkan juga tepat untuk menyiapkan anak-anak Indonesia menghadapi masa depan yang sarat perubahan-perubahan cepat. Konsep pendidikan saat ini yang hanya menyiapkan anak pintar secara intelektual dianggap sudah tidak relevan lagi.
Baca Juga: ( Psikolog: Pandemi Titik Balik Ubah Arah Pendidikan )
Menghadapi era digital society, selain membangun karakternya melatih anak agar memiliki kemampuan soft skill juga sangatlah penting. Sebab, untuk bisa mengarungi masa depan dengan perubahan yang berlangsung cepat, anak-anak tidak lagi cukup hanya berbekal kemampuan akademik. Lebih penting dari itu adalah anak harus memiliki keterampilan khusus, seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir kritis, kemampuan bekerja sama dalam tim, dan kemampuan presentasi.
Novi Poespita Candra, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan, pembelajaran menyenangkan akan menciptakan kondisi well-being yang membuat setiap siswa bisa merasa aman dan bahagia saat belajar. “Dari situ akan terbangun karakter positif siswa, antara lain memiliki kedisiplinan tinggi, bertanggung jawab, mandiri, jujur, berpikir kritis, mau bekerja sama, dan empati,” ujarnya kepada KORAN SINDO, Sabtu (27/2).
Dia memaparkan, pandemi telah membuat sistem pendidikan Tanah Air kocar-kacir karena sebelumnya tidak diciptakan ekosistem pembelajaran yang siap menghadapi kondisi sulit seperti itu. Tanpa pandemi pun digital society disebutnya berpotensi mengacak-acak kehidupan di masa datang.
Ke depan walaupun pandemi telah berakhir, tantangan kehidupan tidak akan berhenti. Bisa saja terjadi pandemi lain, misalnya pandemi teknologi, yakni ketika teknologi berubah dengan cepat.
“WHO juga sudah memprediksi bahwa anak-anak ke depan akan menghadapi era digital society dan itu potensial menghasilkan era ketidakpastian. Ketika waktu itu tiba, manusia harus survive, harus resiliens. Kalau tidak, akan kalah sama robot. Apa jadinya manusia kalau semua fungsinya sudah tergantikan oleh robot,” ujar alumnus The University of Melbourne, Australia ini.
Dalam kondisi seperti itu, menurut Novi, pendidikan yang hanya berorientasi akademik tidak lagi relevan. Justru yang lebih diperlukan adalah pembelajaran well being, sistem pendidikan yang bisa membuat anak bahagia, melatih anak memiliki kemampuan adaptasi yang bisa membuatnya kuat bertahan di era ketidakpastian.
Baca Juga: ( Persiapkan SDM Unggul, Kemenhub Kini Punya Program Studi Magister Terapan )
“Kita sudah bisa lihat sekarang, misalnya ada pekerjaan baru muncul, dan ada pekerjaan yang hilang. Karena itu, anak-anak harus disiapkan menghadapi era yang kita sendiri tidak sadar akan seperti apa nanti. Tujuannya agar anak-anak punya ketahanan, punya kemampuan adaptasi, punya keterampilan-keterampilan,” ujarnya.
Tumbuhkan Karakter Siswa
Novi sejak 2014 mengembangkan pendidikan well-being melalui Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). GSM diinisiasi oleh Muhammad Nur Rizal, dosen Fakultas Teknik UGM sebagai founder, dan Novi Candra sebagai co-founder.
GSM adalah sebuah paradigma baru pendidikan yang mentransformasi pola pendidikan formal menjadi lebih kolaboratif, inklusif, dan menarik. Model pembelajaran ini merangsang anak-anak mengembangkan potensi dan keunikannya masing-masing.
Menurut Novi, berdasarkan riset yang dilakukannya, terjadi perubahan karakter pada anak-anak yang sekolahnya menerapkan konsep pembelajaran menyenangkan dibandingkan yang tidak.
Riset tersebut dilakukan pada 114 sekolah, yakni 44 sekolah di Yogyakarta dan 70 sekolah di Tangerang, Banten. Survei melibatkan lebih 200 guru yang menilai perubahan yang dialami siswa kelas IV dan V di sekolahnya selama delapan bulan setelah GSM diterapkan.
Survei tersebut mencatat perubahan signifikan yang dialami siswa setelah mendapatkan pendidikan model GSM. Di antaranya siswa menjadi lebih senang berada di sekolah 18%, siswa percaya diri sebanyak 18%, siswa yang aktif dalam pembelajaran 14%, siswa yang semangat belajarnya meningkat 14%, siswa yang peduli 11%, dan kreatif 7%. Selain itu, siswa yang disiplin naik 7%, siswa yang komunikatif 7%, dan memiliki sopan santun 4%.
Survei tentang pendidikan well-being yang dilakukan mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, Fauzia, berjudulGerakan Sekolah Menyenangkan: Fostering Student's Well-being through a Whole-school-approach (2020) juga menunjukkan faktaanak-anak yang belajar di sekolah GSM ternyata lebih tinggi kebahagiaannya dibandingkan dengan anak di sekolah lain yang tanpa GSM.
Novi menyebut salah satu keunggulan sekolah yang selama ini sudah menerapkan konsep GSM adalah lebih siap dalam situasi pandemi. Sekolah GSM tidak perlu kalang kabut seperti sekolah pada umumnya karena tidak siap dengan perubahan model pelajaran dari tatap muka di kelas menjadi belajar dari rumah melalui daring.
Sekolah GSM juga tidak bermasalah dengan kurikulum karena selama ini pembelajaran memang tidak berorientasi akademik, tidak ada standardisasi nilai, tidak mengenal kompetisi--misalnya siapa juara atau rangking kelas--melainkan lebih memberi ruang kepada siswa mengembangkan potensi dan keunikan dirinya masing-masing. Tujuannya agar terbentuk karakter kuat yang akan membangun ketahanan anak.
Melalui GSM, sistem belajar daring pun sudah lebih awal diperkenalkan ke siswa, termasuk belajar menggunakan aplikasi Zoom dan sejenisnya.
“Ketika pandemi kan seolah-olah semua stres karena tidak persiapkan diri. Bagi sekolah GSM, begitu ada pandemi, tidak bingung, justru mendapatkan momennya. Selama ini sekolah sudah siapkan diri, sudah dilatih punya ketahanan, punya kemampuan adaptasi, punya keterampilan-keterampilan sehingga nilai stres anak relatif rendah,” paparnya.
Dukungan Pemerintah
Pemerintah melihat konsep pendidikan well-being sebagai hal yang baik. Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hendarman mengatakan, konsep tersebut memberikan peranan sekolah untuk mengembangkan sikap positif anak selama proses belajar, meningkatkan prestasi akademik, dan menjaga kesehatan fisik serta mental siswa.
Model pendidikan well-being disebutnya dapat mendorong siswa agar merasa aman dan bahagia di sekolah, meningkatkan kesehatan dan perilaku sosial yang baik, serta dapat mengaktualisasi potensi yang dimiliki. “Pendidikan well-being akan membangun karakter baik siswa, sikap saling menghormati setiap warga sekolah, kekompakan, kerja keras, dan nilai-nilai lain sesuai dengan profil pelajar Pancasila yang saat ini menjadi visi dari Kemendikbud,” ujarnya saat dihubungi, Sabtu (27/2).
Dia menegaskan, Kemendikbud sangat mendukung gerakan-gerakan sosial yang bertujuan memberikan solusi untuk pendidikan Indonesia agar menjadi lebih baik lagi. Hal ini sejalan dengan Kebijakan Merdeka Belajar, yaitu mendorong sinergisitas antara berbagai pemangku kepentingan untuk berkontribusi dalam setiap gerakan perubahan pendidikan.
“Sinergitas pendidikan penting, sesuai dengan perannya dalam rangka terciptanya suasana belajar yang bahagia, menyenangkan, menggembirakan, dan bermakna baik bagi siswa maupun guru,” ujarnya.
Selain itu, Kemendikbud dalam mewujudkan program pembelajaran menyenangkan mendampingi peningkatan kapasitas teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bagi kepala sekolah dan guru-guru agar pembelajaran inovatif tersebut bisa diterapkan secara optimal. “Direktorat Jenderal Vokasi Kemendikbud juga menggandeng GSM untuk meningkatkan kualitas belajar siswa SMK melalui penciptaan ekosistem sekolah yang menyenangkan agar terwujud link and match pendidikan vokasi dengan dunia industri,” paparnya.
Menurut Hendarman, pendidikan karakter juga menjadi salah satu fokus kebijakan pendidikan yang diusung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemerintah mengembangkan pendidikan karakter karena menyadari pentingnya menyiapkan generasi emas Indonesia 2045 yang harus siap menghadapi dinamika perubahan masa depan.
Terkait pembukaan sekolah tatap muka yang direncanakan pada Juli 2021, Kemendikbud juga mengimbau kepada satuan pendidikan agar dapat menghadirkan belajar yang menyenangkan dari rumah bagi siswa dan mahasiswa di masa pandemi sesuai dengan kondisi khusus daerah masing-masing.
faorick pakpahan/bakti munir
Hasil penelitian menunjukkan, anak-anak yang belajar dalam kondisi senang dan bahagia mampu tumbuh dengan karakter yang lebih baik. Pembelajaran yang menyenangkan juga tepat untuk menyiapkan anak-anak Indonesia menghadapi masa depan yang sarat perubahan-perubahan cepat. Konsep pendidikan saat ini yang hanya menyiapkan anak pintar secara intelektual dianggap sudah tidak relevan lagi.
Baca Juga: ( Psikolog: Pandemi Titik Balik Ubah Arah Pendidikan )
Menghadapi era digital society, selain membangun karakternya melatih anak agar memiliki kemampuan soft skill juga sangatlah penting. Sebab, untuk bisa mengarungi masa depan dengan perubahan yang berlangsung cepat, anak-anak tidak lagi cukup hanya berbekal kemampuan akademik. Lebih penting dari itu adalah anak harus memiliki keterampilan khusus, seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir kritis, kemampuan bekerja sama dalam tim, dan kemampuan presentasi.
Novi Poespita Candra, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan, pembelajaran menyenangkan akan menciptakan kondisi well-being yang membuat setiap siswa bisa merasa aman dan bahagia saat belajar. “Dari situ akan terbangun karakter positif siswa, antara lain memiliki kedisiplinan tinggi, bertanggung jawab, mandiri, jujur, berpikir kritis, mau bekerja sama, dan empati,” ujarnya kepada KORAN SINDO, Sabtu (27/2).
Dia memaparkan, pandemi telah membuat sistem pendidikan Tanah Air kocar-kacir karena sebelumnya tidak diciptakan ekosistem pembelajaran yang siap menghadapi kondisi sulit seperti itu. Tanpa pandemi pun digital society disebutnya berpotensi mengacak-acak kehidupan di masa datang.
Ke depan walaupun pandemi telah berakhir, tantangan kehidupan tidak akan berhenti. Bisa saja terjadi pandemi lain, misalnya pandemi teknologi, yakni ketika teknologi berubah dengan cepat.
“WHO juga sudah memprediksi bahwa anak-anak ke depan akan menghadapi era digital society dan itu potensial menghasilkan era ketidakpastian. Ketika waktu itu tiba, manusia harus survive, harus resiliens. Kalau tidak, akan kalah sama robot. Apa jadinya manusia kalau semua fungsinya sudah tergantikan oleh robot,” ujar alumnus The University of Melbourne, Australia ini.
Dalam kondisi seperti itu, menurut Novi, pendidikan yang hanya berorientasi akademik tidak lagi relevan. Justru yang lebih diperlukan adalah pembelajaran well being, sistem pendidikan yang bisa membuat anak bahagia, melatih anak memiliki kemampuan adaptasi yang bisa membuatnya kuat bertahan di era ketidakpastian.
Baca Juga: ( Persiapkan SDM Unggul, Kemenhub Kini Punya Program Studi Magister Terapan )
“Kita sudah bisa lihat sekarang, misalnya ada pekerjaan baru muncul, dan ada pekerjaan yang hilang. Karena itu, anak-anak harus disiapkan menghadapi era yang kita sendiri tidak sadar akan seperti apa nanti. Tujuannya agar anak-anak punya ketahanan, punya kemampuan adaptasi, punya keterampilan-keterampilan,” ujarnya.
Tumbuhkan Karakter Siswa
Novi sejak 2014 mengembangkan pendidikan well-being melalui Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). GSM diinisiasi oleh Muhammad Nur Rizal, dosen Fakultas Teknik UGM sebagai founder, dan Novi Candra sebagai co-founder.
GSM adalah sebuah paradigma baru pendidikan yang mentransformasi pola pendidikan formal menjadi lebih kolaboratif, inklusif, dan menarik. Model pembelajaran ini merangsang anak-anak mengembangkan potensi dan keunikannya masing-masing.
Menurut Novi, berdasarkan riset yang dilakukannya, terjadi perubahan karakter pada anak-anak yang sekolahnya menerapkan konsep pembelajaran menyenangkan dibandingkan yang tidak.
Riset tersebut dilakukan pada 114 sekolah, yakni 44 sekolah di Yogyakarta dan 70 sekolah di Tangerang, Banten. Survei melibatkan lebih 200 guru yang menilai perubahan yang dialami siswa kelas IV dan V di sekolahnya selama delapan bulan setelah GSM diterapkan.
Survei tersebut mencatat perubahan signifikan yang dialami siswa setelah mendapatkan pendidikan model GSM. Di antaranya siswa menjadi lebih senang berada di sekolah 18%, siswa percaya diri sebanyak 18%, siswa yang aktif dalam pembelajaran 14%, siswa yang semangat belajarnya meningkat 14%, siswa yang peduli 11%, dan kreatif 7%. Selain itu, siswa yang disiplin naik 7%, siswa yang komunikatif 7%, dan memiliki sopan santun 4%.
Survei tentang pendidikan well-being yang dilakukan mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, Fauzia, berjudulGerakan Sekolah Menyenangkan: Fostering Student's Well-being through a Whole-school-approach (2020) juga menunjukkan faktaanak-anak yang belajar di sekolah GSM ternyata lebih tinggi kebahagiaannya dibandingkan dengan anak di sekolah lain yang tanpa GSM.
Novi menyebut salah satu keunggulan sekolah yang selama ini sudah menerapkan konsep GSM adalah lebih siap dalam situasi pandemi. Sekolah GSM tidak perlu kalang kabut seperti sekolah pada umumnya karena tidak siap dengan perubahan model pelajaran dari tatap muka di kelas menjadi belajar dari rumah melalui daring.
Sekolah GSM juga tidak bermasalah dengan kurikulum karena selama ini pembelajaran memang tidak berorientasi akademik, tidak ada standardisasi nilai, tidak mengenal kompetisi--misalnya siapa juara atau rangking kelas--melainkan lebih memberi ruang kepada siswa mengembangkan potensi dan keunikan dirinya masing-masing. Tujuannya agar terbentuk karakter kuat yang akan membangun ketahanan anak.
Melalui GSM, sistem belajar daring pun sudah lebih awal diperkenalkan ke siswa, termasuk belajar menggunakan aplikasi Zoom dan sejenisnya.
“Ketika pandemi kan seolah-olah semua stres karena tidak persiapkan diri. Bagi sekolah GSM, begitu ada pandemi, tidak bingung, justru mendapatkan momennya. Selama ini sekolah sudah siapkan diri, sudah dilatih punya ketahanan, punya kemampuan adaptasi, punya keterampilan-keterampilan sehingga nilai stres anak relatif rendah,” paparnya.
Dukungan Pemerintah
Pemerintah melihat konsep pendidikan well-being sebagai hal yang baik. Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hendarman mengatakan, konsep tersebut memberikan peranan sekolah untuk mengembangkan sikap positif anak selama proses belajar, meningkatkan prestasi akademik, dan menjaga kesehatan fisik serta mental siswa.
Model pendidikan well-being disebutnya dapat mendorong siswa agar merasa aman dan bahagia di sekolah, meningkatkan kesehatan dan perilaku sosial yang baik, serta dapat mengaktualisasi potensi yang dimiliki. “Pendidikan well-being akan membangun karakter baik siswa, sikap saling menghormati setiap warga sekolah, kekompakan, kerja keras, dan nilai-nilai lain sesuai dengan profil pelajar Pancasila yang saat ini menjadi visi dari Kemendikbud,” ujarnya saat dihubungi, Sabtu (27/2).
Dia menegaskan, Kemendikbud sangat mendukung gerakan-gerakan sosial yang bertujuan memberikan solusi untuk pendidikan Indonesia agar menjadi lebih baik lagi. Hal ini sejalan dengan Kebijakan Merdeka Belajar, yaitu mendorong sinergisitas antara berbagai pemangku kepentingan untuk berkontribusi dalam setiap gerakan perubahan pendidikan.
“Sinergitas pendidikan penting, sesuai dengan perannya dalam rangka terciptanya suasana belajar yang bahagia, menyenangkan, menggembirakan, dan bermakna baik bagi siswa maupun guru,” ujarnya.
Selain itu, Kemendikbud dalam mewujudkan program pembelajaran menyenangkan mendampingi peningkatan kapasitas teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bagi kepala sekolah dan guru-guru agar pembelajaran inovatif tersebut bisa diterapkan secara optimal. “Direktorat Jenderal Vokasi Kemendikbud juga menggandeng GSM untuk meningkatkan kualitas belajar siswa SMK melalui penciptaan ekosistem sekolah yang menyenangkan agar terwujud link and match pendidikan vokasi dengan dunia industri,” paparnya.
Menurut Hendarman, pendidikan karakter juga menjadi salah satu fokus kebijakan pendidikan yang diusung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemerintah mengembangkan pendidikan karakter karena menyadari pentingnya menyiapkan generasi emas Indonesia 2045 yang harus siap menghadapi dinamika perubahan masa depan.
Terkait pembukaan sekolah tatap muka yang direncanakan pada Juli 2021, Kemendikbud juga mengimbau kepada satuan pendidikan agar dapat menghadirkan belajar yang menyenangkan dari rumah bagi siswa dan mahasiswa di masa pandemi sesuai dengan kondisi khusus daerah masing-masing.
faorick pakpahan/bakti munir
(bmm)