Kisah Sate DJ, Kuliner Favorit Warga Bandung yang Tak Lekang oleh Teknologi
loading...
A
A
A
Banyak usaha UMKM meningkat omsetnya setelah mereka memanfaatkan aplikasi online. Dampaknya rantai perdagangan produk UMKM turut terdongkrak naik, sehingga belasan ribu lapangan pekerjaan pun tercipta.
Salah satunya pedagang sate, makanan tradisional yang ada sejak abad ke-19 dan masih digemari hingga saat ini. Sate merupakan salah satu kuliner lokal favorit yang tak pernah gagal menggugah selera, bahkan ketika baru menghirup aroma asapnya orang langsung dibuat menelan ludah dan perut keroncongan. Apalagi kalau sudah menghadapi langsung sepiring sate yang masih mengeluarkan asap, ditaburi irisan bawang goreng, kecap, potongan acar segar, olahan sambal pedas, dan dihidangkan dengan nasi atau lontong saat sore atau malam hari.
Salah satu rumah makan yang menu utamanya sate adalah Rumah Makan Sate DJ. Uniknya, rumah makan yang berada di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 276, Kota Bandung ini, satu-satunya di Indonesia yang tidak membuka cabang, dan omset setiap bulannya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Wow!
Pemilik Sate DJ, Muhammad Munip, menceritakan tentang perjalanan usaha sate keluarga yang berdiri sejak tahun 1984 ini. Awalnya, kata Munip, Sate DJ adalah sate Madura pada umumnya yang memakai bumbu kacang.
“Dari tahun 1984 itu masih sate biasa, masih sate ayam bumbu kacang. Baru pada 2004, kami ubah konsep. Dan sejak itu, Sate DJ dikenal dengan sate tanpa bumbu kacangnya. Bumbu kacang itu kami ganti dengan bumbu rahasia,” ujarnya.
Dia mengatakan, salah satu alasan dirinya tidak membuka cabang adalah untuk mempertahankan orisinalitas Sate DJ. “Ya, jadi orang-orang cukup tahu saja bahwa Sate DJ hanya ada di Jalan Jenderal Sudirman Bandung, tidak di tempat lain.”
Dengan begitu, orang-orang akan berusaha menikmati langsung hidangan sate dari sumber utama. Hal itu diakui sebagai salah satu cara agar tetap memikat pelanggan setia.
Selain itu, ada juga rahasia lainnya, di mana Munip memaknai pelanggan bukan sebagai raja, melainkan keluarga. “Menurut saya pelanggan itu adalah keluarga. Jadi, kami memberikan kenyamanan untuk keluarga, sehingga keluarga itu tidak akan jauh-jauh. Hal itu kami terapkan dari segi pelayanan dan kenyamanan.”
Teknologi yang memudahkan
Munip tidak menampik, saat ini teknologi sangat berpengaruh terhadap kelangsungan usaha kuliner. Cara-cara yang telah Munip lakukan harus dikolaborasikan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menjadi mitra merchant GrabFood agar dapat memasarkan produknya lebih luas melalui aplikasi Grab. Hal itu terbukti dengan meningkatnya omzet dan produksi sate dari Sate DJ.
Munip mengaku, sebelum bekerja sama dengan Grab, setiap harinya, Sate DJ hanya menjual 10.000 tusuk. Namun, setelah menjadi mitra merchant GrabFood, rata-rata 15.000 tusuk sate habis terjual dalam sehari.
Bisnis kuliner dengan aplikasi online, kata Munip, ternyata lebih menjanjikan. Berbagai perubahan positif ia dapatkan setelah bekerja sama dengan GrabFood.
Salah satunya pedagang sate, makanan tradisional yang ada sejak abad ke-19 dan masih digemari hingga saat ini. Sate merupakan salah satu kuliner lokal favorit yang tak pernah gagal menggugah selera, bahkan ketika baru menghirup aroma asapnya orang langsung dibuat menelan ludah dan perut keroncongan. Apalagi kalau sudah menghadapi langsung sepiring sate yang masih mengeluarkan asap, ditaburi irisan bawang goreng, kecap, potongan acar segar, olahan sambal pedas, dan dihidangkan dengan nasi atau lontong saat sore atau malam hari.
Salah satu rumah makan yang menu utamanya sate adalah Rumah Makan Sate DJ. Uniknya, rumah makan yang berada di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 276, Kota Bandung ini, satu-satunya di Indonesia yang tidak membuka cabang, dan omset setiap bulannya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Wow!
Pemilik Sate DJ, Muhammad Munip, menceritakan tentang perjalanan usaha sate keluarga yang berdiri sejak tahun 1984 ini. Awalnya, kata Munip, Sate DJ adalah sate Madura pada umumnya yang memakai bumbu kacang.
“Dari tahun 1984 itu masih sate biasa, masih sate ayam bumbu kacang. Baru pada 2004, kami ubah konsep. Dan sejak itu, Sate DJ dikenal dengan sate tanpa bumbu kacangnya. Bumbu kacang itu kami ganti dengan bumbu rahasia,” ujarnya.
Dia mengatakan, salah satu alasan dirinya tidak membuka cabang adalah untuk mempertahankan orisinalitas Sate DJ. “Ya, jadi orang-orang cukup tahu saja bahwa Sate DJ hanya ada di Jalan Jenderal Sudirman Bandung, tidak di tempat lain.”
Dengan begitu, orang-orang akan berusaha menikmati langsung hidangan sate dari sumber utama. Hal itu diakui sebagai salah satu cara agar tetap memikat pelanggan setia.
Selain itu, ada juga rahasia lainnya, di mana Munip memaknai pelanggan bukan sebagai raja, melainkan keluarga. “Menurut saya pelanggan itu adalah keluarga. Jadi, kami memberikan kenyamanan untuk keluarga, sehingga keluarga itu tidak akan jauh-jauh. Hal itu kami terapkan dari segi pelayanan dan kenyamanan.”
Teknologi yang memudahkan
Munip tidak menampik, saat ini teknologi sangat berpengaruh terhadap kelangsungan usaha kuliner. Cara-cara yang telah Munip lakukan harus dikolaborasikan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menjadi mitra merchant GrabFood agar dapat memasarkan produknya lebih luas melalui aplikasi Grab. Hal itu terbukti dengan meningkatnya omzet dan produksi sate dari Sate DJ.
Munip mengaku, sebelum bekerja sama dengan Grab, setiap harinya, Sate DJ hanya menjual 10.000 tusuk. Namun, setelah menjadi mitra merchant GrabFood, rata-rata 15.000 tusuk sate habis terjual dalam sehari.
Bisnis kuliner dengan aplikasi online, kata Munip, ternyata lebih menjanjikan. Berbagai perubahan positif ia dapatkan setelah bekerja sama dengan GrabFood.