PKB Beberkan Subtansi dan Prosedur Perlunya Revisi UU Pemilu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim memandang revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, penting dilakukan dan harus mencakup masalah-masalah mendasar yang menjadi temuan kekurangan pada pelaksanaan Pemilu 2019. Dalam hal ini, Luqman menggariskan bahwa Pemilu dan Pilkada diatur dalam undang-undang berbeda, di mana Fraksi PKB memandang UU Pilkada tak perlu direvisi, sementara UU Pemilu perlu dilakukan revisi.
Luqman menyatakan, dari sisi aspek subtansi materi legislasi, pihaknya menyoroti alasan UU Pemilu perlu direvisi. Pertama, ia melihat, banyaknya penyelenggara pemilu (paling banyak petugas KPPS) meninggal dunia pada Pemilu 2019, akibat aturan penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara.
"Sedangkan batas maksimum hak pilih tiap TPS masih sangat tinggi, yakni 500 pemilih dengan lima kertas suara. Beban penghitungan yang dibatasi waktu, menyebabkan banyak petugas KPPS kelelahan, sakit dan meninggal dunia," katanya kepada wartawan, Selasa (23/2/2021).
Baca juga: Dorong Revisi UU Pemilu, PKS Tidak Ingin Ada Politik Identitas di Pilpres
Kedua, lanjut dia, praktik money politics pada pemilu 2019 makin massif dan besar angka rupiahnya jika dibandingkan Pemilu 2014 dan 2009. Ini disebabkan aturan penegakan hukum terhadap praktik money politic yang tidak tegas dan efektif. Ia melihat, semakin kuatnya pengaruh money politic dalam pemilu, tentu merusak hakikat demokrasi dan menyebabkan kekuasaan yang dihasilkan pemilu mengalami penurunan legitimasi dan cenderung korup.
Ketiga, kegagalan Pemilu 2019 mencapai tujuan memperkuat sistem presidensialisme dan penyederhanaan partai politik. Manuver Presiden Jokowi mengajak kubu Prabowo Subianto ke dalam koalisi pemerintah adalah upaya membangun efektifitas pemerintahan yang gagal dihasilkan pemilu.
Keempat, kata politikus PKB ini, meskipun partisipasi politik perempuan mengalami banyak kemajuan, aturan Pemilu 2019 belum cukup kuat memberikan afirmasi kepada kaum perempuan. Tidak adanya keharusan dalam aturan pemilu kepada partai politik untuk menempatkan caleg perempuan pada nomor urut satu pada sebagian daerah pemilihan, harus diperbaiki. Aturan pemilu hanya mewajibkan setiap tiga daftar caleg dalam satu daerah pemilihan harus ada unsur perempuan.
Baca juga: Wacana Revisi UU Pemilu, DPR dan Pemerintah Perlu Duduk Bersama
"Kelima, undang-undang pemilu tidak mengatur kewajiban domisili caleg di daerah pemilihan. Sehingga hubungan anggota DPR dengan rakyat di daerah pemilihan yang diwakili, kadang menjadi longgar dan mengalami keterputusan. Padahal tugas dan tanggung jawab anggota DPR, sebagaimana diucapkan dalam sumpah jabatan, adalah menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat daerah pemilihan," ujarnya.
Selanjutnya yang keenam, aturan pemilu 2019 belum memberi jaminan adanya persamaan beban pelayanan anggota DPR kepada rakyat yang diwakili secara berimbang. Anggota DPR adalah perwakilan rakyat, bukan mewakili daerah. Wakil kepentingan daerah sudah disediakan jalan melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Celakanya, jumlah rakyat yang harus dilayani kepentingannya oleh setiap anggota DPR tidak mencerminkan perimbangan. Aturan pembentukan daerah pemilihan, tidak mewajibkan adanya keadilan representasi kursi DPR berdasarkan jumlah penduduk yang diwakili. Contoh, satu kursi DPR dari Kalimantan Utara mewakili kepentingan 256.168 orang penduduk. Bandingkan dengan anggota DPR dari daerah pemilihan di wilayah Provinsi Jawa Barat yang merepresentasikan keterwakilan 548.745 jumlah penduduk.
Ketujuh, lanjut Luqman, aturan subsidi pembiayaan negara kepada peserta Pemilu 2019 berupa pemberian Alat Peraga Kampanye (APK) tidak bermanfaat, menambah beban kerja penyelenggara dan memboroskan anggaran negara. Diperlukan reformasi aturan pembiayaan untuk peserta pemilu agar tepat manfaat dan sasaran.
Adapun, kedelapan, penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka sejak Pemilu 2009, perlu dievaluasi. Apakah sistem ini terbukti dapat menjamin kemurnian suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara yang dilaksanakan melalui pemilu, atau malah sebaliknya.
Dan kesembilan, undang-undang pemilu belum memberi ruang bagi kemajuan teknologi untuk mempermudah pelaksanaan pemilu, terutama pada pemungutan dan penghitungan suara. Jika teknologi digunakan dengan tepat, pasti akan berdampak positif pada kualitas pelaksanaan pemilu dan akan mengurangi anggaran biaya pemilu secara signifikan.
"Kalau mau ditambahkan, masih ada dua masalah penting yang harus dibahas dalam revisi UU Pemilu, yakni masalah ambang batas parlemen dan ambang batas pencalonan presiden," katanya.
Luqman menyatakan, dari sisi aspek subtansi materi legislasi, pihaknya menyoroti alasan UU Pemilu perlu direvisi. Pertama, ia melihat, banyaknya penyelenggara pemilu (paling banyak petugas KPPS) meninggal dunia pada Pemilu 2019, akibat aturan penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara.
"Sedangkan batas maksimum hak pilih tiap TPS masih sangat tinggi, yakni 500 pemilih dengan lima kertas suara. Beban penghitungan yang dibatasi waktu, menyebabkan banyak petugas KPPS kelelahan, sakit dan meninggal dunia," katanya kepada wartawan, Selasa (23/2/2021).
Baca juga: Dorong Revisi UU Pemilu, PKS Tidak Ingin Ada Politik Identitas di Pilpres
Kedua, lanjut dia, praktik money politics pada pemilu 2019 makin massif dan besar angka rupiahnya jika dibandingkan Pemilu 2014 dan 2009. Ini disebabkan aturan penegakan hukum terhadap praktik money politic yang tidak tegas dan efektif. Ia melihat, semakin kuatnya pengaruh money politic dalam pemilu, tentu merusak hakikat demokrasi dan menyebabkan kekuasaan yang dihasilkan pemilu mengalami penurunan legitimasi dan cenderung korup.
Ketiga, kegagalan Pemilu 2019 mencapai tujuan memperkuat sistem presidensialisme dan penyederhanaan partai politik. Manuver Presiden Jokowi mengajak kubu Prabowo Subianto ke dalam koalisi pemerintah adalah upaya membangun efektifitas pemerintahan yang gagal dihasilkan pemilu.
Keempat, kata politikus PKB ini, meskipun partisipasi politik perempuan mengalami banyak kemajuan, aturan Pemilu 2019 belum cukup kuat memberikan afirmasi kepada kaum perempuan. Tidak adanya keharusan dalam aturan pemilu kepada partai politik untuk menempatkan caleg perempuan pada nomor urut satu pada sebagian daerah pemilihan, harus diperbaiki. Aturan pemilu hanya mewajibkan setiap tiga daftar caleg dalam satu daerah pemilihan harus ada unsur perempuan.
Baca juga: Wacana Revisi UU Pemilu, DPR dan Pemerintah Perlu Duduk Bersama
"Kelima, undang-undang pemilu tidak mengatur kewajiban domisili caleg di daerah pemilihan. Sehingga hubungan anggota DPR dengan rakyat di daerah pemilihan yang diwakili, kadang menjadi longgar dan mengalami keterputusan. Padahal tugas dan tanggung jawab anggota DPR, sebagaimana diucapkan dalam sumpah jabatan, adalah menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat daerah pemilihan," ujarnya.
Selanjutnya yang keenam, aturan pemilu 2019 belum memberi jaminan adanya persamaan beban pelayanan anggota DPR kepada rakyat yang diwakili secara berimbang. Anggota DPR adalah perwakilan rakyat, bukan mewakili daerah. Wakil kepentingan daerah sudah disediakan jalan melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Celakanya, jumlah rakyat yang harus dilayani kepentingannya oleh setiap anggota DPR tidak mencerminkan perimbangan. Aturan pembentukan daerah pemilihan, tidak mewajibkan adanya keadilan representasi kursi DPR berdasarkan jumlah penduduk yang diwakili. Contoh, satu kursi DPR dari Kalimantan Utara mewakili kepentingan 256.168 orang penduduk. Bandingkan dengan anggota DPR dari daerah pemilihan di wilayah Provinsi Jawa Barat yang merepresentasikan keterwakilan 548.745 jumlah penduduk.
Ketujuh, lanjut Luqman, aturan subsidi pembiayaan negara kepada peserta Pemilu 2019 berupa pemberian Alat Peraga Kampanye (APK) tidak bermanfaat, menambah beban kerja penyelenggara dan memboroskan anggaran negara. Diperlukan reformasi aturan pembiayaan untuk peserta pemilu agar tepat manfaat dan sasaran.
Adapun, kedelapan, penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka sejak Pemilu 2009, perlu dievaluasi. Apakah sistem ini terbukti dapat menjamin kemurnian suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara yang dilaksanakan melalui pemilu, atau malah sebaliknya.
Dan kesembilan, undang-undang pemilu belum memberi ruang bagi kemajuan teknologi untuk mempermudah pelaksanaan pemilu, terutama pada pemungutan dan penghitungan suara. Jika teknologi digunakan dengan tepat, pasti akan berdampak positif pada kualitas pelaksanaan pemilu dan akan mengurangi anggaran biaya pemilu secara signifikan.
"Kalau mau ditambahkan, masih ada dua masalah penting yang harus dibahas dalam revisi UU Pemilu, yakni masalah ambang batas parlemen dan ambang batas pencalonan presiden," katanya.
(abd)