Luqman menyatakan, dari sisi aspek subtansi materi legislasi, pihaknya menyoroti alasan UU Pemilu perlu direvisi. Pertama, ia melihat, banyaknya penyelenggara pemilu (paling banyak petugas KPPS) meninggal dunia pada Pemilu 2019, akibat aturan penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara.
"Sedangkan batas maksimum hak pilih tiap TPS masih sangat tinggi, yakni 500 pemilih dengan lima kertas suara. Beban penghitungan yang dibatasi waktu, menyebabkan banyak petugas KPPS kelelahan, sakit dan meninggal dunia," katanya kepada wartawan, Selasa (23/2/2021).
Baca juga: Dorong Revisi UU Pemilu, PKS Tidak Ingin Ada Politik Identitas di Pilpres
Baca Juga:
Kedua, lanjut dia, praktik money politics pada pemilu 2019 makin massif dan besar angka rupiahnya jika dibandingkan Pemilu 2014 dan 2009. Ini disebabkan aturan penegakan hukum terhadap praktik money politic yang tidak tegas dan efektif. Ia melihat, semakin kuatnya pengaruh money politic dalam pemilu, tentu merusak hakikat demokrasi dan menyebabkan kekuasaan yang dihasilkan pemilu mengalami penurunan legitimasi dan cenderung korup.
Ketiga, kegagalan Pemilu 2019 mencapai tujuan memperkuat sistem presidensialisme dan penyederhanaan partai politik. Manuver Presiden Jokowi mengajak kubu Prabowo Subianto ke dalam koalisi pemerintah adalah upaya membangun efektifitas pemerintahan yang gagal dihasilkan pemilu.
Keempat, kata politikus PKB ini, meskipun partisipasi politik perempuan mengalami banyak kemajuan, aturan Pemilu 2019 belum cukup kuat memberikan afirmasi kepada kaum perempuan. Tidak adanya keharusan dalam aturan pemilu kepada partai politik untuk menempatkan caleg perempuan pada nomor urut satu pada sebagian daerah pemilihan, harus diperbaiki. Aturan pemilu hanya mewajibkan setiap tiga daftar caleg dalam satu daerah pemilihan harus ada unsur perempuan.
Baca juga: Wacana Revisi UU Pemilu, DPR dan Pemerintah Perlu Duduk Bersama