Demokrasi Melemah, Revisi UU ITE Dinilai Jangan Jadi Sekadar Basa-basi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kualitas demokrasi di era kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai menurun. Daya tahan demokrasi melemah, baik dalam hal kebebasan berbicara (freedom of spech) maupun kebebasan berekspresi (freedom of ekspresion).
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyebutkan data turunnya Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU).
Dalam laporan tersebut, Indonesia tercatat mendapatkan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, 7,50 untuk fungsi dan kinerja pemerintah, 6,11 untuk partipasi politik, 4,38 untuk budaya politik, dan skor 5,59 untuk kebebasan sipil.
"Kita sangat berharap wacana presiden merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak hanya sekadar basa-basi politik semata, bisa segera presiden intervensi, ditindaklanjuti partai politik keinginan presiden di DPR, sebagaimana presiden bisa intervensi pilkada ditunda 2024 lewat kaki tangan tokoh sentral ketua umum partai politik," ujarnya, Selasa (23/2/2021).
Pangi mengatakan, revisi UU ITE mestinya juga bisa. Jika ada yang menolak, Presiden harusnya bisa mengatasi masalah tersebut. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden punya legitimasi, kekuasaan dan pengaruh yang cukup kuat dalam desain sistem presidensial Indonesia.
"Betapa pentingnya negara menghormati hak rakyat untuk menyatakan pandangan, pikiran dan kata-katanya pada ruang ekspresi media online maupun media offline. Bahkan Freedom House dijadikan sebagai parameter pemenuhan kebebasan hak sipil dan demokrasi," tuturnya.
Menurut Pangi, penghormatan pada kebebasan sipil dan termasuk di dalamnya adalah kebebasan bagi kaum minoritas.
"Freedom House bisa memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang demokrasi dalam persimpangan jalan karena mulai tersumbatnya kanal kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan mengadakan perkumpulan," katanya.
Dia menjelaskan, sistem otoriter adalah sistem yang selalu curiga pada manusia dan kebebasannya. "Kalau sistem demokrasi sebaliknya negara yang terus dicurigai dan diawasi ketat oleh manusia dan kebebasannya, era Presiden Jokowi yang terjadi adalah fenomena negara over dosis curiga dengan pikiran-pikiran kebebasan rakyatnya," urainya.
Menurut dia, Presiden menjelma bagai dewa yang antikritik menjadi feodal seutuhnya, masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyebutkan data turunnya Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU).
Dalam laporan tersebut, Indonesia tercatat mendapatkan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, 7,50 untuk fungsi dan kinerja pemerintah, 6,11 untuk partipasi politik, 4,38 untuk budaya politik, dan skor 5,59 untuk kebebasan sipil.
"Kita sangat berharap wacana presiden merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak hanya sekadar basa-basi politik semata, bisa segera presiden intervensi, ditindaklanjuti partai politik keinginan presiden di DPR, sebagaimana presiden bisa intervensi pilkada ditunda 2024 lewat kaki tangan tokoh sentral ketua umum partai politik," ujarnya, Selasa (23/2/2021).
Pangi mengatakan, revisi UU ITE mestinya juga bisa. Jika ada yang menolak, Presiden harusnya bisa mengatasi masalah tersebut. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden punya legitimasi, kekuasaan dan pengaruh yang cukup kuat dalam desain sistem presidensial Indonesia.
"Betapa pentingnya negara menghormati hak rakyat untuk menyatakan pandangan, pikiran dan kata-katanya pada ruang ekspresi media online maupun media offline. Bahkan Freedom House dijadikan sebagai parameter pemenuhan kebebasan hak sipil dan demokrasi," tuturnya.
Menurut Pangi, penghormatan pada kebebasan sipil dan termasuk di dalamnya adalah kebebasan bagi kaum minoritas.
"Freedom House bisa memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang demokrasi dalam persimpangan jalan karena mulai tersumbatnya kanal kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan mengadakan perkumpulan," katanya.
Dia menjelaskan, sistem otoriter adalah sistem yang selalu curiga pada manusia dan kebebasannya. "Kalau sistem demokrasi sebaliknya negara yang terus dicurigai dan diawasi ketat oleh manusia dan kebebasannya, era Presiden Jokowi yang terjadi adalah fenomena negara over dosis curiga dengan pikiran-pikiran kebebasan rakyatnya," urainya.
Menurut dia, Presiden menjelma bagai dewa yang antikritik menjadi feodal seutuhnya, masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri.