Demokrasi Melemah, Revisi UU ITE Dinilai Jangan Jadi Sekadar Basa-basi

Selasa, 23 Februari 2021 - 13:41 WIB
loading...
Demokrasi Melemah, Revisi UU ITE Dinilai Jangan Jadi Sekadar Basa-basi
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyebutkan data turunnya Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU). Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Kualitas demokrasi di era kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai menurun. Daya tahan demokrasi melemah, baik dalam hal kebebasan berbicara (freedom of spech) maupun kebebasan berekspresi (freedom of ekspresion).

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyebutkan data turunnya Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU).

Dalam laporan tersebut, Indonesia tercatat mendapatkan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, 7,50 untuk fungsi dan kinerja pemerintah, 6,11 untuk partipasi politik, 4,38 untuk budaya politik, dan skor 5,59 untuk kebebasan sipil.

"Kita sangat berharap wacana presiden merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak hanya sekadar basa-basi politik semata, bisa segera presiden intervensi, ditindaklanjuti partai politik keinginan presiden di DPR, sebagaimana presiden bisa intervensi pilkada ditunda 2024 lewat kaki tangan tokoh sentral ketua umum partai politik," ujarnya, Selasa (23/2/2021).

Pangi mengatakan, revisi UU ITE mestinya juga bisa. Jika ada yang menolak, Presiden harusnya bisa mengatasi masalah tersebut. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden punya legitimasi, kekuasaan dan pengaruh yang cukup kuat dalam desain sistem presidensial Indonesia.

"Betapa pentingnya negara menghormati hak rakyat untuk menyatakan pandangan, pikiran dan kata-katanya pada ruang ekspresi media online maupun media offline. Bahkan Freedom House dijadikan sebagai parameter pemenuhan kebebasan hak sipil dan demokrasi," tuturnya.

Menurut Pangi, penghormatan pada kebebasan sipil dan termasuk di dalamnya adalah kebebasan bagi kaum minoritas.

"Freedom House bisa memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang demokrasi dalam persimpangan jalan karena mulai tersumbatnya kanal kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan mengadakan perkumpulan," katanya.

Dia menjelaskan, sistem otoriter adalah sistem yang selalu curiga pada manusia dan kebebasannya. "Kalau sistem demokrasi sebaliknya negara yang terus dicurigai dan diawasi ketat oleh manusia dan kebebasannya, era Presiden Jokowi yang terjadi adalah fenomena negara over dosis curiga dengan pikiran-pikiran kebebasan rakyatnya," urainya.

Menurut dia, Presiden menjelma bagai dewa yang antikritik menjadi feodal seutuhnya, masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri.

"Syukur 'Presiden' sudah siuman sehingga ada niat untuk revisi UU ITE ini, tapi apakah ini hanya sebatas dagelan politik atau panggung sandiwara belaka? Dari awal kita sudah khawatir dengan pasal karet UU ITE yang bernafsu membungkam kebebasan berpendapat (freedom of speech) ujungnya memenjarakan pikiran sehat yang terkenal vokal mengkiritik pemerintah," katanya.

Pangi menilai sudah terlalu banyak jatuh korban akibat ulah pasal ini. Presiden seolah siuman setelah negara kehilangan vitamin, akibat keringnya kritik, sementara puji pujian terhadap pemerintah mengalami obesitas.

Fenomena warga negara yang kritis (critical citizen) yang ada dalam ruang wilayah sistem demokrasi yang ideal, kemunculan warga yang kritis menstabilkan kehidupan politik, kehadiran ciritical democracy mengindikasikan kehidupan politik yang sehat apabilla diikuti dengan tekanan untuk perbaikan institusional

Dalam demokrasi, tutur Pangi, salah satu yang dijamin adalah kebebasan sipil. Kebebasan sipil dapat diartikan sebagai kebebasan individu warga negara untuk mendapatkan kesempatan yang sama sebagai warga negara untuk mengejar cita-citanya, merealisasikan dan mengekspresikan dirinya secara penuh, terlepas dari bawa-bawaan primordial yang melekat.

"Kebebasan sipil dalam demokrasi, yaitu kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat, kebebasan berkumpul dan berorganisasi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan," urainya.

Dia mencontohkan organisasi yang sudah dibubarkan negara tanpa lewat mekanisme demokrasi dalam hal ini otoritas pengadilan. "Apakah betul FPI dibubarkan karena radikal atau hanya karena kritis kepada penguasa?" katanya.

Menurut dia, kebebasan beragama soal polemik jilbab melalui regulasi peraturan SKB 3 menteri, toleransi sepihak yang juga cenderung tidak adil dan tampak diskriminatif.

Turunnya indeks demokrasi Indonesia, kata dia, jelas punya konsekuensi logis terhadap tingkat kepercayaan dunia untuk berinvestasi di Indonesia terkait pinjaman dan lain-lain.

"Meminjam pendapat Sir Churchil, konon demokrasi adalah pemerintahan terburuk, kecuali jika semua bentuk lain yang pernah dicobakan dari waktu ke waktu," kata Pangi.

(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1881 seconds (0.1#10.140)