Calon Ketum PB PMII Bicara Dilema Tren Kekinian

Jum'at, 19 Februari 2021 - 20:00 WIB
loading...
Calon Ketum PB PMII...
Calon Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Muhammad Rafsanjani berbicara dilema tren kekinian. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Calon Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) , Muhammad Rafsanjani berbicara dilema tren kekinian. Menurut dia, periode pembentukan Indonesia, gerakan pengorganisiran massa sangatlah kental mengubah keadaan.

"Kolonialisme yang mencengkeram kehidupan masyarakat berhasil memicu persatuan nasional dengan narasi kemerdekaan: Sumpah Pemuda, bercita-cita mengubah watak kolonial yang harus lenyap dari Indonesia," ujarnya, Jumat (19/2/2021). Baca juga: Penilaian PB PMII terhadap Kinerja Pemerintah Sepanjang 2020

Dia mengatakan semangat kemerdekaan melandasi anak muda guna meningkatkan kapasitas diri. Mulai giat belajar, baca buku, sampai ikut organisasi massa dalam ragam warna ideologi di zamannya. "Semua dilakukan demi satu tujuan, yakni Indonesia merdeka," ungkap pria kelahiran Garut pada 30 Maret 1992 itu.

Menyur, konsistensi perlawanan melahirkan banyak tokoh bangsa, mulai dari Sukarno muda, Tan Malaka muda, Agus Salim muda, sampai Hatta muda, Wachid Hasjim, Wahab Chasbullah, Mas Manysur, dan seterusnya lahir atas kesamaan narasi kemerdekaan. Secara individu mereka memiliki ideologi, strategi berbeda-beda. Walaupun beda ideologi, partai politik, sampai orientasi bernegara, namun hakikat kemunculan anak muda Indonesia pada dasarnya sama, sama-sama didasarkan pada kapasitas intelektual dan tajamnya visi kemanusiaan. "Perubahan tidak hadir dalam wadah cangkang kepala yang kosong dan jiwa yang kering," katanya.

Pengalaman tersebut, kata dia, adalah refleksi. Gerakan pemuda saat itu harus dijadikan rujukan, bukan terbatas jargon anak muda. "Kita perlu rekonstruksi ulang makna pemuda sebagai harapan. Kita menjawab mimpi negeri ini," imbuhnya.

Lebih dari itu, lanjut dia, fenomena dan tren belakangan ini, di mana anak muda dipertontonkan kehidupan sukses para influencer media sosial, boleh jadi orientasi masa depan anak muda menjadi kian sesak pada narasi kesuksesan, glamor, dan miskin penghormatan pada kondisi masyarakat kita.

Data Bappenas menunjukkan, akhir tahun 2019 tercatat Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) Indonesia masih sangat rendah, atau setara dengan skor 51,50. "Artinya, di antara negara ASEAN, kita hanya setingkat lebih tinggi dari Thailand, Kamboja, dan Laos," ujarnya.

Lebih jauh lagi, kata dia, jika diukur melalui penilaian Global Youth Development Indeks, Indonesia menduduki peringkat 138 dari 183 negara seluruh dunia. Penilaian ini didasarkan pada 5 variabel utama, yakni pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, lapangan dan kesempatan kerja, partisipasi dan kepemimpinan, serta diskriminasi dan gender.

"Itu jelas bukan berita baik. Tentu skor buruk ini menjadi gambaran besar kualitas anak muda Indonesia yang hanya berkutat pada mimpi-mimpi individual," tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, semangat perubahan anak muda Indonesia mampu menggetarkan lebih dari separuh bola dunia ini seolah tenggelam terbawa arus modernisasi semu dan gaya hidup medioker. "Saatnya kita mengubah tren, dari sekadar bergaya di berbagai platform media sosial, sex bebas, dan narkoba. Menjadi anak muda produktif, aktif bermasyarakat dan gerakan pengorganisiran massa. Semata-mata demi masa depan Indonesia," katanya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1238 seconds (0.1#10.140)