Gaok Mencari Pewaris

Kamis, 18 Februari 2021 - 15:21 WIB
loading...
A A A
Desa Kulur berada di wilayah Majalengka Timur. Tidak begitu jauh dari pusat perkotaan Majalengka. Suasana perumahan di perbukitan, hamparan tanaman padi hijau di kanan kiri, menjadi pemandangan segar saat berkendara menuju desa Kulur. Akses jalan tidak begitu sulit. 20 menit perjalanan dari kampung saya, Desa Jatiwangi, Majalengka, yang terletak di dataran lebih rendah, dan bersinggungan langsung dengan jalur utama Cirebon-Bandung. Terlebih hawa dingin pagi hari kala itu yang memang tengah gerimis.

Sebagai seni pertunjukan karuhun atau leluhur, Gaok dari Desa Kulur, tidak diketahui persis kapan mulai ada. Tidak ada peninggalan (prasasti atau naskah) yang menunjukkan keterangan waktu. Dalam penelusuran literatur yang ada, saya mencatat kesamaan yang bisa dijadikan pegangan. Penamaan Gaok berasal dari kata "gorowok" artinya berteriak, karena cara membawakannya dengan dinyanyikan suara keras atau nada tinggi.
Gaok adalah jenis kesenian pertunjukan mamaos (membaca teks) berupa wawacan, dari kata wawar ka nu acan atau berarti memberi tahu kepada yang belum mengetahui (Profil Kesenian Daerah Kabupaten Majalengka, Asikin Hidayat, 2017). Pada awalnya, Gaok disuguhkan untuk keperluan ritual dan adat upacara kelahiran bayi.



Gaok sebagai kesenian, dianggap sebagai hasil pencampuran nilai budaya atau sinkretisme etnis Sunda dengan budaya Islam yang datang dari Cirebon. Hal ini didasari Gaok sebagai medium dakwah di Majalengka, saat penyebaran ajaran Islam masa pemerintahan Pangeran Muhammad pada Abad ke-15. Sejumlah fakta menguatkan pendapat ini, keberadaan Aksara Arab (Pegon) pada naskah asli wawacan, dan jalan ceritanya berupa kisah-kisah Nabi (Anbiya) dikidungkan seniman Gaok. Selain itu, pada praktiknya, dalam pertunjukan yang menggunakan bahasa Sunda, pengucapan lafal Basmallah di awal Wawacan, menjadi keharusan.

Sejarah Gaok di Majalengka juga erat dikaitkan dengan 2 tokoh seniman yakni Sabda Wangsadihardja (Abad ke-20), serta anaknya yakni Engkos Wangsadihardja (era kejayaan pada 1960-an). Kini sepeninggal tokoh tersebut, sebagai penerus adalah Aki Rukmin. "Saya keponakan Wangsadihardja, saya manggilnya Uwak," kata Aki Rukmin.

Ia mengiyakan jika Gaok menjadi hiburan favorit masyarakat. Aki Rukmin yang bergabung grup Gaok sejak 1963, sering tampil di kampung-kampung. "Nu ngagaduhan bayi, ngarupus, ngayun sampe babarit sawah (yang punya bayi, melahirkan, sampai panen sawah)," kenang Aki Rukmin.

Gaok kini dan dulu memiliki perbedaan. Di awal, Gaok dibawakan sebatas memaparkan cerita babad tanpa iringan musik alias asli mengandalkan kemampuan dalang mengolah cerita lalakon dengan ragam jenis lagu pupuh. Karena sifatnya sebagai seni pertunjukan, Gaok berkembang. Gaok mulai ditambahkan dengan alat musik. Itu pun, menurut Fahrurozi dalam penelitiannya Strategi Dalang Gaok, 2014, hanya digunakan untuk mengiringi mamaos/Gaok secara keseluruhan atau hanya jeda misal pada saat mengakhiri kalimat lagu atau ngagoongkeun pupuh.

Pada saat itu, menurut Aki Rukmin, Gaok dilengkapi naskah, sesaji (ritual), dan waditra (alat musik) pengiring. "Apapun yang ada di dapur, kecreknya sendok, kadang piring, tapi ke sininya ada tukang Kendang, Gong, Terompet, tapi yang aslinya tetap ada, Buyung," kata Udin, peniup Buyung. Gaok mengalami transformasi.

Naskah Gaok, masih berdasarkan penuturan Aki Rukmin, berupa wawacan atau lalakon yang berjumlah 17. Beberapa yang favorit ia sering bawakan yakni cerita Sulanjana, Barjah, Samun, Nyi Rambut Kasih dan Talagamanggung. "Itu cerita padi dan Dewi Sri (Sulanjana)," ujar Aki Rukmin.

Selain pelaku seni seperti Aki Rukmin, keberadaan naskah menjadi bukti peninggalan seni sunda karuhun (lama) yang hingga saat ini masih bertahan. Aki Rukmin yang berperan sebagai dalang Gaok, menguasai berbagai jenis pupuhnya, di mana yang sering dia bawakan antara lain Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula.
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1240 seconds (0.1#10.140)