Setuju Revisi UU ITE, PKS: Jangan Hanya Move Politik Kosong
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ) di DPR RI Sukamta mengaku pihaknya setuju dengan langkah pemerintah yang ingin melakukan revisi UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ).
"Rencana ini sejalan dengan pandangan kami yang beberapa tahun terakhir mengusulkan revisi UU ITE dalam RUU Prolegnas, meskipun kandas akibat kurangnya dukungan di parlemen. Karenanya, kami menyambut baik dan sangat setuju atas rencana revisi UU ITE ," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (16/2/2021).
Sukamta menganggap, rencana revisi UU ITE dari sisi masyarakat tentu bisa memberikan rasa keadilan dan kenyamanan di masyarakat. Meskipun dari sisi pemerintah sudah agak terlambat, karena apabila revisi nanti selesai dibahas antara pemerintah dengan DPR yang biasanya memakan waktu 1 hingga 2 tahun pembahasan, kemungkinan UU ITE yang sudah direvisi baru bisa diterapkan pada tahun 2023 atau 2024 di pengujung masa jabatan Presiden Jokowi. "Jadi jangan sampai revisi UU ITE ini nantinya hanya move politik kosong belaka," katanya.
Selain itu, Anggota DPR Komisi I ini menjelaskan bahwa sebetulnya undang-undang ini sangat mulia pada awal pembahasannya. Dia melihat, UU ini diharapkan bisa memberikan kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi dan bisnis di dunia maya (elektronik).
Di sisi lain, waktu undang-undang ini disahkan menjadi UU RI No. 11 Tahun 2008 itu juga sebetulnya sudah dinilai terlambat, karena awal tahun 2000-an dunia internet sudah booming, tanpa ada aturan hukum yang secara pasti mengatur.
Baca juga: Presiden Jokowi Minta Kapolri Selektif Terima Laporan UU ITE
"Berjalan seiringnya waktu, ternyata UU ITE ini dalam implementasinya malah lebih kental nuansa hukum pencemaran nama baiknya daripada soal transaksi ekonomi-bisnisnya," ujarnya.
Menurutnya, pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dianggap pasal karet dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi masyarakat, hingga banyak korban berjatuhan. "Banyak orang dilaporkan, ditangkap dan ditahan karena menyampaikan pendapatnya di internet," ungkap dia.
Baca juga: Tanpa Dukungan Elite Parpol, Revisi UU ITE Hanya Wacana
Karena itu, lanjut doktor lulusan Manchester ini, UU ITE direvisi menjadi UU RI No 19 Tahun 2016. Saat itu beberapa hal direvisi seperti soal pemblokiran situs internet, right to be forgotten, penyadapan, penyidikan, dan termasuk pasal pencemaran nama baik yang dikurangi maksimal ancaman pidana penjaranya dari 6 tahun menjadi 4 tahun.
"Kami Fraksi PKS saat itu meminta agar pasal pencemaran nama baik ditinjau ulang, bahkan kalau perlu dihapus saja, mengingat sudah diatur dalam KUHP, agar tidak ada duplikasi pengaturan. Hanya Fraksi PKS dan PAN yang dianggap progresif pandangannya terhadap pasal tersebut," ucapnya.
Baca juga: Jokowi Mau Revisi UU ITE Jika Tak Bisa Berikan Rasa Keadilan
Namun, Sukamta yang juga bertindak sebagai anggota Panja Revisi UU ITE saat itu menjelaskan bahwa dalam dinamika pembahasan, mayoritas fraksi, terlebih fraksi-fraksi pendukung koalisi pemerintah, menginginkan pasal tersebut tetap dipertahankan dengan pengurangan maksimal ancaman pidana penjara agar tidak ada lagi kriminalisasi dengan penahanan sebelum putusan hukum tetap dari pengadilan. Dan pada akhirnya disahkan revisi UU ITE seperti yang sekarang.
"Pada implementasinya, ternyata masih banyak proses hukum kasus pencemaran nama baik di lapangan yang tidak sesuai dengan spirit revisi tersebut. Malah terakhir kriminalisasi melebar ke pasal-pasal lain seperti pasal soal hoaks dan pasal keonaran yang juga dianggap pasal karet. Ya semoga ke depannya revisi UU ITE bisa memberikan kejelasan hukum berasaskan keadilan. InsyaAllah kami Fraksi PKS akan mengawalnya demi masa depan dunia digital dan kedewasaan demokrasi kita," pungkas wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
"Rencana ini sejalan dengan pandangan kami yang beberapa tahun terakhir mengusulkan revisi UU ITE dalam RUU Prolegnas, meskipun kandas akibat kurangnya dukungan di parlemen. Karenanya, kami menyambut baik dan sangat setuju atas rencana revisi UU ITE ," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (16/2/2021).
Sukamta menganggap, rencana revisi UU ITE dari sisi masyarakat tentu bisa memberikan rasa keadilan dan kenyamanan di masyarakat. Meskipun dari sisi pemerintah sudah agak terlambat, karena apabila revisi nanti selesai dibahas antara pemerintah dengan DPR yang biasanya memakan waktu 1 hingga 2 tahun pembahasan, kemungkinan UU ITE yang sudah direvisi baru bisa diterapkan pada tahun 2023 atau 2024 di pengujung masa jabatan Presiden Jokowi. "Jadi jangan sampai revisi UU ITE ini nantinya hanya move politik kosong belaka," katanya.
Selain itu, Anggota DPR Komisi I ini menjelaskan bahwa sebetulnya undang-undang ini sangat mulia pada awal pembahasannya. Dia melihat, UU ini diharapkan bisa memberikan kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi dan bisnis di dunia maya (elektronik).
Di sisi lain, waktu undang-undang ini disahkan menjadi UU RI No. 11 Tahun 2008 itu juga sebetulnya sudah dinilai terlambat, karena awal tahun 2000-an dunia internet sudah booming, tanpa ada aturan hukum yang secara pasti mengatur.
Baca juga: Presiden Jokowi Minta Kapolri Selektif Terima Laporan UU ITE
"Berjalan seiringnya waktu, ternyata UU ITE ini dalam implementasinya malah lebih kental nuansa hukum pencemaran nama baiknya daripada soal transaksi ekonomi-bisnisnya," ujarnya.
Menurutnya, pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dianggap pasal karet dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi masyarakat, hingga banyak korban berjatuhan. "Banyak orang dilaporkan, ditangkap dan ditahan karena menyampaikan pendapatnya di internet," ungkap dia.
Baca juga: Tanpa Dukungan Elite Parpol, Revisi UU ITE Hanya Wacana
Karena itu, lanjut doktor lulusan Manchester ini, UU ITE direvisi menjadi UU RI No 19 Tahun 2016. Saat itu beberapa hal direvisi seperti soal pemblokiran situs internet, right to be forgotten, penyadapan, penyidikan, dan termasuk pasal pencemaran nama baik yang dikurangi maksimal ancaman pidana penjaranya dari 6 tahun menjadi 4 tahun.
"Kami Fraksi PKS saat itu meminta agar pasal pencemaran nama baik ditinjau ulang, bahkan kalau perlu dihapus saja, mengingat sudah diatur dalam KUHP, agar tidak ada duplikasi pengaturan. Hanya Fraksi PKS dan PAN yang dianggap progresif pandangannya terhadap pasal tersebut," ucapnya.
Baca juga: Jokowi Mau Revisi UU ITE Jika Tak Bisa Berikan Rasa Keadilan
Namun, Sukamta yang juga bertindak sebagai anggota Panja Revisi UU ITE saat itu menjelaskan bahwa dalam dinamika pembahasan, mayoritas fraksi, terlebih fraksi-fraksi pendukung koalisi pemerintah, menginginkan pasal tersebut tetap dipertahankan dengan pengurangan maksimal ancaman pidana penjara agar tidak ada lagi kriminalisasi dengan penahanan sebelum putusan hukum tetap dari pengadilan. Dan pada akhirnya disahkan revisi UU ITE seperti yang sekarang.
"Pada implementasinya, ternyata masih banyak proses hukum kasus pencemaran nama baik di lapangan yang tidak sesuai dengan spirit revisi tersebut. Malah terakhir kriminalisasi melebar ke pasal-pasal lain seperti pasal soal hoaks dan pasal keonaran yang juga dianggap pasal karet. Ya semoga ke depannya revisi UU ITE bisa memberikan kejelasan hukum berasaskan keadilan. InsyaAllah kami Fraksi PKS akan mengawalnya demi masa depan dunia digital dan kedewasaan demokrasi kita," pungkas wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
(zik)