Cuitan Novel Baswedan Soal Kematian Ustaz Maheer, Pengamat: Bukan Provokasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad menanggapi polemik pelaporan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan yang menyampaikan pendapatnya tentang meninggalnya pendakwah Maheer At-Thuwallibi alias Soni Eranata di media sosial pribadi Novel. Atas kicauan itu, Novel dilaporkan ke polisi atas tuduhan provokasi dan hoaks.
Suparji menganggap, cuitan Novel Baswedan merupakan pendapat atau opini. Bukan bentuk tindak pidana provokasi apalagi hoaks. "Unsur hasutan dan provakasi tidak terpenuhi dari cuitan tersebut. Cuitan itu lebih kepada pandangan dan pendapat atas suatu peristiwa, yaitu terkait wafatnya Maheer At-Thualibi," katanya kepada SINDOnews, Minggu (14/02/2021).
Suparji pun meminta kepada masyarakat agar selektif dalam membuat laporan ke polisi. Jangan sampai setiap pendapat yang berseberangan selalu dibawa ke polisi. Sebab, perbedaan pandangan tidak bisa dihindari dalam demokrasi. Kritik, pandangan dan pendapat merupakan keniscayaan dalam demokrasi. Maka itu, pendapat tidak dapat dikonstruksikan atau ditransformasikan menjadi hasutan atau penyebaran berita bohong. “Selain itu juga penyelesaian melalui mekanisme hukum pidana, merupakan ultimum remidium alias upaya pamungkas," sambung pengamat hukum asal Universitas Al Azhar Indonesia ini.
Karena itulah, Suparji menekankan bahwa polisi dalam menanggapi laporan masyarakat juga perlu mengedepankan restorative justice dan mediasi penal. Dia pun menyebut, konsep presisi hendaknya dilaksanakan secara konsisten. "Antara lain dengan membuat hukum yang prediktif, responsinbilitas, transparan dan berkeadilan. Jadi laporan ini , menurut saya, direspon dengan lebih persuasif , pungkasnya.
Suparji menganggap, cuitan Novel Baswedan merupakan pendapat atau opini. Bukan bentuk tindak pidana provokasi apalagi hoaks. "Unsur hasutan dan provakasi tidak terpenuhi dari cuitan tersebut. Cuitan itu lebih kepada pandangan dan pendapat atas suatu peristiwa, yaitu terkait wafatnya Maheer At-Thualibi," katanya kepada SINDOnews, Minggu (14/02/2021).
Suparji pun meminta kepada masyarakat agar selektif dalam membuat laporan ke polisi. Jangan sampai setiap pendapat yang berseberangan selalu dibawa ke polisi. Sebab, perbedaan pandangan tidak bisa dihindari dalam demokrasi. Kritik, pandangan dan pendapat merupakan keniscayaan dalam demokrasi. Maka itu, pendapat tidak dapat dikonstruksikan atau ditransformasikan menjadi hasutan atau penyebaran berita bohong. “Selain itu juga penyelesaian melalui mekanisme hukum pidana, merupakan ultimum remidium alias upaya pamungkas," sambung pengamat hukum asal Universitas Al Azhar Indonesia ini.
Karena itulah, Suparji menekankan bahwa polisi dalam menanggapi laporan masyarakat juga perlu mengedepankan restorative justice dan mediasi penal. Dia pun menyebut, konsep presisi hendaknya dilaksanakan secara konsisten. "Antara lain dengan membuat hukum yang prediktif, responsinbilitas, transparan dan berkeadilan. Jadi laporan ini , menurut saya, direspon dengan lebih persuasif , pungkasnya.
(cip)