Gagal Perbaiki Demokrasi, Pengamat: Kesenjangan dan Politik Identitas Bakal Menguat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menuturkan Indonesia sedang mengalami penurunan kualitas demokrasi. Hal ini bisa dilihat dari lemahnya penegakan hukum, pembungkaman kritik, lemahnya pemberantasan korupsi, serta maraknya penyimpangan yang dilakukan para elite dan pemodal.
“Demokrasi dengan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur kini tersandera oleh kuatnya praktik politik oligarki, monopoli dan kongkalikong antara penguasa dan pengusaha demi memelihara kekuasaan politik dan ekonominya,” kata Siti Zuhro dalam acara Mimbar Demokrasi Kebangsaan PKS DPR RI secara virtual, Jumat (12/2/2021).
Perempuan yang arab disapa Wiwiek ini melihat, hal ini diperparah dengan kurangnya check and balance terhadap institusi yang berkuasa, khususnya pada pihak eksekutif. Pemilu yang selama ini dijalankan juga belum menghasilkan pemimpin yang berjiwa negarawan. Bahkan nilai-nilai yang disepakati seperti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945, kini mengalami politisasi. Sebagai solusi dari masalah-masalah tersebut, Wiwiek menyarankan segenap bangsa untuk melakukan perbaikan substantif. Pertama, pembangunan Indonesia harus didasarkan atas kemajemukan sebagai kekuatan, sebab Indonesia adalah negara yang beragam penduduk dan budayanya. “Kemajemukan adalah kekuatan sosial, bukan ancaman,” imbuhnya.
Kedua, kata Wiwiek, pembangunan demokrasi harus diarahkan untuk menghasilkan demokrasi substantif yang menyejahterakan seluruh rakyat. Demokrasi substantif ini didasarkan tidak hanya demokrasi politik tetapi demokrasi ekonomi yang menekankan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. “Ini sesuai dengan Sila ke 5 Pancasila, dimana rakyat memperoleh kesejahteraan sosial dari demokrasi. Bukan hanya segelintir orang seperti oligarki,” ujar Wiwiek.
Ketiga, sambungnya, penegakan supremasi hukum (nomokrasi) merupakan harga tak tak boleh ditawar-tawar lagi. Maraknya korupsi, politik uang, kekerasan, pelanggaran dan kesewenang-wenangan hukum serta peredaran narkoba merupakan akibat dari tiadanya supremasi hukum. Menurut dia, jika permasalahan dalam demokrasi ini gagal diatasi, maka ketimpangan sosial-ekonomi akan semakin lebar, dan politik identitas pun akan semakin menguat. “Jika gagal mengatasi ini, ketimpangan sosial-ekonomi, tumbuh kembangnya isu SARA/politisasi identita akan semakin menguat. Akan ada terjadinya pembelahan masyarakat, konflik dan kekerasan serta terorisme,” bebernya.
Oleh karena itu, Wiwiek menegaskan, para tokoh masyarakat lintas agama dan suku untuk sama-sama mengambil peran dalam menyamakan persepsi tentang bagaimana membangun bangsa dan negara yang adil dan beradab dalam masyarakat yang majemuk untuk persatuan Indonesia. Serta, pentingnya partai politik dalam membangun demokrasi yang sehat. Hal ini karena hanya parpol yang berwenang untuk mengajukan calon-calon pemimpin yang akan dipilih oleh rakyat berdasarkan undang-undang. “Untuk itu, jika kita ingin menilai kualitas demokrasi suatu bangsa, kita cukup menilai kualitas partai politiknya. Parpol dengan kaderisasi yang baik, massa yang kokoh, dan manajemen yang profesional akan menghasilkan pemimpin yang berjiwa negarawan dan mampu mengatasi persoalan bangsa,” tegasnya.
“Demokrasi dengan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur kini tersandera oleh kuatnya praktik politik oligarki, monopoli dan kongkalikong antara penguasa dan pengusaha demi memelihara kekuasaan politik dan ekonominya,” kata Siti Zuhro dalam acara Mimbar Demokrasi Kebangsaan PKS DPR RI secara virtual, Jumat (12/2/2021).
Perempuan yang arab disapa Wiwiek ini melihat, hal ini diperparah dengan kurangnya check and balance terhadap institusi yang berkuasa, khususnya pada pihak eksekutif. Pemilu yang selama ini dijalankan juga belum menghasilkan pemimpin yang berjiwa negarawan. Bahkan nilai-nilai yang disepakati seperti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945, kini mengalami politisasi. Sebagai solusi dari masalah-masalah tersebut, Wiwiek menyarankan segenap bangsa untuk melakukan perbaikan substantif. Pertama, pembangunan Indonesia harus didasarkan atas kemajemukan sebagai kekuatan, sebab Indonesia adalah negara yang beragam penduduk dan budayanya. “Kemajemukan adalah kekuatan sosial, bukan ancaman,” imbuhnya.
Kedua, kata Wiwiek, pembangunan demokrasi harus diarahkan untuk menghasilkan demokrasi substantif yang menyejahterakan seluruh rakyat. Demokrasi substantif ini didasarkan tidak hanya demokrasi politik tetapi demokrasi ekonomi yang menekankan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. “Ini sesuai dengan Sila ke 5 Pancasila, dimana rakyat memperoleh kesejahteraan sosial dari demokrasi. Bukan hanya segelintir orang seperti oligarki,” ujar Wiwiek.
Ketiga, sambungnya, penegakan supremasi hukum (nomokrasi) merupakan harga tak tak boleh ditawar-tawar lagi. Maraknya korupsi, politik uang, kekerasan, pelanggaran dan kesewenang-wenangan hukum serta peredaran narkoba merupakan akibat dari tiadanya supremasi hukum. Menurut dia, jika permasalahan dalam demokrasi ini gagal diatasi, maka ketimpangan sosial-ekonomi akan semakin lebar, dan politik identitas pun akan semakin menguat. “Jika gagal mengatasi ini, ketimpangan sosial-ekonomi, tumbuh kembangnya isu SARA/politisasi identita akan semakin menguat. Akan ada terjadinya pembelahan masyarakat, konflik dan kekerasan serta terorisme,” bebernya.
Oleh karena itu, Wiwiek menegaskan, para tokoh masyarakat lintas agama dan suku untuk sama-sama mengambil peran dalam menyamakan persepsi tentang bagaimana membangun bangsa dan negara yang adil dan beradab dalam masyarakat yang majemuk untuk persatuan Indonesia. Serta, pentingnya partai politik dalam membangun demokrasi yang sehat. Hal ini karena hanya parpol yang berwenang untuk mengajukan calon-calon pemimpin yang akan dipilih oleh rakyat berdasarkan undang-undang. “Untuk itu, jika kita ingin menilai kualitas demokrasi suatu bangsa, kita cukup menilai kualitas partai politiknya. Parpol dengan kaderisasi yang baik, massa yang kokoh, dan manajemen yang profesional akan menghasilkan pemimpin yang berjiwa negarawan dan mampu mengatasi persoalan bangsa,” tegasnya.
(cip)