Pemerintah dan DPR Didesak Revisi Pasal Karet di UU ITE

Rabu, 10 Februari 2021 - 14:48 WIB
loading...
Pemerintah dan DPR Didesak Revisi Pasal Karet di UU ITE
Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pemerintah dan DPR didesak untuk melakukan revisi pasal karet yang terdapat di Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ). Desakan tersebut datang dari sejumlah koalisi LSM seperti Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Pers, dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS).

"ICJR, LBH Pers, dan IJRS mendesak kepada pemerintah dan DPR jika serius menyatakan mendorong rakyat untuk kritis, bukan hanya perkataan kosong belakang, maka harus melakukan evaluasi dan revisi atas UU ITE, terutama tindak pidana yang memiliki rumusan sangat lentur dan karet seperti pasal 27 ayat (3) maupun 28 ayat (2) UU ITE," kata Manajer Program ICJR Maidina Rahmawati dalam keterangannya, Rabu (10/2/2021).



Desakan itu menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) yang meminta masyarakat lebih aktif dalam memberikan atau menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah serta adanya peningkatan perbaikan pelayanan publik. Hal tersebut disampaikan kepala negara saat memberikan pidato dalam rangka peluncuran laporan tahunan Ombudsman RI pada hari Senin (8/2/2021).

Koalisi LSM, kata dia, menilai bahwa perhatian Presiden Jokowi lebih dari sekadar pernyataan retorik dan kebijakan spontan yang tak konsisten, terdapat beberapa catatan mendasar bagi situasi kebebasan berekspresi dan pers di Indonesia saat ini. "Selama 2020 hingga awal 2021, justru banyak terjadi peristiwa yang bertolak belakang dengan pernyataan Presiden tersebut," ujarnya.

Baca juga: Kata Pengamat soal Alasan Masyarakat Takut Kritik Pemerintah


Dia menyebutkan, hal itu ditandai dengan munculnya Surat Telegram Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1/2020 dari Kapolri terkait antisipasi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, juga kasus-kasus penghinaan kepada penguasa/Presiden/Pemerintah yang terjadi selama situasi pandemi Covid-19. Lalu ada penangkapan peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi, Ravio Patra, yang sering menyuarakan kritik terhadap jalannya pemerintahan.

"Serta surat Kementerian Kesehatan RI tertanggal 3 Agustus 2020 perihal surat peringatan yang ditujukan kepada salah satu pengguna akun twitter yang memberikan kritik guna perbaikan dan pembenahan penanganan Covid-19 di Indonesia," tutur dia.

Baca juga: Pramono Anung Sebut Pemerintah Butuh Kritik Pedas dan Keras


Bahkan yang terbaru, katanya, di awal Januari 2021 terdapat somasi dari kuasa hukum salah satu Gubernur yang mengancam akan melaporkan setiap perbuatan yang menyudutkan kliennya ke Polisi dengan menggunakan pasal-pasal pidana dalam UU ITE terkait unggahan foto atau video yang berhubungan dengan bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan.

Dari fenomena tersebut, ICJR, LBH Pers, dan IJRS melihat bahwa pasal-pasal karet yang kerap dijadikan alat untuk melakukan kriminalisasi dan membungkam kebebasan berekspresi seperti dalam UU ITE justru menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dalam memberikan kritik kepada pemerintah. Selain itu, pasal-pasal pidana seperti ujaran kebencian, berita bohong, makar, dan penghinaan individu masih kerap digunakan untuk tujuan membungkam ekspresi yang sah.

"Di sisi yang lain, aparat penegak hukum cenderung bertindak sewenang-wenang dalam menindak warga yang berbeda pandangan politiknya atau memberikan kritiknya terhadap pemerintah. Serta jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan pers masih berada pada tahap yang mengkhawatirkan dengan adanya praktik berbagai macam bentuk serangan baik berbentuk serangan fisik, non-fisik, siber dan hukum," pungkasnya.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1615 seconds (0.1#10.140)