Selesaikan Perselisihan, MK Harus Berani Keluar dari Pasal 158 UU Pilkada

Senin, 08 Februari 2021 - 11:38 WIB
loading...
A A A
"Begitu juga bagaimana kandidat menggunakan anggaran yang sudah diputuskan dalam paripurna DPRD untuk digunakan pada tahun 2021, tetapi anggaran tersebut malah dipakai dalam tahun 2020, seperti kasus Kota Tidore," papar Margarito.

Hal-hal seperti ini, lanjut Margarito, harus dipertimbangkan, dan MK harus berani keluar dari jerat Pasal 158 itu.

"Jika MK tetap menggunakan dasar Pasal 158 untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada, sama dengan MK membenarkan cara-cara yang salah untuk mendapatkan hak menjadi pejabat (terpilih sebagai kepala daerah)," jelasnya.

Bagi Margarito, Hak hanya bisa diperoleh dengan cara/persidangan yang benar. Malah prosedur memperoleh Hak itu lebih penting daripada Hak itu sendiri.
"Apalagi Pemilu/Pemilukada itu merupakan cara dari orang-orang beradab dalam mewujudkan keadilan. Akan tidak adil apabila prosedurnya dilewati," paparnya.

"Itu sebabnya, di dalam negara demokrasi kontitusional, du process of law itu memiliki nilai yang tinggi, sebab dia menjadi cara bagaimana keadilan diwujudkan," tambah Margarito.

Sebagaimana diketahui, sampai saat ini MK telah menerima sebanyak 136 permohonan perselisihan hasil pilkada (PHPKada) sejak pengumuman pleno hasil pilkada 2020 oleh KPU di sejumlah daerah.

Dari 136 permohonan yang masuk ke MK dari 116 daerah, ada 25 permohonan yang memang memenuhi ambang batas 0,5 hingga 2 persen sebagaimana ditentukan oleh Pasal 158 UU Pilkada.

Menurut Margarito, sebanyak 136 pasangan calon yang mengikuti Pilkada Serentak 2020 lalu, kini menanti keadilan di MK. Jadi, lebih baik MK kesampingkan Pasal 158 tersebut.

Pasal 158 UU Nomor 10/2016 yang dimaksud Margarito Kamis tersebut pada ayat (1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan:, misalnya dibagian

a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0968 seconds (0.1#10.140)