Saleh Daulay: Penanganan Stunting Belum Ada Kemajuan Signifikan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menilai penanganan stunting (kekerdilan pada anak) di Indonesia hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan yang signifikan. Meskipun, pemerintah mengklaim sudah ada penurunan angka stunting.
Bahkan, Saleh menyebutkan masalah stunting tidak hanya terjadi di desa tertinggal, tetapi merata di seluruh wilayah Indonesia. "Saya lihat belum ada penambahan signifikan untuk penanganan stunting dan masih pola yang lama saja,” kata Saleh, Minggu (6/2/2021).
Sebelumnya, pemerintah mengklaim tingkat prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan hingga berada di angka 27,9% pada 2019, menurun dari sebelumnya 37% pada 2013. Pemerintah pun menargetkan tingkat prevalensi stunting di Indonesia bisa turun menjadi 14% pada 2024.
Politikus PAN itupun mendesak pemerintah untuk memperjelas arah atau roadmap penanganan stunting di Indonesia. Sejauh ini pihaknya juga belum pernah melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang menjadi leading sector dalam menanganan stunting di Indonesia. "Masih sama saja penanganan stunting bagi saya, biasa saja. Karena belum kelihatan arah perubahan yang ada sekarang ini. BKKBN juga belum pernah presentasi secara khusus apa yang mereka lakukan terkait dengan tugas baru mereka ini,” ujar Saleh.
Menurutnya, BKKBN hanya bisa menuntaskan masalah stunting jika mempunyai strategi yang tepat dan didukung anggaran yang memadahi. Sebab, persoalan stunting sangat berkaitan erat dengan anggaran dan sejumlah tugas BKKBN. "Sebetulnya tergantung dari bagaimana BKKBN mengatur strategi penanganan stunting sekaligus anggaran ada di sana bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin,” katanya. Dia pun mengusulkan adanya penambahan anggaran BKKBN untuk penanganan stunting karena alokasi anggaran di BKKBN ditetapkan sebelum ditunjuk Presiden sebagai penanggung jawab penanganan stunting.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menunjuk BKKBN sebagai lembaga yang bertanggung jawab dan mengetuai pelaksanaan percepatan penurunan angka stunting di Indonesia. Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, secara umum harus ada perubahan mendasar atau reformasi di tingkat pelayanan dasar terkait dengan kesehatan reproduksi.
"Stunting itu adalah produk yang dihasilkan dari kehamilan. Ibu hamil yang menghasilkan bayi stunting. Kita tahu sekarang ini lahir saja sudah 23% prevalensi stunting. Kemudian setelah lahir, banyak yang lahirnya normal tapi kemudian jadi stunting hingga angkanya menjadi 27,6%. Artinya dari angka itu hampir 23% sudah given, lahirnya sudah tidak sesuai standar," katanya, Kamis, 5 Februari 2021.
Karena itu, BKKBN akan membuat program calon pengantin harus melapor tiga bulan sebelumnya untuk kemudian dilakukan pemeriksaan kesehatan, seperti pemeriksaan hemoglobin (hb). "Kalau hb kurang, minum tablet tambah darah sehingga begitu nikah sudah siap hamil makanya kita harus buat program siap nikah dan siap hamil," paparnya.
Bahkan, Saleh menyebutkan masalah stunting tidak hanya terjadi di desa tertinggal, tetapi merata di seluruh wilayah Indonesia. "Saya lihat belum ada penambahan signifikan untuk penanganan stunting dan masih pola yang lama saja,” kata Saleh, Minggu (6/2/2021).
Sebelumnya, pemerintah mengklaim tingkat prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan hingga berada di angka 27,9% pada 2019, menurun dari sebelumnya 37% pada 2013. Pemerintah pun menargetkan tingkat prevalensi stunting di Indonesia bisa turun menjadi 14% pada 2024.
Politikus PAN itupun mendesak pemerintah untuk memperjelas arah atau roadmap penanganan stunting di Indonesia. Sejauh ini pihaknya juga belum pernah melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang menjadi leading sector dalam menanganan stunting di Indonesia. "Masih sama saja penanganan stunting bagi saya, biasa saja. Karena belum kelihatan arah perubahan yang ada sekarang ini. BKKBN juga belum pernah presentasi secara khusus apa yang mereka lakukan terkait dengan tugas baru mereka ini,” ujar Saleh.
Menurutnya, BKKBN hanya bisa menuntaskan masalah stunting jika mempunyai strategi yang tepat dan didukung anggaran yang memadahi. Sebab, persoalan stunting sangat berkaitan erat dengan anggaran dan sejumlah tugas BKKBN. "Sebetulnya tergantung dari bagaimana BKKBN mengatur strategi penanganan stunting sekaligus anggaran ada di sana bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin,” katanya. Dia pun mengusulkan adanya penambahan anggaran BKKBN untuk penanganan stunting karena alokasi anggaran di BKKBN ditetapkan sebelum ditunjuk Presiden sebagai penanggung jawab penanganan stunting.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menunjuk BKKBN sebagai lembaga yang bertanggung jawab dan mengetuai pelaksanaan percepatan penurunan angka stunting di Indonesia. Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, secara umum harus ada perubahan mendasar atau reformasi di tingkat pelayanan dasar terkait dengan kesehatan reproduksi.
"Stunting itu adalah produk yang dihasilkan dari kehamilan. Ibu hamil yang menghasilkan bayi stunting. Kita tahu sekarang ini lahir saja sudah 23% prevalensi stunting. Kemudian setelah lahir, banyak yang lahirnya normal tapi kemudian jadi stunting hingga angkanya menjadi 27,6%. Artinya dari angka itu hampir 23% sudah given, lahirnya sudah tidak sesuai standar," katanya, Kamis, 5 Februari 2021.
Karena itu, BKKBN akan membuat program calon pengantin harus melapor tiga bulan sebelumnya untuk kemudian dilakukan pemeriksaan kesehatan, seperti pemeriksaan hemoglobin (hb). "Kalau hb kurang, minum tablet tambah darah sehingga begitu nikah sudah siap hamil makanya kita harus buat program siap nikah dan siap hamil," paparnya.
(cip)