Pemerintah Harus Arif Posisikan Lahirnya SKB Seragam Sekolah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) soal pakaian seragam sekolah telah diterbitkan.
SKB ini terbit dengan Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. SKB itu mengatur peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah berhak untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa kekhasan agama tertentu atau dengan kekhasan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa hal utama yang terkandung dalam SKB tersebut. Pertama, aturan ini berlaku untuk di sekolah negeri yang dikelola Pemda. Kedua, siswa berhak memilih berseragam (umum atau keagamaan). Ketiga, Pendidik dan Tenaga Kependidikan berhak memilih berseragam sesuai ketentuan. Keempat, Sekolah tidak boleh memaksa siswa mengenakan seragam sesuai agama atau memaksa melepas seragam sesuai agama. Kelima, Pemerintah daerah diwajibkan menyesuaikan peraturan daerahnya dengan SKB ini selambatmya 30 hari.
Anggota Komisi X DPR RI Fahmy Alaydroes berpendapat bahwa sesungguhnya peraturan tentang seragam sekolah sudah pernah dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 tahun 2014 yang mengatur hal yang sama.
Bahkan, kata dia, termasuk juga yang terkait dengan pakaian kekhususan agama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat 4 (d) yang menyebutkan pakaian seragam khas sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing.
Hanya saja, kata dia, SKB itu lebih menekankan bahwa Pemda atau sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama, seperti jilbab. Dia menjelaskan, Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan SKB 3 Menteri ini, karena disesuaikan dengan perundangan yang mengkhususkannya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, pemerintah harus bersikap arif dalam memposisikan lahirnya aturan tersebut. "Jangan sampai terkesan atau disalah-tafsirkan seolah pemerintah melarang penggunaan atribut agama, atau pemerintah bersikap menjauhkan hal-hal berperilaku agamis dari dunia sekolah," ujarnya kepada SINDOnews, Jumat (5/2/2021).
Menurut Fahmy, sebaiknya pemerintah menjelaskan aturan itu dengan diksi persuasif alih-alih menggunakan diksi yang sifatnya mengecam atau mengancam. Dia melanjutkan, aturan itu bisa dijelaskan dengan narasi yang lebih bernuansa edukatif. "Misalnya, siapapun dari kalangan pendidik atau tenaga kependidikan ataupun siswa siswi boleh mengenakan atribut keagamaan selama hal itu dilakukan atas kesadaran dan kemauan yang bersangkutan, dan tidak boleh ada aturan yang mewajibkan ataupun yang melarangnya," ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sesungguhnya spirit yang harus dibangun adalah memberikan kebebasan dan jaminan kepada setiap warga negara untuk menjalankan praktek (ibadah) sesuai dengan keyakinan agama mereka, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, Pasal 29 ayat 2.
Adapun Pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dia menuturkan dengan aturan ini dan spirit yang menyertainya, siswi-siswi Muslimah di manapun berada, termasuk di wilayah yang pemerintah daerahnya mayoritas non Islam seperti di Bali, NTT, Sulawesi Utara akan mendapat jaminan kebebasan untuk mengenakan jilbab, sebagaimana juga siswa siswi non Islam dapat mengenakan pakaian seragam dengan atribut sesuai keyakinan agamanya. "Sungguh indah dan damai bila aturan ini dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Hidup bersama saling menghormati kayakinan dan ibadah masing-masing," tuturnya.
Dari perspektif pendidikan, menurut dia, aturan itu sekaligus menjadi momen bagi para pendidik atau guru agama untuk lebih menggunakan pendekatan penyadaran kepada siswa-siswi untuk melakukan perintah agama. "Misalnya mengenakan jilbab bagi siswi muslimah, ketimbang dengan cara dipaksa. Dengan penjelasan yang menyadarkan, sikap dan perilaku beragama akan lebih bersifat menetap," tuturnya.
Apalagi, sambung dia, kemudian dikuatkan dengan keteladanan dari para guru dan tenaga kependidikan lainnya yang ada di sekolah. "Menciptakan lingkungan yang kondusif dan menghidupkan syiar kehidupan relijius dalam ibadah, mu’amalah dan akhlak mulia," pungkasnya.
SKB ini terbit dengan Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. SKB itu mengatur peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah berhak untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa kekhasan agama tertentu atau dengan kekhasan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa hal utama yang terkandung dalam SKB tersebut. Pertama, aturan ini berlaku untuk di sekolah negeri yang dikelola Pemda. Kedua, siswa berhak memilih berseragam (umum atau keagamaan). Ketiga, Pendidik dan Tenaga Kependidikan berhak memilih berseragam sesuai ketentuan. Keempat, Sekolah tidak boleh memaksa siswa mengenakan seragam sesuai agama atau memaksa melepas seragam sesuai agama. Kelima, Pemerintah daerah diwajibkan menyesuaikan peraturan daerahnya dengan SKB ini selambatmya 30 hari.
Anggota Komisi X DPR RI Fahmy Alaydroes berpendapat bahwa sesungguhnya peraturan tentang seragam sekolah sudah pernah dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 tahun 2014 yang mengatur hal yang sama.
Bahkan, kata dia, termasuk juga yang terkait dengan pakaian kekhususan agama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat 4 (d) yang menyebutkan pakaian seragam khas sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing.
Hanya saja, kata dia, SKB itu lebih menekankan bahwa Pemda atau sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama, seperti jilbab. Dia menjelaskan, Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan SKB 3 Menteri ini, karena disesuaikan dengan perundangan yang mengkhususkannya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, pemerintah harus bersikap arif dalam memposisikan lahirnya aturan tersebut. "Jangan sampai terkesan atau disalah-tafsirkan seolah pemerintah melarang penggunaan atribut agama, atau pemerintah bersikap menjauhkan hal-hal berperilaku agamis dari dunia sekolah," ujarnya kepada SINDOnews, Jumat (5/2/2021).
Menurut Fahmy, sebaiknya pemerintah menjelaskan aturan itu dengan diksi persuasif alih-alih menggunakan diksi yang sifatnya mengecam atau mengancam. Dia melanjutkan, aturan itu bisa dijelaskan dengan narasi yang lebih bernuansa edukatif. "Misalnya, siapapun dari kalangan pendidik atau tenaga kependidikan ataupun siswa siswi boleh mengenakan atribut keagamaan selama hal itu dilakukan atas kesadaran dan kemauan yang bersangkutan, dan tidak boleh ada aturan yang mewajibkan ataupun yang melarangnya," ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sesungguhnya spirit yang harus dibangun adalah memberikan kebebasan dan jaminan kepada setiap warga negara untuk menjalankan praktek (ibadah) sesuai dengan keyakinan agama mereka, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, Pasal 29 ayat 2.
Adapun Pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dia menuturkan dengan aturan ini dan spirit yang menyertainya, siswi-siswi Muslimah di manapun berada, termasuk di wilayah yang pemerintah daerahnya mayoritas non Islam seperti di Bali, NTT, Sulawesi Utara akan mendapat jaminan kebebasan untuk mengenakan jilbab, sebagaimana juga siswa siswi non Islam dapat mengenakan pakaian seragam dengan atribut sesuai keyakinan agamanya. "Sungguh indah dan damai bila aturan ini dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Hidup bersama saling menghormati kayakinan dan ibadah masing-masing," tuturnya.
Dari perspektif pendidikan, menurut dia, aturan itu sekaligus menjadi momen bagi para pendidik atau guru agama untuk lebih menggunakan pendekatan penyadaran kepada siswa-siswi untuk melakukan perintah agama. "Misalnya mengenakan jilbab bagi siswi muslimah, ketimbang dengan cara dipaksa. Dengan penjelasan yang menyadarkan, sikap dan perilaku beragama akan lebih bersifat menetap," tuturnya.
Apalagi, sambung dia, kemudian dikuatkan dengan keteladanan dari para guru dan tenaga kependidikan lainnya yang ada di sekolah. "Menciptakan lingkungan yang kondusif dan menghidupkan syiar kehidupan relijius dalam ibadah, mu’amalah dan akhlak mulia," pungkasnya.
(cip)