74 Tahun HMI, Merampai Persatuan dalam Kebhinekaan

Jum'at, 05 Februari 2021 - 15:23 WIB
loading...
74 Tahun HMI, Merampai...
Riyanda Barmawi, Wasekjen PB HMI 2018 - sekarang. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Riyanda Barmawi
Wasekjen PB HMI 2018 - sekarang

TERTANGGAL 5 Februari 2021 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memasuki usianya yang ke-74 tahun. Usia yang terbilang tidak lagi muda bagi berdirinya organisasi. Tujuh dasawarsa HMI mampu melintasi jalanan terjal di tengah hiruk-pikuk dinamika sosial dan ekonomi yang berlangsung fluktuatif namun tidak lantas menyurutkan semangat dan tekad juang mengabdi untuk negeri.

Tentu saja waktu yang tidak singkat ini telah banyak menorehkan capaian, kendati pun di saat bersamaan, HMI tetap harus mempersiapkan diri untuk menjawab tantangan masa depan. Gejala infiltrasi ideologi dengan berbagai varian gerakan-gerakan politiknya, haruslah diakui, makin meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah situasi yang penuh dengan risiko peranan HMI menjadi penting untuk ditampakkan secara konkret.

Tumbuh berkembang di negeri yang penuh keberagaman ras, suku, bangsa, agama dan budaya bukan menjadi persoalan serius yang membuat HMI harus membiarkan diri terjerumus dalam diferensiasi identitas. Secara prinsipil keberagaman itu mesti dirawat, tanpa harus terjerembab pada fanatisme dan xenofobia, dengan merampai persamaan di balik perbedaan demi terwujudnya nilai-nilai ukhuwa islamiyah dan ukhuwa wathaniyah.

Adalah suatu keharusan pula buat HMI menjalankan tanggung jawab moral tersebut. HMI tidak bisa mengelak dari tanggung jawab moral untuk terlibat merawat keberagaman di bumi pertiwi. Bagaimana pun juga ihwal itu memiliki korelasi dan keterkaitan erat dengan tujuan ideologis HMI, yakni “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.” Inilah tantangan sejarah yang mesti dijawab HMI.

Kita menyadari jika proses mencapai tujuan luhur organisasi bukan perkara mudah layaknya orang membalik telapak tangan. Dengan tercetusnya konsep ikhtiar dan takdir, sebagaimana dirumuskan dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP), sejatinya HMI sangatlah menekankan pada kesungguhan proses sembari menyerahkan hasil akhirnya pada yang maha kuasa.

Pentingnya proses ditujukan untuk memastikan agar perjuangan HMI tidak bersifat sentrifugal, melainkan lebih pada gerak sentripetal. Untuk memastikan itu HMI harus melibatkan dirinya dan berperan aktif mengawal agenda-agenda kebangsaan yang bertujuan terhadap terciptanya tatanan kehidupan yang berkeadilan sosial ekonomi yang hendak ditopang oleh harmoni antar sesama warga bangsa.

Melampaui Sekat-sekat Identitas
Sulit membayangkan kelangsungan HMI dengan ikatan soliditas yang kuat jika perasaan akan satu golongan dan satu bangsa, sebagaimana konsepsi nasionalisme Soekarno, belum tertanam dalam benak kita semua.

Mengerasnya sentimen primordialisme kerapkali membuat seseorang memposisikan dirinya berbeda dengan orang lain, tanpa ada upaya mencari titik kesamaannya. Hal ini merupakan sebuah ancaman yang berpotensi menghambat transformasi dan perjuangan organisasi dalam menggapai tujuan luhurnya.

Sebagai miniatur terkecil negara, HMI cukup merepresentasikan identitas primordialisme yang ada di bumi pertiwi. Hampir dipastikan tidak seorang pun insan HMI yang merepresentasikan hanya satu dimensi yang hendak membentuk identitasnya sebagai kader.

Jikalau direfleksikan terdapat beragam dimensi yang membentuk identitasnya–mulai dari kampus, komisariat, suku dan lain sebagainya. Seseorang mungkin berlainan dari dimensi tertentu, namun tetapi dapat bertemu pada dimensi lainnya.

Adalah suatu keharusan bagi siapa pun yang memilih HMI sebagai wahana perjuangannya untuk melepas segala kepentingan sempitnya. Mewujudkan masyarakat adil makmur harus dijadikan sebagai hal utama di setiap derap langkah perjuangan di bawah kibaran bendera hijau hitam.

Ini pula yang menjelaskan mengapa sentimen identitas tidak senafas dengan semangat juang HMI itu sendiri. Secara historis, tidak ada penjelasan yang membenarkan HMI harus membumikan kepentingan kelompok tertentu.

Keislaman dan keindonesiaan sebagai spirit HMI menegaskan bilamana keberpihakan HMI tak hanya ditujukan pada kepentingan umat, melainkan juga rakyat. Nyaris tidak ada gunanya mempersoalkan perbedaan di tengah keberagaman.

Karenanya di balik perbedaan itu, sejatinya, terdapat keterpautan antara satu dengan yang lain. Artinya di usia HMI yang tidak lagi muda, mencari titik persamaan hendaknya dipandang sebagai sebuah tuntutan ideologis supaya setiap insan HMI terpanggil dan bisa melangkah melampau sekat-sekat identitas.

Tidak ada satu pun rumusan untuk HMI menjerumuskan diri larut ke dalam kepentingan satu kelompok, sebab kalau sampai itu yang terjadi, sudah tentu perjuangan HMI akan bermuara pada impase (kebuntuan). Persatuan sebagai nilai prinsipil yang diperjuangkan para pendiri bangsa, hendak ditempatkan sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dangan HMI. Persatuan tak cuma determinasi bagi tumbuhnya demokrasi, melainkan juga sebagai prasyarat konkret mencapai masyarakat adil dan makmur.

Menembus Cakrawala, Membentang Asa
Mengerasnya sentimen berbasis identitas tampaknya memicu lahirnya ancaman disharmoni sosial dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan multikulturalisme. Ada kecenderungan eksklusivitas yang sebetulnya itu inkompatibel dengan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Gagasan Soekarno terkait islam dan nasionalisme bisa dijadikan pijakan untuk membedahnya.

Bagi Soekarno nasionalisme merupakan suatu itikad, suatu keinsafan rakyat jika rakyat adalah satu golongan dan satu bangsa. Pun dengan Islamisme yang secara doktrinal, tegasnya, hendak mengajarkan setiap orang untuk menghindar dan melawan segala bentuk pengrusakan yang dapat mengancam kehidupan. Pada nasionalisme tertanam kuat semangat persatuan, sedangkan untuk Islamisme tercipta kemaslahatan.

Dengan melampaui sekat-sekat identitas kita sedang menempuh gerak meninggi mencapai titik persamaan dimana segala ikhwal perbedaan hendak dilebur dalam satu kesatuan tunggal demi kepentingan bersama. HMI tidak mesti mempersoalkan asal-usul seseorang, jenis kelaminnya maupun warna kulitnya serta suku dan kebangsaannya. Inilah jalan yang mesti dilalui HMI guna mengantisipasi ancaman disharmoni sosial yang pada akhirnya bermuara pada konflik.

Menumbuhkan semangat egaliter dimana relasi sosial tidak mesti dibasiskan pada relasi kuasa, dominan vs subordinat, superior versus inferior, mayoritas versus minoritas, dan sebagainya, karena bagaimana pun juga setiap orang pada dirinya di karunia akal-hati yang bisa dioptimalkan untuk tujuan bermanfaat. Selain egalitarianisme, sikap toleran juga perlu dimunculkan sebagai upaya memanusiakan manusia.

Sikap semacam itu pada akhirnya akan mempermudah kita, sebagai kader HMI, membangun hubungan sosial antar sesama kader maupun dengan masyarakat yang saling menghargai dan menghormati tanpa harus merendahkan harkat martabat kemanusiaan seseorang.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1096 seconds (0.1#10.140)