Masalah Transisi Demokrasi Myanmar
loading...
A
A
A
Asrudin Azwar
Peneliti, Pendiri The Asrudian Center
KETIKA Aung San Suu Kyi dan partainya National League for Democracy (NLD) memenangi pemilihan umum pada 2015, rakyat Myanmar dan komunitas internasional menyambutnya dengan sukacita. Benteng militer di negara itu seakan telah dirobohkan dan rakyat Myanmar seperti sadar politik dan menolak otoriterisme melalui pemilu serta membawa negara itu menuju masa depan demokrasi yang solid.
Lima tahun kemudian, pada 2020, transisi menuju demokrasi di Myanmar semakin mendapatkan momentumnya. NLD kembali memenangi pemilu dengan selisih suara yang cukup signifikan. Menurut penghitungan resmi Komisi Pemilihan Myanmar (13/11/2020), NLD memenangkan 346 kursi di majelis rendah dan majelis tinggi parlemen, jauh di atas 322 kursi yang dibutuhkan untuk mengamankan mayoritas. Sementara itu, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer, partai oposisi utama, memenangkan 25 kursi, dan Liga Kebangsaan Shan untuk Demokrasi, yang mewakili etnis minoritas Shan, hanya memperoleh 15 kursi.
Namun, kemenangan NLD malah memicu ketegangan antara pemerintah sipil dan junta militer. Hasil pemilu dituding curang oleh militer (Tatmadaw). Padahal sebelumnya, Komisi Pemilihan Myanmar telah menolak tuduhan manipulasi pemilih. Mereka menyebut, kesalahan seperti nama yang digandakan pada daftar pemilih, tak cukup untuk memengaruhi hasil pemungutan suara.
Akibat dari ketegangan politik ini berujung petaka, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi bersama sejumlah tokoh senior NLD ditangkap oleh militer dalam sebuah penggerebekan, Senin (1/2). Dengan modal politik kudeta itu, militer lalu mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun untuk menjaga stabilitas negara. Kekuasaan kemudian diserahkan kepada pimpinan pasukan bersenjata, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, untuk melaksanakan tugas sebagai presiden Myanmar.
Lantas, kita pun bertanya, apa yang salah dengan transisi demokrasi di Myanmar? Mengapa demokrasi yang sudah coba dibangun oleh negara anggota ASEAN selama satu dekade ini tidak juga bisa menjinakkan kiprah politik militer? Itu bisa terjadi karena Myanmar selama ini hanya menjalankan proses transisi demokrasi yang setengah-setengah. Georg Sørensen dari Universitas Aarhus, Denmark, menyebutnya sebagai demokrasi terbatas.
Demokrasi Terbatas
Dalam tulisannya yang berjudul, Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World (1993), Sorensen mendefinisikan demokrasi terbatas sebagai sistem politik yang memiliki beberapa elemen demokrasi, tetapi juga memiliki keterbatasan pada kompetisi, partisipasi, dan kebebasan. Sering kali, demokrasi ini ditandai dengan adanya kelompok elite yang anggotanya memiliki hak untuk mengintervensi proses demokrasi dalam rangka melindungi kepentingan mereka. Dalam kasus transisi dari atas, campur tangan semacam itu dapat menjadi bagian dari basis aktual bagi seluruh gerakan menuju demokrasi. Dengan kata lain, kelompok elite (militer, elite ekonomi tradisional, dan politikus utama) dapat menyetujui transisi menuju demokrasi jika didasari pada penerimaan pakta politik (political pact), dalam arti yang tidak merugikan kepentingan vital mereka.
Jadi siapa pun sipil yang ingin berkuasa, ia haruslah mengikuti panduan militer yang sesuai pakta politik. Militer dengan begitu tetap memiliki pengaruhnya pada era transisi. Pengaruh itu tidak hanya terkait dengan urusan mereka sendiri, tetapi juga urusan dalam negeri. Konstitusi yang digunakan sebagai dasar bagi intervensi militer dalam urusan dalam negeri tetap dipertahankan. Hal inilah yang kemudian membuat kerja demokrasi menjadi terhambat.
Dalam kaitannya dengan Myanmar, setidaknya terdapat dua masalah yang mengemuka, yaitu rancangan konstitusional yang menentukan bagaimana negara diatur dan peran militer. Di Myanmar, konstitusi adalah bagian dari proses pakta politik. Melalui pakta politik itu, konstitusi yang dibuat kemudian mendapatkan legitimasi demokrasi dan ini seakan mencerminkan keinginan pemerintahan sipil. Padahal kita tahu bahwa konstitusi itu telah ditulis oleh rezim militer Myanmar pada 2008, sebelum transisi dimulai. NLD tidak memiliki suara politik sama sekali dalam mendesain konstitusi yang dimaksud. Apalagi untuk dapat mengubahnya. Konstitusi itu dirancang untuk tetap tahan amendemen tanpa persetujuan militer. Konstitusi juga mengalokasikan 25% kursi legislatif untuk militer. Militer bahkan diberikan kewenangan untuk mengontrol kementerian utama, seperti pertahanan dan urusan dalam negeri, serta hak veto pada masalah-masalah konstitusional.
Di sini terlihat sekali peran krusial militer Myanmar dalam masa transisi menuju demokrasi. Dengan konstitusi yang dirancangnya dan bedil yang dimilikinya, militer tentu saja dapat dengan mudah menghentikan laju transisi dan menyingkirkan (kudeta) pemerintahan sipil yang demokratis, jika kepentingannya berada dalam ancaman serius. Itulah yang membuat transisi politik Myanmar terus bergejolak dan militer begitu mudah menyingkirkan Suu Kyi dan petinggi-petinggi partai NLD, dengan tanpa perlindungan konstitusi yang memang terbatas secara demokrasi.
Jadikan Pelajaran
Mungkin banyak yang mengatakan kasus di Myanmar itu tidak akan mungkin terjadi di Indonesia. Sebab, sejak Soeharto lengser pada 1998, Indonesia memiliki senjata Undang-Undang (UU) No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dengan UU itu, hubungan sipil-militer Indonesia jauh lebih baik bila dibandingkan dengan Myanmar.
UU ini menyebutkan bahwa “TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara yang mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia. Militer dihilangkan fungsi sosial-politiknya. Mereka tidak lagi dapat merangkap menjadi pejabat ataupun menguasai suatu bisnis secara langsung. Struktur ABRI dirombak menjadi dua, yaitu Polri yang bertugas menjaga keamanan dan TNI yang bertugas menjaga pertahanan. Pemisahan tersebut secara langsung membuat militer tidak lagi diperbolehkan mencampuri urusan sipil.
Tapi seiring waktu berjalan, upaya untuk mengembalikan dwifungsi TNI tetaplah kuat. Kini pemerintah dan DPR diketahui berencana melakukan revisi atas undang-undang tersebut. Rencana revisi ini bahkan dimasukkan ke dalam RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Oleh karena itu, niatan untuk menambah usia kerja prajurit dan memperluas jabatan sipil untuk TNI semestinya tidak perlu dilakukan. Sebab, perubahan usia prajurit yang direncanakan naik dari 53 ke 58 tahun ini bisa berimplikasi ke banyak hal, seperti penumpukan prajurit dan perwira nonjob. Selain berimbas pada masalah anggaran, hal ini juga bisa menjadi dalih untuk memperluas cakupan jabatan sipil untuk tentara.
Terbukti ada banyak nota kesepahaman TNI dengan lembaga sipil. Di antaranya adalah pelibatan TNI dalam program sosialisasi Keluarga Berencana (Falis Agatriatma, 2020) dan pelibatan TNI dalam kegiatan pertanian masyarakat di desa-desa. Hal ini tentu saja merupakan langkah mundur.
Kita seharusnya bisa belajar dari kasus pembusukan politik di Myanmar. Militer tidak boleh berada di luar barak demi menciptakan demokrasi yang sehat. Jika dibiarkan tetap mengurusi urusan sipil, ini akan membuat TNI semakin terjerumus dalam memupuk hasrat kekuasaan yang otoriter dan menjadi seperti apa yang disebut oleh Laurie Nathan sebagai destroy the democratic project.
Peneliti, Pendiri The Asrudian Center
KETIKA Aung San Suu Kyi dan partainya National League for Democracy (NLD) memenangi pemilihan umum pada 2015, rakyat Myanmar dan komunitas internasional menyambutnya dengan sukacita. Benteng militer di negara itu seakan telah dirobohkan dan rakyat Myanmar seperti sadar politik dan menolak otoriterisme melalui pemilu serta membawa negara itu menuju masa depan demokrasi yang solid.
Lima tahun kemudian, pada 2020, transisi menuju demokrasi di Myanmar semakin mendapatkan momentumnya. NLD kembali memenangi pemilu dengan selisih suara yang cukup signifikan. Menurut penghitungan resmi Komisi Pemilihan Myanmar (13/11/2020), NLD memenangkan 346 kursi di majelis rendah dan majelis tinggi parlemen, jauh di atas 322 kursi yang dibutuhkan untuk mengamankan mayoritas. Sementara itu, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer, partai oposisi utama, memenangkan 25 kursi, dan Liga Kebangsaan Shan untuk Demokrasi, yang mewakili etnis minoritas Shan, hanya memperoleh 15 kursi.
Namun, kemenangan NLD malah memicu ketegangan antara pemerintah sipil dan junta militer. Hasil pemilu dituding curang oleh militer (Tatmadaw). Padahal sebelumnya, Komisi Pemilihan Myanmar telah menolak tuduhan manipulasi pemilih. Mereka menyebut, kesalahan seperti nama yang digandakan pada daftar pemilih, tak cukup untuk memengaruhi hasil pemungutan suara.
Akibat dari ketegangan politik ini berujung petaka, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi bersama sejumlah tokoh senior NLD ditangkap oleh militer dalam sebuah penggerebekan, Senin (1/2). Dengan modal politik kudeta itu, militer lalu mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun untuk menjaga stabilitas negara. Kekuasaan kemudian diserahkan kepada pimpinan pasukan bersenjata, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, untuk melaksanakan tugas sebagai presiden Myanmar.
Lantas, kita pun bertanya, apa yang salah dengan transisi demokrasi di Myanmar? Mengapa demokrasi yang sudah coba dibangun oleh negara anggota ASEAN selama satu dekade ini tidak juga bisa menjinakkan kiprah politik militer? Itu bisa terjadi karena Myanmar selama ini hanya menjalankan proses transisi demokrasi yang setengah-setengah. Georg Sørensen dari Universitas Aarhus, Denmark, menyebutnya sebagai demokrasi terbatas.
Demokrasi Terbatas
Dalam tulisannya yang berjudul, Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World (1993), Sorensen mendefinisikan demokrasi terbatas sebagai sistem politik yang memiliki beberapa elemen demokrasi, tetapi juga memiliki keterbatasan pada kompetisi, partisipasi, dan kebebasan. Sering kali, demokrasi ini ditandai dengan adanya kelompok elite yang anggotanya memiliki hak untuk mengintervensi proses demokrasi dalam rangka melindungi kepentingan mereka. Dalam kasus transisi dari atas, campur tangan semacam itu dapat menjadi bagian dari basis aktual bagi seluruh gerakan menuju demokrasi. Dengan kata lain, kelompok elite (militer, elite ekonomi tradisional, dan politikus utama) dapat menyetujui transisi menuju demokrasi jika didasari pada penerimaan pakta politik (political pact), dalam arti yang tidak merugikan kepentingan vital mereka.
Jadi siapa pun sipil yang ingin berkuasa, ia haruslah mengikuti panduan militer yang sesuai pakta politik. Militer dengan begitu tetap memiliki pengaruhnya pada era transisi. Pengaruh itu tidak hanya terkait dengan urusan mereka sendiri, tetapi juga urusan dalam negeri. Konstitusi yang digunakan sebagai dasar bagi intervensi militer dalam urusan dalam negeri tetap dipertahankan. Hal inilah yang kemudian membuat kerja demokrasi menjadi terhambat.
Dalam kaitannya dengan Myanmar, setidaknya terdapat dua masalah yang mengemuka, yaitu rancangan konstitusional yang menentukan bagaimana negara diatur dan peran militer. Di Myanmar, konstitusi adalah bagian dari proses pakta politik. Melalui pakta politik itu, konstitusi yang dibuat kemudian mendapatkan legitimasi demokrasi dan ini seakan mencerminkan keinginan pemerintahan sipil. Padahal kita tahu bahwa konstitusi itu telah ditulis oleh rezim militer Myanmar pada 2008, sebelum transisi dimulai. NLD tidak memiliki suara politik sama sekali dalam mendesain konstitusi yang dimaksud. Apalagi untuk dapat mengubahnya. Konstitusi itu dirancang untuk tetap tahan amendemen tanpa persetujuan militer. Konstitusi juga mengalokasikan 25% kursi legislatif untuk militer. Militer bahkan diberikan kewenangan untuk mengontrol kementerian utama, seperti pertahanan dan urusan dalam negeri, serta hak veto pada masalah-masalah konstitusional.
Di sini terlihat sekali peran krusial militer Myanmar dalam masa transisi menuju demokrasi. Dengan konstitusi yang dirancangnya dan bedil yang dimilikinya, militer tentu saja dapat dengan mudah menghentikan laju transisi dan menyingkirkan (kudeta) pemerintahan sipil yang demokratis, jika kepentingannya berada dalam ancaman serius. Itulah yang membuat transisi politik Myanmar terus bergejolak dan militer begitu mudah menyingkirkan Suu Kyi dan petinggi-petinggi partai NLD, dengan tanpa perlindungan konstitusi yang memang terbatas secara demokrasi.
Jadikan Pelajaran
Mungkin banyak yang mengatakan kasus di Myanmar itu tidak akan mungkin terjadi di Indonesia. Sebab, sejak Soeharto lengser pada 1998, Indonesia memiliki senjata Undang-Undang (UU) No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dengan UU itu, hubungan sipil-militer Indonesia jauh lebih baik bila dibandingkan dengan Myanmar.
UU ini menyebutkan bahwa “TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara yang mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia. Militer dihilangkan fungsi sosial-politiknya. Mereka tidak lagi dapat merangkap menjadi pejabat ataupun menguasai suatu bisnis secara langsung. Struktur ABRI dirombak menjadi dua, yaitu Polri yang bertugas menjaga keamanan dan TNI yang bertugas menjaga pertahanan. Pemisahan tersebut secara langsung membuat militer tidak lagi diperbolehkan mencampuri urusan sipil.
Tapi seiring waktu berjalan, upaya untuk mengembalikan dwifungsi TNI tetaplah kuat. Kini pemerintah dan DPR diketahui berencana melakukan revisi atas undang-undang tersebut. Rencana revisi ini bahkan dimasukkan ke dalam RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Oleh karena itu, niatan untuk menambah usia kerja prajurit dan memperluas jabatan sipil untuk TNI semestinya tidak perlu dilakukan. Sebab, perubahan usia prajurit yang direncanakan naik dari 53 ke 58 tahun ini bisa berimplikasi ke banyak hal, seperti penumpukan prajurit dan perwira nonjob. Selain berimbas pada masalah anggaran, hal ini juga bisa menjadi dalih untuk memperluas cakupan jabatan sipil untuk tentara.
Terbukti ada banyak nota kesepahaman TNI dengan lembaga sipil. Di antaranya adalah pelibatan TNI dalam program sosialisasi Keluarga Berencana (Falis Agatriatma, 2020) dan pelibatan TNI dalam kegiatan pertanian masyarakat di desa-desa. Hal ini tentu saja merupakan langkah mundur.
Kita seharusnya bisa belajar dari kasus pembusukan politik di Myanmar. Militer tidak boleh berada di luar barak demi menciptakan demokrasi yang sehat. Jika dibiarkan tetap mengurusi urusan sipil, ini akan membuat TNI semakin terjerumus dalam memupuk hasrat kekuasaan yang otoriter dan menjadi seperti apa yang disebut oleh Laurie Nathan sebagai destroy the democratic project.
(bmm)