Fortifikasi dan Biofortifikasi Atasi Problem Gizi

Rabu, 03 Februari 2021 - 06:05 WIB
loading...
Fortifikasi dan Biofortifikasi Atasi Problem Gizi
Ali Khomsan (Foto: Istimewa)
A A A
Ali Khomsan
Guru Besar Pangan dan Gizi IPB

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 disebutkan perlunya upaya meningkatkan SDM (sumber daya manusia) berkualitas dan berdaya saing melalui percepatan penurunan stunting (anak tumbuh pendek)serta penguatan ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan berkualitas melalui peningkatan ketersediaan, akses, dan kualitas konsumsi pangan melalui fortifikasi dan biofortifikasi pangan.

Berdasarkan penjabaran Badan Kesehatan Dunia (WHO), fortifikasi pangan adalah menambahkan atau meningkatkan zat gizi tertentu ke dalam pangan yang umumnya dikonsumsi secara luas oleh masyarakat. Fortifikasi pangan dengan zat gizi mikro telah dilakukan pada produk garam, tepung terigu, dan minyak goreng sawit. Pemerintah dan industri perlu didorong terus-menerus agar fortifikasi pada produk pangan strategis bersifat lestari. Mengapa? Karena, fortifikasi pangan sebagai salah satu upaya pemenuhan zat gizi mikro masyarakat merupakan intervensi yang terbukti cost-effective. Defisiensi gizi mikro berupa kekurangan asupan besi, zink, iodium, dan vitamin A dikenal dengan istilah hidden hunger. Salah satu dampaknya adalah stunting karena kekurangan gizi mikro dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan anak.

Pemerintah yang terlibat dalam program fortifikasi adalah Bappenas didukung oleh Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI), Nutrition International, UNICEF, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), dan Badan Standardisasi Nasional. Namun, pelaksanaan program fortifikasi ini membutuhkan upaya lebih karena partisipasi industri pangan adalah mutlak. Fortifikasi iodium pada garam, kini diikuti oleh produk bumbu-bumbuan semisal Royco. Peran industri ini perlu diapresiasi karena akan semakin mengurangi problem kekurangan gizi mikro di masyarakat.

Saat ini tengah digodok fortifikasi pada beras. Beras adalah makanan pokok bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 265 juta jiwa, produksi padi di lahan pertanian Indonesia mendapat perhatian serius dari pemerintah. Untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia jangka panjang, pemerintah merencanakan program food estate yang merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan. Rencananya, 1,2 juta ha lahan akan dibangun di Papua. Pembangunan food estate juga dilakukan di wilayah Kalimantan Barat (120.000 ha), Kalimantan Tengah (180.000 ha), Kalimantan Timur (10.000 ha), dan Maluku (190.000 ha).

Pemanfaatan beras fortifikasi di berbagai negara menunjukkan adanya perbaikan status gizi. Di Meksiko, ibu-ibu usia 18-49 tahun yang mengonsumsi beras fortifikasi selama enam bulan jumlah prevalensi anemia gizi besi turun dari 33% menjadi 23%. Demikian pula, riset di Brasil pada anak baduta membuktikan konsumsi beras fortifikasi selama lima bulan menurunkan anemia dari 69% ke 25%.

Bulog telah mengembangkan beras fortifikasi FORTIVIT sejak 2019. Ini merupakan langkah strategis di bidang fortifikasi setelah penerapannya pada garam, terigu, dan minyak sawit. Perlu dipikirkan agar beras fortifikasi ini bisa dikonsumsi oleh rakyat miskin melalui Program BPNT (Bantuan Pangan Nontunai). Untuk masyarakat yang ekonominya mampu, kekurangan gizi mikro mungkin tidak separah masyarakat miskin. Masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi telah mengonsumsi aneka ragam pangan termasuk pangan hewani yang merupakan sumber besi sehingga konsumsi harian (daily intake) mereka telah dapat memenuhi standar gizi.

Mengapa gizi mikro penting untuk fortifikasi? Masalah gizi mikro yang hingga kini masih dialami bangsa Indonesia adalah kurang zat besi dan seng. Stunting (pendek) dapat disebabkan oleh resultante kurang gizi makro (energi dan protein) dan kurang gizi mikro (seng dan zat besi). Seng harus ada dalam asupan konsumsi pangan sehari-hari dan seng bersifat esensial karena tubuh tidak dapat membuatnya.

Banyak enzim di dalam tubuh manusia yang mengandung seng sehingga kehadiran seng dalam tubuh bersifat vital. Mengingat peran seng yang penting untuk pertumbuhan dan pembelahan sel serta berpengaruh terhadap nafsu makan, maka defisiensi seng sangat mungkin mengganggu pertumbuhan anak sehingga terjadilah stunting.

Sementara zat besi juga berperan penting untuk mendukung pertumbuhan. Besi adalah bagian dari unsur enzim dan hemoglobin darah. Di Indonesia, kekurangan zat besi banyak diderita oleh remaja, ibu hamil, maupun wanita usia subur. Padahal, kaum perempuan sebagai calon ibu bangsa seharusnya tercukupi asupan gizi besinya agar tidak lahir bayi-bayi stunting.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3694 seconds (0.1#10.140)