Iuran BPJS Kesehatan Naik Akan Munculkan Sengketa Hukum Kembali
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polemik kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sepertinya belum akan usai. Jalan hukum dan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) tetap akan menjadi halangan antara pemerintah dan masyarakat.
(Baca juga: PBI BPJS Kesehatan Dihapus, Pemerintah Harus Perhatikan Pasien Gagal Ginjal)
Komunitas Pasien Cuci Daerah Indonesia (KPCDI) sudah menyatakan akan menggugat kembali kenaikan iuran BPJS Kesehatan. "Apabila suatu ketidakadilan menjadi bentuk hukum, perlawanan hukum itu wajib dilakukan. Kami akan melakukan perlawanan melalui mekanisme yang resmi," ujar kuasa hukum KPCDI, Rusdianto Matulatuwa kepada SINDOnews, Sabtu (16/5/2020).
Sebelumnya, KPCDI juga yang menggugat dan berhasil menumbangkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Pasal 34 Ayat 1 menyatakan, iuran peserta mandiri semua kelas naik pada 1 Januari 2020. Kelas I naik dari Rp80.000 ribu menjadi Rp160.000, kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000, dan kelas III Rp25.500 menjadi Rp42.000. Semua ketentuan itu dibatalkan MA pada Februari lalu.
Pemerintah sempat tidak bereaksi atas putusan tersebut selama Maret-April sehingga masyarakat tetap membayar sesuai Perpres 75 Tahun 2019. Baru pada 30 April 2020, BPJS Kesehatan mengumumkan iuran peserta mandiri kembali ke semula per 1 Mei 2020. Namun, iuran pada Januari hingga Maret tetap mengikuti Perpres 75 Tahun 2019.
"Terhadap kelebihan iuran peserta JKN-KIS yang telah dibayarkan pada April 2020 akan dikompensasikan ke iuran bulan berikutnya," ujar Kepala Humas BPJS M.Iqbal Anas Ma’ruf.
Masyarakat pun lega apalagi penurunan itu terjadi di tengah terpuruknya ekonomi yang dihantam pandemi Covid-19. Masyarakat hanya menghela nafas sekejap. Pemerintah mengeluarkan Perpres 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.
Bukannya mengikuti putusan MA, pemerintah malah bersikukuh menaikan iuran kelas I dan II. Akal-akalannya, besaran kenaikannya tidak sama. Namun, hanya berkurang Rp10.000 dari iuran maksimal pada Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Hanya kelas III yang membayar Rp25.500 karena pemerintah mensubsidi sebesar Rp16.500.
Rusdianto menyebut ini seperti dagelan karena tidak ada perkara yang berakhir. Jika demikian, prahara menaikan, digugat, menurunkan, dan menaikan kembali ini bisa berjilid-jilid.
"Bagaimana mengakhirinya? Ya, menyerahkan ke lembaga pemutus sengketa, yakni pengadilan dan MA. Ketika suatu perkara sudah diputuskan, sengketa itu sudah berakhir. Jangan bikin lagi," pungkasnya.
(Baca juga: PBI BPJS Kesehatan Dihapus, Pemerintah Harus Perhatikan Pasien Gagal Ginjal)
Komunitas Pasien Cuci Daerah Indonesia (KPCDI) sudah menyatakan akan menggugat kembali kenaikan iuran BPJS Kesehatan. "Apabila suatu ketidakadilan menjadi bentuk hukum, perlawanan hukum itu wajib dilakukan. Kami akan melakukan perlawanan melalui mekanisme yang resmi," ujar kuasa hukum KPCDI, Rusdianto Matulatuwa kepada SINDOnews, Sabtu (16/5/2020).
Sebelumnya, KPCDI juga yang menggugat dan berhasil menumbangkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Pasal 34 Ayat 1 menyatakan, iuran peserta mandiri semua kelas naik pada 1 Januari 2020. Kelas I naik dari Rp80.000 ribu menjadi Rp160.000, kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000, dan kelas III Rp25.500 menjadi Rp42.000. Semua ketentuan itu dibatalkan MA pada Februari lalu.
Pemerintah sempat tidak bereaksi atas putusan tersebut selama Maret-April sehingga masyarakat tetap membayar sesuai Perpres 75 Tahun 2019. Baru pada 30 April 2020, BPJS Kesehatan mengumumkan iuran peserta mandiri kembali ke semula per 1 Mei 2020. Namun, iuran pada Januari hingga Maret tetap mengikuti Perpres 75 Tahun 2019.
"Terhadap kelebihan iuran peserta JKN-KIS yang telah dibayarkan pada April 2020 akan dikompensasikan ke iuran bulan berikutnya," ujar Kepala Humas BPJS M.Iqbal Anas Ma’ruf.
Masyarakat pun lega apalagi penurunan itu terjadi di tengah terpuruknya ekonomi yang dihantam pandemi Covid-19. Masyarakat hanya menghela nafas sekejap. Pemerintah mengeluarkan Perpres 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.
Bukannya mengikuti putusan MA, pemerintah malah bersikukuh menaikan iuran kelas I dan II. Akal-akalannya, besaran kenaikannya tidak sama. Namun, hanya berkurang Rp10.000 dari iuran maksimal pada Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Hanya kelas III yang membayar Rp25.500 karena pemerintah mensubsidi sebesar Rp16.500.
Rusdianto menyebut ini seperti dagelan karena tidak ada perkara yang berakhir. Jika demikian, prahara menaikan, digugat, menurunkan, dan menaikan kembali ini bisa berjilid-jilid.
"Bagaimana mengakhirinya? Ya, menyerahkan ke lembaga pemutus sengketa, yakni pengadilan dan MA. Ketika suatu perkara sudah diputuskan, sengketa itu sudah berakhir. Jangan bikin lagi," pungkasnya.
(maf)