PBI BPJS Kesehatan Dihapus, Pemerintah Harus Perhatikan Pasien Gagal Ginjal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyesalkan penghapusan pasien Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan ke sejumlah pasien gagal ginjal di tengah pandemi Covid-19 atau virus Corona. BPKN meminta pemerintah segera merespons hal ini karena, para pasien ini terhambat melakukan cuci darah atau hemodialisis (HD) yang dapat membahayakan jiwanya.
"Kesehatan adalah merupakan prioritas perhatian BPKN, insiden masih sering muncul, siapa yang harus bertanggung jawab? kali ini persoalan mengenai Jaminan Kesehatan yang memang perlu perhatian pemerintah dan tidak bisa dikesampingkan, perlu segera mendapat perhatian dan solusi agar konsumen tidak lagi dirugikan," kata Ketua BPKN Ardiansyah dalam keterangan tertulisnya, Minggu (10/5/2020).
(Baca juga: Kata BPIP Soal Pernyataan Jokowi Hidup Berdamai dengan Corona)
Ardiansyah menyayangkan, pemerintah telah menonaktifkan kepesertaan PBI BPJS Kesehatan kepada sejumlah pasien gagal ginjal sehingga menyebabkan terancamnya nyawa pasien karena terhambat untuk mengakses pelayanan HD. Insiden konsumen yang kesulitan mengakses layanan kesehatan menunjukkan bahwa pemerintah lalai menepati amanat Pasal 28 H Ayat (1) dan Pasal 34 UUD 1945 yang mengatur hak atas jaminan kesehatan bagi warga fakir miskin ataupun tidak mampu.
Selain itu sambung dia, peraturan perundangan-undangan juga telah mengatur bagaimana hak atas jaminan kesehatan bagi kelompok fakir miskin dan tidak mampu melalui Pasal 1 angka 7, Pasal 18 Ayat (1) serta, Pasal 19 Ayat (4) UU Nomor 24/2011 tentang BPJS Kesehatan yang menegaskan tanggung jawab Pemerintah sebagai pemegang tanggung jawab dari hak atas jaminan kesehatan untuk menjamin bantuan iuran kepada peserta PBI Jaminan Kesehatan.
"Kenyataan yang dihadapi konsumen tidak bisa mendapat haknya yaitu mendapat manfaat dari jaminan kesehatan, pemutusan PBI di tengah pandemi covid 19 dirasa merupakan tindakan yang keliru dan mengabaikan rasa empati dan kemanusiaan bagi pasien," jelas Ardiansyah.
Menurut Ardiansyah, jika ada persoalan data di Kementerian Sosial (Kemensos) maka, dibuat klasifikasi prioritas. Sementara, untuk kepentingan lainnya perlu dicermati dengan seksama. Pemutakhiran data Kemensos seyogyanya tidak mengorbankan masyarakat yang sangat membutuhkan layanan BPJS Kesehatan apalagi untuk golongan-golongan penyakit yang kritis dan risikonya adalah keselamatan jiwa masyarakat.
"Jangan hanya karena kesalahan dalam manajemen data di Kemensos, masyarakat kecil yang harus menanggung risikonya," tukasnya.
Ardiansyah menegaskan, akses pelayanan HD yang terjadi kepada pasien gagal ginjal merupakan suatu kelalaian yang dilakukan oleh pemerintah yang kerap kali terjadi. Pasalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 76/2015 tentang PBI Jaminan Kesehatan di mana, Kemensos bertanggung jawab untuk mendata peserta PBI Jaminan Kesehatan.
"Namun, dalam melakukan pendataan, proses validasi dan verifikasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dijadikan pedoman penetapan peserta PBI Jaminan Kesehatan kerap tidak tepat sasaran," sesalnya.
Karena itu dia menegaskan, pasien cuci darah yang dihentikan layanan BPJS Kesehatan ini perlu segera untuk direspons pemerintah sehingga, mengantisipasi jatuhnya korban jiwa dari masyarakat akibat ketidakberesan manajemen data Pemerintah.
"Dalam rangka meningkatkan pelayanan jaminan kesehatan pada masyarakat secara lebih baik dan optimal perlu koordinasi dengan Dinas Sosial di daerah agar melakukan proses validasi dan verifikasi DTKS sehingga, ketidaktepatan data PBI Jaminan Kesehatan yang dapat mengancam hak atas jaminan kesehatan warga tidak terulang lagi, kepada pihak terkait agar melakukan evaluasi sistem pendataan serta memperbaharui indikator kemiskinan yang sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan ekonomi warga," pungkas Ardiansyah.
Sebelumnya, pada Jumat (8/5), Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir mengatakan bahwa pihaknya menemukan adanya pelanggaran hak atas jaminan kesehatan kepada pasien gagal ginjal untuk memperoleh pelayanan HD karena penonaktifan kepesertaan PBI BPJS Kesehatan.
Pelanggaran tersebut dilakukan kepada 3 orang pasien bernama Darsono, Budi, dan Hadi Siswanto, yang masing-masing berasal dari Provinsi Jawa Tengah, yakni Cilacap, Banjarnegara, dan Klaten. Selain itu, pihaknya banyak menerima laporan yang sama dari para pasien gagal ginjal.
"Kesehatan adalah merupakan prioritas perhatian BPKN, insiden masih sering muncul, siapa yang harus bertanggung jawab? kali ini persoalan mengenai Jaminan Kesehatan yang memang perlu perhatian pemerintah dan tidak bisa dikesampingkan, perlu segera mendapat perhatian dan solusi agar konsumen tidak lagi dirugikan," kata Ketua BPKN Ardiansyah dalam keterangan tertulisnya, Minggu (10/5/2020).
(Baca juga: Kata BPIP Soal Pernyataan Jokowi Hidup Berdamai dengan Corona)
Ardiansyah menyayangkan, pemerintah telah menonaktifkan kepesertaan PBI BPJS Kesehatan kepada sejumlah pasien gagal ginjal sehingga menyebabkan terancamnya nyawa pasien karena terhambat untuk mengakses pelayanan HD. Insiden konsumen yang kesulitan mengakses layanan kesehatan menunjukkan bahwa pemerintah lalai menepati amanat Pasal 28 H Ayat (1) dan Pasal 34 UUD 1945 yang mengatur hak atas jaminan kesehatan bagi warga fakir miskin ataupun tidak mampu.
Selain itu sambung dia, peraturan perundangan-undangan juga telah mengatur bagaimana hak atas jaminan kesehatan bagi kelompok fakir miskin dan tidak mampu melalui Pasal 1 angka 7, Pasal 18 Ayat (1) serta, Pasal 19 Ayat (4) UU Nomor 24/2011 tentang BPJS Kesehatan yang menegaskan tanggung jawab Pemerintah sebagai pemegang tanggung jawab dari hak atas jaminan kesehatan untuk menjamin bantuan iuran kepada peserta PBI Jaminan Kesehatan.
"Kenyataan yang dihadapi konsumen tidak bisa mendapat haknya yaitu mendapat manfaat dari jaminan kesehatan, pemutusan PBI di tengah pandemi covid 19 dirasa merupakan tindakan yang keliru dan mengabaikan rasa empati dan kemanusiaan bagi pasien," jelas Ardiansyah.
Menurut Ardiansyah, jika ada persoalan data di Kementerian Sosial (Kemensos) maka, dibuat klasifikasi prioritas. Sementara, untuk kepentingan lainnya perlu dicermati dengan seksama. Pemutakhiran data Kemensos seyogyanya tidak mengorbankan masyarakat yang sangat membutuhkan layanan BPJS Kesehatan apalagi untuk golongan-golongan penyakit yang kritis dan risikonya adalah keselamatan jiwa masyarakat.
"Jangan hanya karena kesalahan dalam manajemen data di Kemensos, masyarakat kecil yang harus menanggung risikonya," tukasnya.
Ardiansyah menegaskan, akses pelayanan HD yang terjadi kepada pasien gagal ginjal merupakan suatu kelalaian yang dilakukan oleh pemerintah yang kerap kali terjadi. Pasalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 76/2015 tentang PBI Jaminan Kesehatan di mana, Kemensos bertanggung jawab untuk mendata peserta PBI Jaminan Kesehatan.
"Namun, dalam melakukan pendataan, proses validasi dan verifikasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dijadikan pedoman penetapan peserta PBI Jaminan Kesehatan kerap tidak tepat sasaran," sesalnya.
Karena itu dia menegaskan, pasien cuci darah yang dihentikan layanan BPJS Kesehatan ini perlu segera untuk direspons pemerintah sehingga, mengantisipasi jatuhnya korban jiwa dari masyarakat akibat ketidakberesan manajemen data Pemerintah.
"Dalam rangka meningkatkan pelayanan jaminan kesehatan pada masyarakat secara lebih baik dan optimal perlu koordinasi dengan Dinas Sosial di daerah agar melakukan proses validasi dan verifikasi DTKS sehingga, ketidaktepatan data PBI Jaminan Kesehatan yang dapat mengancam hak atas jaminan kesehatan warga tidak terulang lagi, kepada pihak terkait agar melakukan evaluasi sistem pendataan serta memperbaharui indikator kemiskinan yang sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan ekonomi warga," pungkas Ardiansyah.
Sebelumnya, pada Jumat (8/5), Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir mengatakan bahwa pihaknya menemukan adanya pelanggaran hak atas jaminan kesehatan kepada pasien gagal ginjal untuk memperoleh pelayanan HD karena penonaktifan kepesertaan PBI BPJS Kesehatan.
Pelanggaran tersebut dilakukan kepada 3 orang pasien bernama Darsono, Budi, dan Hadi Siswanto, yang masing-masing berasal dari Provinsi Jawa Tengah, yakni Cilacap, Banjarnegara, dan Klaten. Selain itu, pihaknya banyak menerima laporan yang sama dari para pasien gagal ginjal.
(maf)