Ini Sisi Negatif Sikap Pemerintah Tolak Revisi UU Pemilu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sikap pemerintah yang menolak rencana Revisi Undang-Undang ( RUU) Pemilu menjadi sorotan banyak pihak. Padahal sikap pemerintah itu memiliki sisi negatif.
"Kalau dari sisi negatifnya, ada banyak isu yang menurut saya adalah krusial untuk kemudian harus dibicarakan kembali," kata Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana dihubungi SINDOnews, Senin (1/2/2021). Baca Juga: Mayoritas Parpol Tak Mau Revisi UU Pemilu, Jimly: Yang Penting Capres Jangan Dua
Aditya memberikan contoh yang paling penting itu adalah tidak adanya kerangka hukum pelaksanaan Pemilu di masa bencana atau nonbencana seperti Pilkada Serentak 2020. "Baik itu Pemilu Legislatif atau pun Pemilu Eksekutif. Dan itu menurut saya perlu kemudian dimasukkan ke dalam pembahasan Undang-undang yang baru," ujarnya.
Baca juga: Berstatus Warga AS, Kemendagri Minta Polisi Periksa Bupati Terpilih di NTT
Menurut dia, masalah yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada 2020 lalu akan terulang pada Pemilu berikutnya. Selain itu, dia menilai soal amanat konsensus politik terkait dengan konsep Pemilu serentak juga harus dibicarakan dalam desain Pemilu.Baca Juga: Pilkada Serentak 2022 dan 2023 untuk Memenuhi Hak Politik Rakyat
"Itu maunya kayak apa, karena itu kan secara eksplisit sudah diamanatkan Mahkamah Konstitusi, jadi mau tidak mau itu harus dimasukkan ke dalam desainnya itu kayak apa. Oleh karena itu, pandangan saya, kalau ini tidak dibahas, maka kerugiannya tentu saja ya akan berulang ke persoalan-persoalan pelaksanaan Pemilu atau Pilkada sebelumnya," tuturnya.
Baca Juga: Jenderal Andika Perintahkan TNI AD Bangun Tenda Kesehatan untuk Korban Gempa Bumi Sulbar
Dia menjelaskan tidak ada suatu kejelasan dari aspek legalnya. "Menurut saya itu problem, kita akan menghadapi situasi siklus Pemilu kalau saya menyebutnya, gonta-ganti Pemilu lagi, membicarakan sistem Pemilu lagi setiap lima tahunan, dan itu menurut saya akhirnya membuang energi, padahal maunya DPR kan seperti yang pernah sampaikan, maunya DPR kan sesuatu yang ajeg dan sudah jelas selama puluhan tahun tidak digonta-ganti, nah itu jadi problem," katanya.
Kemudian, dia mengungkapkan sisi negatif lainnya adalah polarisasi masyarakat akan sering terjadi. "Oposisi akan terus menggoyang pemerintahan. Seperti masa-masa kemarin lah 2019, di 2020 relatif enggak terlalu kelihatan kan," katanya.
"Kalau dari sisi negatifnya, ada banyak isu yang menurut saya adalah krusial untuk kemudian harus dibicarakan kembali," kata Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana dihubungi SINDOnews, Senin (1/2/2021). Baca Juga: Mayoritas Parpol Tak Mau Revisi UU Pemilu, Jimly: Yang Penting Capres Jangan Dua
Aditya memberikan contoh yang paling penting itu adalah tidak adanya kerangka hukum pelaksanaan Pemilu di masa bencana atau nonbencana seperti Pilkada Serentak 2020. "Baik itu Pemilu Legislatif atau pun Pemilu Eksekutif. Dan itu menurut saya perlu kemudian dimasukkan ke dalam pembahasan Undang-undang yang baru," ujarnya.
Baca juga: Berstatus Warga AS, Kemendagri Minta Polisi Periksa Bupati Terpilih di NTT
Menurut dia, masalah yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada 2020 lalu akan terulang pada Pemilu berikutnya. Selain itu, dia menilai soal amanat konsensus politik terkait dengan konsep Pemilu serentak juga harus dibicarakan dalam desain Pemilu.Baca Juga: Pilkada Serentak 2022 dan 2023 untuk Memenuhi Hak Politik Rakyat
"Itu maunya kayak apa, karena itu kan secara eksplisit sudah diamanatkan Mahkamah Konstitusi, jadi mau tidak mau itu harus dimasukkan ke dalam desainnya itu kayak apa. Oleh karena itu, pandangan saya, kalau ini tidak dibahas, maka kerugiannya tentu saja ya akan berulang ke persoalan-persoalan pelaksanaan Pemilu atau Pilkada sebelumnya," tuturnya.
Baca Juga: Jenderal Andika Perintahkan TNI AD Bangun Tenda Kesehatan untuk Korban Gempa Bumi Sulbar
Dia menjelaskan tidak ada suatu kejelasan dari aspek legalnya. "Menurut saya itu problem, kita akan menghadapi situasi siklus Pemilu kalau saya menyebutnya, gonta-ganti Pemilu lagi, membicarakan sistem Pemilu lagi setiap lima tahunan, dan itu menurut saya akhirnya membuang energi, padahal maunya DPR kan seperti yang pernah sampaikan, maunya DPR kan sesuatu yang ajeg dan sudah jelas selama puluhan tahun tidak digonta-ganti, nah itu jadi problem," katanya.
Kemudian, dia mengungkapkan sisi negatif lainnya adalah polarisasi masyarakat akan sering terjadi. "Oposisi akan terus menggoyang pemerintahan. Seperti masa-masa kemarin lah 2019, di 2020 relatif enggak terlalu kelihatan kan," katanya.
(abd)