Inikah Agenda Pemerintah di Balik Sikap Menolak Revisi UU Pemilu?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penyelenggaraan pemilu atau pilkada secara serentak niat awalnya bertujuan untuk membuat prosesnya lebih efektif dan efisien. Tetapi implementasinya justru mendatangkan persoalan pada kedua aspek tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, merujuk pada bentangan emperis selama ini pilkada serentak justru mendatangkan persolan baru yang lebih rumit dan kompleks. “Kerumitan ini pada akhirnya tidak lagi sesuai dan sejalan dengan roh tujuan awal pembuatan undang-undang tersebut," tutur Pangi kepada SINDOnews, Senin (1/2/2021).
Pangi mengatakan, persoalan baru yang muncul ke permukaan tidak pernah diprediksi pembuat undang-undang. Banyak hal yang tidak lagi relevan dengan regulasi yang ada. Bahkan, kalau kembali menoleh ke belakang, Pangi menilai UU Pemilu yang mengatur keserentakan pemilu ini sangat minim partisipasi publik.
"Saya ingin katakan berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah undang-undang pemilu selalu digunakan untuk kepentingan temporal dan pragmatis para elite politik," beber Pangi.
(Baca: Pernah Ngotot Gelar Pilkada 2020, Pemerintah Dinilai Amnesia Tolak Revisi UU Pemilu)
Sebagai akibat, produk undang-undang yang dilahirkan melalui proses semacam ini tentu sangat tidak logis dipakai dalam waktu yang lama. Para pembuat undang-undang sendiri meloloskannya hanya untuk memuluskan agenda jangka pendek, kepentingan masing-masing partai. Perubahan-politik yang begitu cepat dan dinamis membuat pruduk undang-undang ini menjadi usang dan tak relevan.
Selain itu, gelombang protes atas pelaksanaan pemilu serentak mulai bising terdengar dari awal, puncaknya penyelenggaraan pemilu 2019 yang menelan banyak korban petugas KPPS yang meninggal, harusnya tidak boleh lagi terulang, via revisi undang undang pemilu.
"Pilkada di tengah pandemi yang dinilai menurunkan kualitas demokrasi. Tak perlu alergi untuk mengevaluasi pemilu serentak melalui revisi undang-undang pemilu semakin mendesak untuk dilakukan," ujarnya.
(Baca: Mayoritas Parpol Tak Mau Revisi UU Pemilu, Jimly: Yang Penting Capres Jangan Dua)
Di tengah kencangnya suara desakan dan kehendak publik untuk melakukan revisi terhadap undang-pemilu, sikap pemerintah justru bertolak belakang: menolak revisi. Sikap ini tentu di luar nalar logika berfikir dan terlihat sangat tidak konsisten dengan argumen yang justru keluar dari pemerintah sendiri terutama saat publik meminta pilkada serentak 2020 ditunda.
Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, merujuk pada bentangan emperis selama ini pilkada serentak justru mendatangkan persolan baru yang lebih rumit dan kompleks. “Kerumitan ini pada akhirnya tidak lagi sesuai dan sejalan dengan roh tujuan awal pembuatan undang-undang tersebut," tutur Pangi kepada SINDOnews, Senin (1/2/2021).
Pangi mengatakan, persoalan baru yang muncul ke permukaan tidak pernah diprediksi pembuat undang-undang. Banyak hal yang tidak lagi relevan dengan regulasi yang ada. Bahkan, kalau kembali menoleh ke belakang, Pangi menilai UU Pemilu yang mengatur keserentakan pemilu ini sangat minim partisipasi publik.
"Saya ingin katakan berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah undang-undang pemilu selalu digunakan untuk kepentingan temporal dan pragmatis para elite politik," beber Pangi.
(Baca: Pernah Ngotot Gelar Pilkada 2020, Pemerintah Dinilai Amnesia Tolak Revisi UU Pemilu)
Sebagai akibat, produk undang-undang yang dilahirkan melalui proses semacam ini tentu sangat tidak logis dipakai dalam waktu yang lama. Para pembuat undang-undang sendiri meloloskannya hanya untuk memuluskan agenda jangka pendek, kepentingan masing-masing partai. Perubahan-politik yang begitu cepat dan dinamis membuat pruduk undang-undang ini menjadi usang dan tak relevan.
Selain itu, gelombang protes atas pelaksanaan pemilu serentak mulai bising terdengar dari awal, puncaknya penyelenggaraan pemilu 2019 yang menelan banyak korban petugas KPPS yang meninggal, harusnya tidak boleh lagi terulang, via revisi undang undang pemilu.
"Pilkada di tengah pandemi yang dinilai menurunkan kualitas demokrasi. Tak perlu alergi untuk mengevaluasi pemilu serentak melalui revisi undang-undang pemilu semakin mendesak untuk dilakukan," ujarnya.
(Baca: Mayoritas Parpol Tak Mau Revisi UU Pemilu, Jimly: Yang Penting Capres Jangan Dua)
Di tengah kencangnya suara desakan dan kehendak publik untuk melakukan revisi terhadap undang-pemilu, sikap pemerintah justru bertolak belakang: menolak revisi. Sikap ini tentu di luar nalar logika berfikir dan terlihat sangat tidak konsisten dengan argumen yang justru keluar dari pemerintah sendiri terutama saat publik meminta pilkada serentak 2020 ditunda.