Ambang Batas Bukti Omong Kosongnya Argumen Sistem Presidensial Tak Bergantung Partai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Konflik politik karena perbedaan kepentingan merupakan sesuatu yang normal. Yang harus dilakukan yaitu mengelolanya supaya tidak menjadi kekerasan dan konflik di masyarakat. Saiful Mujani, pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), menyatakan, demokrasi adalah satu cara untuk mengelola kepentingan itu.
Tetapi, menggelar pemilu atau pilkada secara serentak sama dengan menumpuk konflik dan berisiko. Karena itu harus dikelola dengan sangat baik.
"Sebaiknya konflik dikelola dengan mendistribusikannya menurut tempat dan waktu sehingga risiko bahaya dapat ditekan dan lebih managable sesuai dengan kemampuan kita," tutur Saiful kepada SINDOnews, Senin (1/2/2021).
(Baca: Bila Pilkada Digelar 2024, Peluang Anies dan Figur Lain Sama)
Menurut Saiful, Pilkada dan pemilu yang tersebar menurut waktu dan tempat, resiko tak terkelolanya lebih rendah seperti pengalaman kita selama ini. Contoh mutakhir adalah Pilkada 2020 yang sukses besar: damai, voter turn out tinggi meski di tengah pandemi Covid-19.
Sebaliknya, pemilu dan Pemilu presiden (Pilpres) 2019 adalah pelajaran mahal bagi kita. Dia melihat, pemilu 2019 kurang terkelola dengan baik, sehingga menyebabkan banyak korban berjatuhan. Ini pelajaran penting dan jangan diulang.
Lebih lanjut Saiful menganggap, ide 'review' ke Mahkamah Kontitusi (MK) untuk menyatukan pemilu dan pilpres dan dikabulkan MK lebih karena alasan politik praktis ketimbang managablity demokrasi. Sebaliknya, tidak didasarkan pada naskah akademik yang memadai.
"Kepentingan politik praktisnya adalah agar hasil pemilu legislatif tidak menentukan pilpres. Partai kecil bisa mengajukan calon tanpa syarat perolehan suara partai karena kedua pemilunya dilakukan serempak. Tujuan ini tak tercapai," ujarnya.
(Baca: Survei SMRC, Masih Ada 33% Masyarakat Belum Tahu Program Vaksinasi COVID-19)
Di sisi lain, kata Saiful, DPR tetap membuat Undang-Undang (UU) agar calon presiden (capres) didasarkan pada perolehan suara partai dari pemilu sebelumnya. Ambang batasnya (threshold) juga tetap tinggi, sehingga hanya koalisi partai yang secara umum bisa mencalonkan.
"Argumen bahwa presidensialisme tak bergantung terhadap partai dan DPR tak sepenuhnya benar. Terbukti omong kosong," kata Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini.
Lihat Juga: Rekomendasi Muktamar VI PKB: Usul Pilpres dan Pileg Dipisah hingga Presidential Threshold Jadi 10%
Tetapi, menggelar pemilu atau pilkada secara serentak sama dengan menumpuk konflik dan berisiko. Karena itu harus dikelola dengan sangat baik.
"Sebaiknya konflik dikelola dengan mendistribusikannya menurut tempat dan waktu sehingga risiko bahaya dapat ditekan dan lebih managable sesuai dengan kemampuan kita," tutur Saiful kepada SINDOnews, Senin (1/2/2021).
(Baca: Bila Pilkada Digelar 2024, Peluang Anies dan Figur Lain Sama)
Menurut Saiful, Pilkada dan pemilu yang tersebar menurut waktu dan tempat, resiko tak terkelolanya lebih rendah seperti pengalaman kita selama ini. Contoh mutakhir adalah Pilkada 2020 yang sukses besar: damai, voter turn out tinggi meski di tengah pandemi Covid-19.
Sebaliknya, pemilu dan Pemilu presiden (Pilpres) 2019 adalah pelajaran mahal bagi kita. Dia melihat, pemilu 2019 kurang terkelola dengan baik, sehingga menyebabkan banyak korban berjatuhan. Ini pelajaran penting dan jangan diulang.
Lebih lanjut Saiful menganggap, ide 'review' ke Mahkamah Kontitusi (MK) untuk menyatukan pemilu dan pilpres dan dikabulkan MK lebih karena alasan politik praktis ketimbang managablity demokrasi. Sebaliknya, tidak didasarkan pada naskah akademik yang memadai.
"Kepentingan politik praktisnya adalah agar hasil pemilu legislatif tidak menentukan pilpres. Partai kecil bisa mengajukan calon tanpa syarat perolehan suara partai karena kedua pemilunya dilakukan serempak. Tujuan ini tak tercapai," ujarnya.
(Baca: Survei SMRC, Masih Ada 33% Masyarakat Belum Tahu Program Vaksinasi COVID-19)
Di sisi lain, kata Saiful, DPR tetap membuat Undang-Undang (UU) agar calon presiden (capres) didasarkan pada perolehan suara partai dari pemilu sebelumnya. Ambang batasnya (threshold) juga tetap tinggi, sehingga hanya koalisi partai yang secara umum bisa mencalonkan.
"Argumen bahwa presidensialisme tak bergantung terhadap partai dan DPR tak sepenuhnya benar. Terbukti omong kosong," kata Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini.
Lihat Juga: Rekomendasi Muktamar VI PKB: Usul Pilpres dan Pileg Dipisah hingga Presidential Threshold Jadi 10%
(muh)