MAKI Beberkan Faktor Penyebab Turunnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Transparency International Indonesia (TII) beberapa waktu lalu merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menurun sebanyak tiga poin dari 40 menjadi 37 poin. Akibatnya, Indonesia disalip oleh negara tetangga Timor Leste.
Atas kemerosotan IPK tersebut, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengaku kecewa. Padahal, dia berharap skor tersebut dapat bertambah di setiap tahunnya. "Ya terus terang saja, saya malu sebagai aktivis antikorupsi yang lama berjuang sejak 1999, dengan berharap IPK ini makin naik, dan itupun sebenarnya baru level di bawah 50. Berarti di bawah separuhnya, tapi kemudian turun, dari 40 menjadi 37, bahkan di bawah Timor Timur yang sejak 2018 ada gejolak politik dan sedikit ada ketegangan, itu kan memalukan juga," katanya saat dihubungi, Minggu (31/1/2021).
Dia menduga kondisi itu dipengaruhi sejumlah indikator, misalnya revisi Undang-Undang KPK sampai dengan pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan lembaga antirasuah (KPK). "Jadi masyakat ini kemudian tidak percaya lagi ya terhadap KPK," tuturnya.
Selain itu, beberapa institusi penegak hukum turut disorot oleh Boyamin. Misalnya, di Kejaksaan Agung (Kejagung) ada kasus korupsi Jiwasraya yang dinilai tak menyentuh secara keseluruhan, dan kasus korupsi PT Pelindo II oleh RJ Lino yang mangkrak di tangan kepolisian. "Lembaga yang lain juga belum berprestasi banyak di posisi misalnya Kejaksaan Agung juga begitu meskipun Jiwasraya hukuman seumur hidup. Tapi kan masih ada keraguan karena tidak dianggap belum menyentuh semua pihak yang dianggap merugikan Jiwasraya. Di kepolisian juga begitu banyak perkara yang mangkrak misalnya RJ Lino, kemudian lahan Cengkareng yang zaman Pak Ahok, kemudian perkara penanganan korupsi yang masih berlarut-larut di kepolisian," katanya melanjutkan.
Lalu, di sistem pemerintahan, kata Boyamin, dalam beberapa prosesnya belum mendukung adanya pemberantasan korupsi. Hal ini terbukti dari ditetapkannya dua menteri menjadi tersangka, yaitu Edhy Prabowo dan Juliari Batubara. "Contohnya kasus ekspor benur dan Bansos itukan satu rangkaian yang kemudian dari 2020 bahwa perencanaan, pelaksanaan, pertanggung jawaban kegiatan, pengadaan barang jasa pemerintah, maupun kegiatan anggaran menjadikan satu proses yang belum ada perbaikan bahkan ada penurunan," ucapnya.
Boyamin mengaku, sepakat dengan pernyataan dari Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut indikator turunnya IPK Indonesia karena revisi UU KPK dan maraknya korting hukumn oleh Mahkamah Agung (MA).Oleh karenanya, dia mendesak agar revisi UU KPK dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dia menilai, revisi tersebut cacat formil. "Untuk perbaikan ke depan. Salah satunya revisi Undang-Undang KPK batalkan dan itu saya masih berharap pada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan itu. Karena proses persetujuan DPR kan secara formal dan tidak terpenuhi atau cacat. Pendapat Pak Mahfud juga hukuman harusya semakin berat dan MA jangan kemudian mengkorting ketika orang melakukan kasasi atau peninjauan kembali (PK)," imbuhnya.
Dia pun menyinggung tidak adanya mantan Hakim Agung Ma, Artidjo Kautsar. Menurutnya, saat zaman Artidjo, banyak koruptor yang hukumannya malah bertambah saat melakukn kasasi dan PK. Seharusnya, hal itu pun bisa dilakukan lagi oleh MA. "Bahkan kalau perlu ditambah hukumannya, seperti pas zamannya Pak Artidjo. Ketika ada Pak Artidjo kan naik, juga persepsi kita naik. Ketika Pak Artidjo pensiun banyak korting dan kemudian menurun," ungkapnya.
Atas kemerosotan IPK tersebut, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengaku kecewa. Padahal, dia berharap skor tersebut dapat bertambah di setiap tahunnya. "Ya terus terang saja, saya malu sebagai aktivis antikorupsi yang lama berjuang sejak 1999, dengan berharap IPK ini makin naik, dan itupun sebenarnya baru level di bawah 50. Berarti di bawah separuhnya, tapi kemudian turun, dari 40 menjadi 37, bahkan di bawah Timor Timur yang sejak 2018 ada gejolak politik dan sedikit ada ketegangan, itu kan memalukan juga," katanya saat dihubungi, Minggu (31/1/2021).
Dia menduga kondisi itu dipengaruhi sejumlah indikator, misalnya revisi Undang-Undang KPK sampai dengan pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan lembaga antirasuah (KPK). "Jadi masyakat ini kemudian tidak percaya lagi ya terhadap KPK," tuturnya.
Selain itu, beberapa institusi penegak hukum turut disorot oleh Boyamin. Misalnya, di Kejaksaan Agung (Kejagung) ada kasus korupsi Jiwasraya yang dinilai tak menyentuh secara keseluruhan, dan kasus korupsi PT Pelindo II oleh RJ Lino yang mangkrak di tangan kepolisian. "Lembaga yang lain juga belum berprestasi banyak di posisi misalnya Kejaksaan Agung juga begitu meskipun Jiwasraya hukuman seumur hidup. Tapi kan masih ada keraguan karena tidak dianggap belum menyentuh semua pihak yang dianggap merugikan Jiwasraya. Di kepolisian juga begitu banyak perkara yang mangkrak misalnya RJ Lino, kemudian lahan Cengkareng yang zaman Pak Ahok, kemudian perkara penanganan korupsi yang masih berlarut-larut di kepolisian," katanya melanjutkan.
Lalu, di sistem pemerintahan, kata Boyamin, dalam beberapa prosesnya belum mendukung adanya pemberantasan korupsi. Hal ini terbukti dari ditetapkannya dua menteri menjadi tersangka, yaitu Edhy Prabowo dan Juliari Batubara. "Contohnya kasus ekspor benur dan Bansos itukan satu rangkaian yang kemudian dari 2020 bahwa perencanaan, pelaksanaan, pertanggung jawaban kegiatan, pengadaan barang jasa pemerintah, maupun kegiatan anggaran menjadikan satu proses yang belum ada perbaikan bahkan ada penurunan," ucapnya.
Boyamin mengaku, sepakat dengan pernyataan dari Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut indikator turunnya IPK Indonesia karena revisi UU KPK dan maraknya korting hukumn oleh Mahkamah Agung (MA).Oleh karenanya, dia mendesak agar revisi UU KPK dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dia menilai, revisi tersebut cacat formil. "Untuk perbaikan ke depan. Salah satunya revisi Undang-Undang KPK batalkan dan itu saya masih berharap pada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan itu. Karena proses persetujuan DPR kan secara formal dan tidak terpenuhi atau cacat. Pendapat Pak Mahfud juga hukuman harusya semakin berat dan MA jangan kemudian mengkorting ketika orang melakukan kasasi atau peninjauan kembali (PK)," imbuhnya.
Dia pun menyinggung tidak adanya mantan Hakim Agung Ma, Artidjo Kautsar. Menurutnya, saat zaman Artidjo, banyak koruptor yang hukumannya malah bertambah saat melakukn kasasi dan PK. Seharusnya, hal itu pun bisa dilakukan lagi oleh MA. "Bahkan kalau perlu ditambah hukumannya, seperti pas zamannya Pak Artidjo. Ketika ada Pak Artidjo kan naik, juga persepsi kita naik. Ketika Pak Artidjo pensiun banyak korting dan kemudian menurun," ungkapnya.
(cip)