Prihatin, Tidak Ada Keterwakilan Perempuan di Ombudsman RI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Maju Perempuan Indonesia (MPI) menyatakan keprihatinan atas absennya keterwakilan perempuan dalam lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Sistem rekrutmen jabatan publik dinilai belum secara tegas menjamin keterwakilan perempuan.
Diketahui, Komisi II DPR RI telah mengumumkan hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap 18 (delapan belas) calon anggota Ombudsman Republik Indonesia untuk periode 2021-2026 pada Kamis 28 Januari 2021. Dari 18 calon tersebut, hanya ada satu orang perempuan yakni Hani Hasjim.
Dari 18 calon itu, terpilih 9 (sembilan) anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Periode 2021-2026 yang keseluruhannya adalah laki-laki. Mereka adalah Mokh Najih (Ketua), Bobby Hamzar Rafinus (Wakil Ketua) serta tujuh orang anggota yaitu Dadan Suparjo Suharmawijaya, Hery Susanto, Indraza Marzuki Rais; Jemsly Hutabarat, Johanes Widijantoro, Robertus Na Endi Jaweng, dan Yeka Hendra Fatika.
"Maju Perempuan Indonesia menyatakan keprihatinan atas absennya keterwakilan perempuan dalam Lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI)," ujar Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) Lena Maryana Mukti, Jumat (29/1/2021).
Lena menuturkan, ORI merupakan lembaga yang memiliki fungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Negara, pemerintah pusat maupun daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Swasta maupun perseorangan. Menurutnya, absennya keterwakilan perempuan dalam ORI dapat berakibat pada terabaikannya kepentingan dan kebutuhan perempuan terhadap layanan publik.
Selain itu, katanya, sistem rekrutmen jabatan publik, sejak pembentukan tim seleksi, tahapan seleksi hingga uji kelayakan dan kepatutan sampai saat ini belum secara tegas menjamin keterwakilan perempuan . "Absennya keterwakilan perempuan dalam ORI menjadi pelajaran yang mahal bagi gerakan perempuan, karena menghambat upaya untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender serta Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDGs)," ungkapnya.
Lebih lanjut Lena mengatakan, sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk mencegah terulangnya kejadian absennya keterwakilan perempuan dalam jabatan publik, pihaknya merekomendasikan, agar Presiden menerbitkan peraturan untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam semua sistem rekrutmen jabatan publik termasuk dan tidak terbatas pada: keterwakilan perempuan dalam panitia seleksi, dan keterwakilan perempuan di setiap tahap seleksi.
"DPR menerbitkan aturan internal untuk menjamin keterwakilan perempuan dalam setiap hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test)," tutur dia.
MPI akan terus memantau dan mengawal semua proses rekrutmen jabatan publik untuk menjamin keterwakilan perempuan , guna mempercepat terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan Gender serta Pencapaian SDGs sebagaimana juga diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Diketahui, Komisi II DPR RI telah mengumumkan hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap 18 (delapan belas) calon anggota Ombudsman Republik Indonesia untuk periode 2021-2026 pada Kamis 28 Januari 2021. Dari 18 calon tersebut, hanya ada satu orang perempuan yakni Hani Hasjim.
Dari 18 calon itu, terpilih 9 (sembilan) anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Periode 2021-2026 yang keseluruhannya adalah laki-laki. Mereka adalah Mokh Najih (Ketua), Bobby Hamzar Rafinus (Wakil Ketua) serta tujuh orang anggota yaitu Dadan Suparjo Suharmawijaya, Hery Susanto, Indraza Marzuki Rais; Jemsly Hutabarat, Johanes Widijantoro, Robertus Na Endi Jaweng, dan Yeka Hendra Fatika.
"Maju Perempuan Indonesia menyatakan keprihatinan atas absennya keterwakilan perempuan dalam Lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI)," ujar Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) Lena Maryana Mukti, Jumat (29/1/2021).
Lena menuturkan, ORI merupakan lembaga yang memiliki fungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Negara, pemerintah pusat maupun daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Swasta maupun perseorangan. Menurutnya, absennya keterwakilan perempuan dalam ORI dapat berakibat pada terabaikannya kepentingan dan kebutuhan perempuan terhadap layanan publik.
Selain itu, katanya, sistem rekrutmen jabatan publik, sejak pembentukan tim seleksi, tahapan seleksi hingga uji kelayakan dan kepatutan sampai saat ini belum secara tegas menjamin keterwakilan perempuan . "Absennya keterwakilan perempuan dalam ORI menjadi pelajaran yang mahal bagi gerakan perempuan, karena menghambat upaya untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender serta Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDGs)," ungkapnya.
Lebih lanjut Lena mengatakan, sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk mencegah terulangnya kejadian absennya keterwakilan perempuan dalam jabatan publik, pihaknya merekomendasikan, agar Presiden menerbitkan peraturan untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam semua sistem rekrutmen jabatan publik termasuk dan tidak terbatas pada: keterwakilan perempuan dalam panitia seleksi, dan keterwakilan perempuan di setiap tahap seleksi.
"DPR menerbitkan aturan internal untuk menjamin keterwakilan perempuan dalam setiap hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test)," tutur dia.
MPI akan terus memantau dan mengawal semua proses rekrutmen jabatan publik untuk menjamin keterwakilan perempuan , guna mempercepat terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan Gender serta Pencapaian SDGs sebagaimana juga diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
(zik)