Mengubah Frustrasi Jadi Kesempatan Saat Mengarungi Pandemi

Rabu, 27 Januari 2021 - 05:00 WIB
loading...
Mengubah Frustrasi Jadi Kesempatan Saat Mengarungi Pandemi
Muhamad Ali (Foto: Istimewa)
A A A
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital

JACK MA, salah satu orang terkaya di dunia, pernah mengalami kegagalan. Tidak cukup sekali, tapi berkali-kali. Berusaha menjadi pegawai restoran cepat saji, yang lainnya diterima, dia sendiri yang gagal. Mendaftar beasiswa pendidikan ke luar negeri, sudah berkali-kali mengajukan, juga gagal. Selalu begitu jalan Jack Ma di saat belia. Tapi, mengapa ia kemudian menjadi orang yang berhasil di dunia bisnis?

Salah satu yang saya tangkap dari perjalanan hidup Jack Ma adalah karena ia tidak menyerah dan ia terus belajar dari kegagalan. Keberhasilannya dalam membangun bisnis Alibaba dan kemudian menjadi imperium bisnis terbesar di dunia adalah kemampuannya mendengar dan mengumpulkan rasa frustrasi orang-orang di sekelilingnya. Ia mengasah kemampuannya berbahasa Inggris, sampai rela mengajar atau menjadi penerjemah tanpa dibayar.

“Kalau ada orang yang mengeluh kurang begini atau begitu, atau mengeluh ini susah itu susah, itu artinya ada kesempatan untuk memberikan jalan keluar atas keluhan tersebut.” Begitu kira-kira prinsip Jack Ma.

Semakin banyak orang mengeluh tentang sesuatu, semakin besar frustrasi orang terhadap sesuatu, semakin besar peluang atau kesempatannya. Begitulah ia memandang masalah dan rasa frustrasi orang-orang.

Rasa frustrasi, oleh Jack Ma, dia ubah jadi energi positif. Ia frustrasi tak menemukan kata “beer” dan “China” saat menelusuri halaman internet. Ia tidak berhenti. Ia buat website yang berisi hal-hal tentang yang ingin ia cari. Hasilnya, ia mendapat banjir pertanyaan, sampai kemudian Alibaba menjadi kisah yang menginspirasi dunia.

Frustrasi oleh Pandemi
Individu, komunitas, organisasi, pasti pernah mengalami rasa frustrasi akibat pandemi yang sudah berlarut-larut ini. Intensitas dan kualitasnya saja yang berbeda-beda. Frustrasi sangatlah manusiawi karena pandemi benar-benar menjungkirbalikkan logika dan cara kita hidup sehari-hari.

Perubahan oleh karena pandemi itu memaksa kita untuk beradaptasi. Adaptasi adalah cara kita merespons situasi atau keadaan. Secara umum, dua aspek terpenting yang harus kita sikapi adalah kesehatan dan penghidupan/ekonomi. Respons kita terhadap aspek kesehatan berpedoman pada protokol-protokol yang diterbitkan oleh otoritas pemerintah, sementara penanganan yang bersifat pencegahan dan pengobatan medis lantaran pandemi oleh otoritas kesehatan.

Dua hal itu saja sesungguhnya dapat memicu frustrasi. Protokol yang kurang dapat ditegakkan secara keras, pelayanan fasilitas kesehatan yang kurang dan lambat, dapat memicu perasaan-perasaan negatif, apalagi apabila sampai pada tingkat kritis ataupun jatuh korban. Pelayanan pengobatan kepada warga yang mengalami gangguan akibat virus Covid-19 juga menimbulkan masalah di mana-mana.

Bagaimana Menyikapi?
Keraslah pada diri sendiri sebagai tindakan pencegahan, lembutlah kepada orang lain yang membutuhkan sebagai tindakan sosial. Keras pada diri sendiri, artinya menjaga disiplin pada setiap protokol kesehatan dan melindungi diri dan orang-orang di sekeliling kita.

Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita mengonversi atau mengubah energi frustrasi itu menjadi kesempatan atau peluang yang berguna untuk menyiasati hidup selama pandemi. Ketimbang membaca-baca berita-berita negatif dan membuat emosi negatif makin menumpuk, saya lebih suka membaca dan mencari-cari informasi bagaimana orang lain bersiasat dan mencari celah di tengah tekanan ekonomi pandemi.

Di media, apalagi di internet, dengan mudah kita dapat menemukan kisah-kisah inspiratif bagaimana orang berjuang untuk menyelamatkan dan menghidupi diri dan keluarganya yang terusik karena badai pandemi. Kisah-kisah ini tidak hanya terjadi pada level individu, tetapi juga pada korporasi-korporasi. Orang yang melihat situasi secara jeli dan beradaptasi secara cepat.

Dalam level organisasi—baik bisnis maupun nonbisnis—kejelian dan kecepatan bermanuver menjadi sangat penting. Oleh karena itu, dalam tulisan di media ini sebelumnya, saya menegaskan bahwa organisasi yang cenderung semakin vertikal akan cenderung semakin sulit beradaptasi karena kelincahan dan kecepatannya kalah oleh organisasi yang lebih lateral dan nonhierarkis.

Abnormalitas pandemi yang diakibatkan oleh Covid-19 beserta dampak turunannya belum ada referensinya di masa lalu. Si penyebab utamanya–virus yang terus bermutasi—juga belum ada panaseanya yang seratus persen sahih. Semua adalah upaya dengan tingkat kemungkinan gagal pasti ada. Bahkan, termasuk vaksin yang sekarang ini sudah mulai diaplikasikan untuk memerangi virus. Itu adalah upaya maksimal—dengan pengetahuan dan teknologi manusia pada hari ini—yang dapat dilakukan.

Oleh karena itu, yang terpenting dalam menemukan kesempatan atau peluang adalah terus “belajar bagaimana belajar”, learn how to learn, yakni belajar bagaimana kita harus mempelajari hal-hal baru, kejadian-kejadian baru, peristiwa, atau fenomena baru, yang muncul dari pandemi kali ini.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1489 seconds (0.1#10.140)