Komisi III DPR Kritik Pencalonan Hakim Agung oleh Komisi Yudisial
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi III DPR memberikan banyak catatan kepada Komisi Yudisial (KY) mengenai pencalonan 7 Calon Hakim Agung , baik dari segi kuantitas atau jumlah, maupun dari segi kualitas calon yang diajukan.
Hal ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Komisioner KY terkait penjelasan pengajuan Calon Hakim Agung (CHA) dan Calon Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung (MA).
"Setiap kali calon hakim agung ini disampaikan ke Komisi III, saya selalu tanya apakah Komisi Yudisial ini tidak lebih dulu membuat telaahan mengenai kebutuhan hakim agung? baik jumlah atau kuantitas atau pun kualitas," kata anggota Komisi III DPR Benny K Harman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (25/1/2021).
Dengan telaahan, sambung Benny, KY bisa menjawab kebutuhan itu lewat CHA yang diusulkan. Sementara, ia melihat lebih banyak hakim ad hoc yang dicalonkan, padahal saat ini kebutuhan hakim agung sangat urgent, dan jumlah maksimal yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang MA (UU MA) adalah 60, sementara yang dipenuhi baru 46 hakim agung.
"KY mestinya tahu apa riwayat hakim agung ad hoc, hakim agung ad hoc kita masukan dalam UU jadi hakim ad hoc di MA. Semangatnya manakala dibutuhkan, yang terjadi bukan manakala dibutuhkan, tapi seolah-olah yang ad hoc hak-haknya tidak berbeda dengan hakim reguler," terangnya.
Karena itu, politikus Partai Demokrat ini mempertanyakan kenapa justru dibalik, sehingga jumlah hakim agung ad hoc lebih banyak dibanding hakim agung regular. Sehingga, ia mendorong agar hakim agung regular lebih banyak.
Benny pun mempertanyakan soal visi KY dalam merekrut CHA. CHA seperti apa yang dibutuhkan bangsa dan negara dan tentunya mesti tahu dulu seperti apa tantangan bangsa dan negara di bidang yudisial. Dia memahami memang sulit menemukan sosok ideal tapi selalu ada jalan. Lalu ada kriteria negawaran untuk CHA ini, sementara instrument penilaiannya tidak jelas.
"Instrumen untuk menilai apakah calon ini negarawan atau tidak. Apa yang dipake menilai calon ini beritegritas atau tidak, apa instrument yang digunakan untuk menilai calon ini negarawan," tanya Benny.
Kemudian, anggota Komisi III DPR Habiburokhman mengaku bingung dengan pengajuan CHA oleh KY ke DPR, Hakim Agung PTUN kebutuhan 2 diajukan 1, Hakim Ad Hoc Tipikor kebutuhan 6 diajukan 4, Hakim Ad Hoc industrial kebutuhan 2 diajukan 2.
"Yang saya ingin tanyakan berapa sebetulnya yang mendaftar dan tidak terpilih karena seolah kita dipetakompli, kebutuhan dua diajukan satu, seolah kami dipaksa agar satu diambil," ujarnya di kesempatan sama.
"Kita sama-sama memiliki kewenangan konstitusional untuk mengajukan. Apa kesulitan KY menghadirkan calon yang kita bisa pilih beberapa opsi," kata politikus Partai Gerindra itu.
Hal ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Komisioner KY terkait penjelasan pengajuan Calon Hakim Agung (CHA) dan Calon Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung (MA).
"Setiap kali calon hakim agung ini disampaikan ke Komisi III, saya selalu tanya apakah Komisi Yudisial ini tidak lebih dulu membuat telaahan mengenai kebutuhan hakim agung? baik jumlah atau kuantitas atau pun kualitas," kata anggota Komisi III DPR Benny K Harman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (25/1/2021).
Dengan telaahan, sambung Benny, KY bisa menjawab kebutuhan itu lewat CHA yang diusulkan. Sementara, ia melihat lebih banyak hakim ad hoc yang dicalonkan, padahal saat ini kebutuhan hakim agung sangat urgent, dan jumlah maksimal yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang MA (UU MA) adalah 60, sementara yang dipenuhi baru 46 hakim agung.
"KY mestinya tahu apa riwayat hakim agung ad hoc, hakim agung ad hoc kita masukan dalam UU jadi hakim ad hoc di MA. Semangatnya manakala dibutuhkan, yang terjadi bukan manakala dibutuhkan, tapi seolah-olah yang ad hoc hak-haknya tidak berbeda dengan hakim reguler," terangnya.
Karena itu, politikus Partai Demokrat ini mempertanyakan kenapa justru dibalik, sehingga jumlah hakim agung ad hoc lebih banyak dibanding hakim agung regular. Sehingga, ia mendorong agar hakim agung regular lebih banyak.
Benny pun mempertanyakan soal visi KY dalam merekrut CHA. CHA seperti apa yang dibutuhkan bangsa dan negara dan tentunya mesti tahu dulu seperti apa tantangan bangsa dan negara di bidang yudisial. Dia memahami memang sulit menemukan sosok ideal tapi selalu ada jalan. Lalu ada kriteria negawaran untuk CHA ini, sementara instrument penilaiannya tidak jelas.
"Instrumen untuk menilai apakah calon ini negarawan atau tidak. Apa yang dipake menilai calon ini beritegritas atau tidak, apa instrument yang digunakan untuk menilai calon ini negarawan," tanya Benny.
Kemudian, anggota Komisi III DPR Habiburokhman mengaku bingung dengan pengajuan CHA oleh KY ke DPR, Hakim Agung PTUN kebutuhan 2 diajukan 1, Hakim Ad Hoc Tipikor kebutuhan 6 diajukan 4, Hakim Ad Hoc industrial kebutuhan 2 diajukan 2.
"Yang saya ingin tanyakan berapa sebetulnya yang mendaftar dan tidak terpilih karena seolah kita dipetakompli, kebutuhan dua diajukan satu, seolah kami dipaksa agar satu diambil," ujarnya di kesempatan sama.
"Kita sama-sama memiliki kewenangan konstitusional untuk mengajukan. Apa kesulitan KY menghadirkan calon yang kita bisa pilih beberapa opsi," kata politikus Partai Gerindra itu.
(abd)