Sabda Pandhita Kampus

Senin, 25 Januari 2021 - 06:10 WIB
loading...
A A A
Degradasi intelektual secara tersistem terjadi akibat situasi yang menjurus pada budaya pragmatisme terus-menerus tanpa henti. Mati suri demokrasi telah membuat sebagian kaum intelektual kampus buta nalar. Lebih menyedihkan lagi polarisasi demokrasi melahirkan sempitnya nalar kritis intelektual yang minus resiliensi. Resiliensi intelektual menjadi kehilangan kaidah ilmiah dalam mencermati permasalahan secara jernih.

Reivich dan Shatte (1999) menyebut bahwa resiliensi adalah kapasitas seseorang merespons secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma di mana hal tersebut penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Bahasa sederhananya, resiliensi adalah keuletan dan keteguhan seseorang. Resiliensi intelektual dibutuhkan setiap warga kampus karena menjadi sumber kekuatan yang membuat kaum intelektual ini mampu bertahan dalam kondisi apa pun.

Resiliensi intelektual boleh menjadi proses interaktif kompleks dengan melibatkan berbagai karakteristik individu, keluarga serta lingkungan masyarakat lebih luas. Konsistensi intelektual menjadi batu ujian yang meneguhkan sosok “pandhita” kampus dalam menebarkan roh kebaikan bersama rakyat dalam menegakkan panji keadilan.

Dalam dinamika sosial politik yang kini berkembang, masyarakat rindu “sabda pandhita” intelektual kampus bernalar objektif serta berpijak pada metodologi ilmiah, bukan pada ideologi yang mengakibatkan polarisasi kampus.
(bmm)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2415 seconds (0.1#10.140)