Pilpres 2024 Hanya Diikuti 2 Paslon, Pengamat Sebut Otoritarian Elektoral yang Menguat

Sabtu, 23 Januari 2021 - 17:51 WIB
loading...
Pilpres 2024 Hanya Diikuti...
Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Fadhli Harahab mengatakan perdebatan soal ambang batas PT bukan hal baru di setiap menjelang pemilu. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Revisi UU Pemilu masih dalam proses perdebatan di Komisi II DPR. Salah satu persoalan yang menjadi cukup kontroversi adalah syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden yang harus memenuhi ambang batas Presidential Threshold (PT) sebesar 20% perolehan suara parlemen atau 25% secara nasional di Pemilu 2019 lalu.

Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Fadhli Harahab mengatakan perdebatan soal ambang batas PT bukan hal baru di setiap menjelang pemilu. Hal tersebut membuktikan kuatnya tarik-tarikan kepentingan menjelang perhelatan pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

"Sejak presiden dan wakilnya dipilih langsung, perdebatan soal PT terus terjadi. Kepentingannya ya setiap parpol ingin mencalonkan jagoannya masing-masing," ujar Fadhli saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (23/1/2021).

Namun demikian, sejak saat itu tidak pernah terjadi PT di bawah 5% atau 0%. Mengingat penyederhanaan proses pemilihan lebih dikedepankan. Alhasil yang ikut bertarung hanya dua pasangan calon.

"Praktis dengan adanya PT hanya melahirkan dua sampai tiga pasangan calon. Tetapi pada implementasinya ya cuma dua pasang saja," terangnya.

Revisi UU Pemilu kali ini akan menjadi pembuktian, apakah demokrasi akan mengahadirkan banyak calon atau justru hanya akan menjadi pertarungan dua atau bahkan pasangan tunggal.

"Kalau saya lihat suara parpol masih terbelah, ada yang ingin tetap, ada yang ingin dikurangi bahkan dihapus. Parpol papan atas ingin PT tetap 20 persen, papan tengah ingin dikurangi dan parpol papan bawah ingin dihapus. Saya kira tergantung political will elite parpol apakah ingin demokrasi ini berjalan baik atau stagnan," tukasnya.

Lebih lanjut, Analis Politik asal UIN Jakarta itu berpendapat, idealnya demokrasi langsung juga memiliki alternatif bagaimana rakyat dapat memiliki banyak pilihan. Sehingga proses legitimasi atas kekuasaan oleh rakyat akan lebih kuat.

"Ya kalau cuma satu atau dua pasangan calon, bagaimana mungkin legitimasinya akan menguat. Justru, kecenderungan otoritarian elektoral dimungkinkan. Secara prosedural demokrasi berjalan, lembaga pemilu ada. Tetapi rakyat cuma disodori dua pasangan calon," pungkasnya.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1234 seconds (0.1#10.140)