Hanya Kurangi Vonis Penjara, Putusan Banding Jerinx Bisa Bikin Malapetaka
loading...
A
A
A
(Baca: Putusan Banding, Hukuman Wawan Ditambah Jadi 7 Tahun Penjara)
Dia menjelaskan, perlu diingatkan kembali bahwa pernyataan Jerinx ditujukan kepada IDI sebagai organisasi, yang memiliki dimensi kepentingan publik. Dengan demikian, maka jelas harus dipisahkan dengan perasaan personal dokter.
Erasmus memaparkan, majelis hakim banding harusnya bisa melihat bahwa tidak tepat untuk menyatakan Organisasi Profesi sebagai “antargolongan” yang dilindungi oleh Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Menyamakan profesi dengan suku, agama dan Ras jelas merendahkan standar yang ingin dituju oleh pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 156 KUHP.
Terlebih lagi, tutur Erasmus, yang dikritik oleh Jerinx adalah IDI yang merupakan sebuah lembaga berbadan hukum dan tidak secara serta merta sama dengan golongan dokter pada umumnya. Karenanya kata dia, putusan hakim tingkat pertama jelas berbahaya bagi iklim demokrasi di Indonesia.
"Dengan kondisi ini, maka setiap lembaga profesi bisa melaporkan adanya penyebaran kebencian untuk mewakili profesi tertentu, lebih berbahaya, Hakim dalam kasus ini menyamakan profesi dengan suku, agama dan ras," bebernya.
Dia menambahkan, bagi ICJR harusnya jika argumen hakim pengadilan banding adalah mengenai keadilan, tidak ada alasan bagi majelis hakim banding untuk menguatkan putusan bersalah Jerinx di tingkat PN. Lebih mengecewakan, hakim banding telah melewatkan kesempatan untuk mengoreksi pertimbangan hakim tingkat pertama yang dapat berujung pada malapetaka di Indonesia.
Dia menjelaskan, perlu diingatkan kembali bahwa pernyataan Jerinx ditujukan kepada IDI sebagai organisasi, yang memiliki dimensi kepentingan publik. Dengan demikian, maka jelas harus dipisahkan dengan perasaan personal dokter.
Erasmus memaparkan, majelis hakim banding harusnya bisa melihat bahwa tidak tepat untuk menyatakan Organisasi Profesi sebagai “antargolongan” yang dilindungi oleh Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Menyamakan profesi dengan suku, agama dan Ras jelas merendahkan standar yang ingin dituju oleh pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 156 KUHP.
Terlebih lagi, tutur Erasmus, yang dikritik oleh Jerinx adalah IDI yang merupakan sebuah lembaga berbadan hukum dan tidak secara serta merta sama dengan golongan dokter pada umumnya. Karenanya kata dia, putusan hakim tingkat pertama jelas berbahaya bagi iklim demokrasi di Indonesia.
"Dengan kondisi ini, maka setiap lembaga profesi bisa melaporkan adanya penyebaran kebencian untuk mewakili profesi tertentu, lebih berbahaya, Hakim dalam kasus ini menyamakan profesi dengan suku, agama dan ras," bebernya.
Dia menambahkan, bagi ICJR harusnya jika argumen hakim pengadilan banding adalah mengenai keadilan, tidak ada alasan bagi majelis hakim banding untuk menguatkan putusan bersalah Jerinx di tingkat PN. Lebih mengecewakan, hakim banding telah melewatkan kesempatan untuk mengoreksi pertimbangan hakim tingkat pertama yang dapat berujung pada malapetaka di Indonesia.
(muh)