Sinovac Sensitif, Epidemiolog Sebut Dampak Kerusakan Vaksin Tak Sampai Menjadi Kanker
loading...
A
A
A
JAKARTA - Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman menyatakan vaksin adalah produk kesehatan yang sensitif. Untuk itu dibutuhkan penyimpanan vaksin dalam suhu yang tepat.
Hal itu dikatakan Dicky merespons pernyataan Profesor dari Imperial's Department of Chemical Engineering and Future Vaccine Manufacturing Research Hub, Jason Hallett yang menyebut vaksin yang tak disimpan dalam suhu tertentu bisa berubah menjadi racun. (Baca juga: Vaksinasi COVID-19 Perdana Digelar Besok, Ridwan Kamil Sebut Penolak Vaksin Sumber Penyakit)
"Sensitif itu artinya mudah rusak oleh sinar ultra violet, sinar panas dan juga (suhu) terlalu dingin, beku. Jadi tiga itu ya, jadi sangat sensitif," ujar Dicky saat dihubungi SINDOnews, Rabu (13/1/2021).
Namun begitu, Dicky mengatakan, kerusakannya akan bervariasi tergantung vaksin tersebut. Menurutnya, jika vaksin Sinovac yang telah lolos uji klinis dan mulai disuntikkan ke sejumlah pihak termasuk Presiden Jokowi, umumnya vaksin ini akan sama seperti juga vaksin BCG, Campak, dan Rubela yang juga begitu sensitif dengan ultra violet, panas dan pembekuan.
"Suhunya antara minus 2 dan 8 derajat, itu yang harus dijaga itu yang disebut 'cold chain' namanya," jelasnya.
Dicky menuturkan jika kemudian vaksin Sinovac itu sewaktu-waktu salah menyimpannya sehingga rusak maka secara fisik kerusakan itu tidak terlihat. Dengan kata lain, vaksin yang rusak tersebut tidak menampilkan perubahan secara kualitas.
"Jadi yang terjadi adalah kehilangan potensinya. Jadi (kalau) kita suntikan dampak yang timbul, proteksi, reaksi kekebalan beberapa hari itu tidak muncul akibat keruskan (vaksin) ini," paparnya.
"Artinya memang dalam standar selain pemantauan suhu ada semacam quality control yang dikerjasamakan perusahaan vaksinnya sama pemerintah," imbuh Dicky.
Lebih lanjut, Dicky menyatakan untuk menjaga kualitas vaksin ini maka diperlukan pemeriksaan dan tes laboratorium dari tim vaksinasi untuk mengukur, serta memastikan bahwa vaksin dalam trial itu masih memiliki potensi untuk mencegah virus.
"Ini yang harus dilakukan. Bagaimana kalau dia (vaksin) kena matahari, artinya di luar standar penyimpanan, ya kalau rusak ya risikonya tidak ada jadi kanker, atau jadi ya (hanya) enggak ada efeknya, enggak ada potensinya (pencegahan)," ungkapnya.
Dia menegaskan akibat dari kerusakan vaksin maka potensi proteksinya tidak terjadi. Sehingga menurutnya dibutuhkan rantai dingin yang harus dijaga dan prosedur harus penyimpanan harus tetap terjaga. (Baca juga:BPJPH: Sertifikasi Halal Vaksin Sinovac Wujud Kepatuhan terhadap UU)
"Dari pengambilan di kulkas itu sudah ada SOP-nya yang ini harus ditaati dan ini harus dilatih ya pada tenaga-tenaga kesehatan yang menjadi pelaku (petugas vaksinasi) nanti, penyuntikan kemudian ada yang disebut dengan jaminan mutu ya, quality control dari vaksin itu," pungkasnya.
Hal itu dikatakan Dicky merespons pernyataan Profesor dari Imperial's Department of Chemical Engineering and Future Vaccine Manufacturing Research Hub, Jason Hallett yang menyebut vaksin yang tak disimpan dalam suhu tertentu bisa berubah menjadi racun. (Baca juga: Vaksinasi COVID-19 Perdana Digelar Besok, Ridwan Kamil Sebut Penolak Vaksin Sumber Penyakit)
"Sensitif itu artinya mudah rusak oleh sinar ultra violet, sinar panas dan juga (suhu) terlalu dingin, beku. Jadi tiga itu ya, jadi sangat sensitif," ujar Dicky saat dihubungi SINDOnews, Rabu (13/1/2021).
Namun begitu, Dicky mengatakan, kerusakannya akan bervariasi tergantung vaksin tersebut. Menurutnya, jika vaksin Sinovac yang telah lolos uji klinis dan mulai disuntikkan ke sejumlah pihak termasuk Presiden Jokowi, umumnya vaksin ini akan sama seperti juga vaksin BCG, Campak, dan Rubela yang juga begitu sensitif dengan ultra violet, panas dan pembekuan.
"Suhunya antara minus 2 dan 8 derajat, itu yang harus dijaga itu yang disebut 'cold chain' namanya," jelasnya.
Dicky menuturkan jika kemudian vaksin Sinovac itu sewaktu-waktu salah menyimpannya sehingga rusak maka secara fisik kerusakan itu tidak terlihat. Dengan kata lain, vaksin yang rusak tersebut tidak menampilkan perubahan secara kualitas.
"Jadi yang terjadi adalah kehilangan potensinya. Jadi (kalau) kita suntikan dampak yang timbul, proteksi, reaksi kekebalan beberapa hari itu tidak muncul akibat keruskan (vaksin) ini," paparnya.
"Artinya memang dalam standar selain pemantauan suhu ada semacam quality control yang dikerjasamakan perusahaan vaksinnya sama pemerintah," imbuh Dicky.
Lebih lanjut, Dicky menyatakan untuk menjaga kualitas vaksin ini maka diperlukan pemeriksaan dan tes laboratorium dari tim vaksinasi untuk mengukur, serta memastikan bahwa vaksin dalam trial itu masih memiliki potensi untuk mencegah virus.
"Ini yang harus dilakukan. Bagaimana kalau dia (vaksin) kena matahari, artinya di luar standar penyimpanan, ya kalau rusak ya risikonya tidak ada jadi kanker, atau jadi ya (hanya) enggak ada efeknya, enggak ada potensinya (pencegahan)," ungkapnya.
Dia menegaskan akibat dari kerusakan vaksin maka potensi proteksinya tidak terjadi. Sehingga menurutnya dibutuhkan rantai dingin yang harus dijaga dan prosedur harus penyimpanan harus tetap terjaga. (Baca juga:BPJPH: Sertifikasi Halal Vaksin Sinovac Wujud Kepatuhan terhadap UU)
"Dari pengambilan di kulkas itu sudah ada SOP-nya yang ini harus ditaati dan ini harus dilatih ya pada tenaga-tenaga kesehatan yang menjadi pelaku (petugas vaksinasi) nanti, penyuntikan kemudian ada yang disebut dengan jaminan mutu ya, quality control dari vaksin itu," pungkasnya.
(kri)