Prospek dan Tantangan 48 Tahun PDIP

Senin, 11 Januari 2021 - 06:45 WIB
loading...
Prospek dan Tantangan 48 Tahun PDIP
Adi Prayitno (Foto Istimewa)
A A A
Adi Prayitno
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik

PDI PERJUANGAN (PDIP) genap berusia 48 tahun pada 10 Januari 2021. Usia yang relatif tua, hampir seumur usia kemerdekaan Republik Indonesia. Beragam pahit manis serta cobaan politik sudah dilalui partai ini. Pernah menjadi objek kekejaman rezim Orde Baru, merasakan jalan sunyi sebagai oposisi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan kini partai besutan Megawati Soekarnoputri ini menjadi penguasa dua periode.

Di tengah melemahnya identitas kepartaian (party ID), satu hal yang perlu dipelajari dari sejarah panjang perjuangan PDIP adalah tentang pentingnya membangun basis politik di level grass root. Terlepas dari kritik yang saban hari menghantam, harus diakui PDIP menjelma sebagai partai yang sukses membangun basis pemilih solid seperti di Jawa Tengah yang dikenal sebagai kandang Banteng. Bergeser sedikit ke Jawa Timur misalnya, Kota Surabaya menjadi contoh sahih solidnya PDIP dengan istilah “basis merah”.

Sebagai partai pemenang pemilu, PDIP tanpa henti dihantam serangan politik. Mulai dari tuduhan partai yang tidak ramah terhadap umat Islam, dituding prokomunis karena dinilai sebagai inisiator utama Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) hingga munculnya tagar desakan pembubaran PDIP di media sosial lantaran banyak kader yang terjaring korupsi. Tentu saja tidak mudah melalui semua gelombang politik yang bisa menghantarkan PDIP menjadi kuat seperti saat ini.

Anehnya di tengah merosotnya kepercayaan publik, kasus korupsi, serta tudingan anti-Islam, elektabilitas PDIP justru melambung paling tinggi sebagaimana tampak dari hasil riset berbagai lembaga survei. Temuan survei Parameter Politik Indonesia yang dilakukan selama tiga kali sepanjang 2020, yakni Februari, Agustus, dan Desember, menunjukkan hasil serupa. Elektabilitas PDIP fluktuatif di kisaran minimal 17% dan maksimal 20%. Tetap unggul jauh bila dibandingkan dengan partai politik lain.

Ada sejumlah temuan menarik kenapa PDIP tetap kokoh di puncak survei. Pertama, dalam top of mind publik, PDIP dipersepsikan sebagai partai yang merakyat, kerja politik kader di bawah dirasakan langsung. Itu artinya anatomi kekuatan politik PDIP terletak pada kuatnya penetrasi kerja kader di bawah. Tidak melulu bergantung pada karisma sang ketua umum. Tentu ini menarik. Di satu sisi, di level elite publik, PDIP kerap mendapat stigma negatif, tetapi di basis akar rumput justru sebaliknya.

Kedua, PDIP dinilai sebagai partai politik yang berhasil mencetak kepala daerah yang populis dan populer. Contoh konkretnya Joko Widodo (Jokowi) yang memulai jalan panjang politik dari Solo, lalu menjadi gubernur DKI Jakarta hingga jadi presiden dengan citra politik merakyat. Fenomena terkini tentu mencuatnya Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini yang dipersepsikan sukses bekerja serta dekat dengan rakyat. Dalam banyak hal, politik itu soal citra, bukan yang lain.

Menyiapkan Regenerasi
Meski usia sudah cukup berumur dan dua periode berkuasa, bukan berarti PDIP tanpa cela. Jika diiris sederhana, masalah utama partai ini menyangkut kesiapan dalam melakukan regenerasi kepemimpinan pasca-Megawati. Apa pun alasannya, estafet kepemimpinan perkara alamiah yang pasti terjadi pada setiap partai politik. Pergantian pucuk pimpinan partai sangat niscaya. Tak bisa dihindari, apalagi ditolak. Tinggal menunggu waktu.

Saat ini momentum yang tepat bagi PDIP untuk menyiapkan sosok yang dianggap cocok melanjutkan estafet puncak pimpinan partai mumpung karisma politik Megawati masih sangat dominan. Bahkan menjadi satu-satunya figur yang punya veto player terhadap arah kebijakan partai. Tak perlu menunggu gejolak yang potensial muncul kapan saja berbarengan dengan situasi politik yang terus bergerak dinamis.

Regenerasi kepemimpinan partai penting segera dipikirkan PDIP mengingat masih ada figur kunci Megawati yang bisa menyatukan dan menjaga stabilitas berbagai “mazhab politik” internal. Sudah banyak kasus bahwa gejolak politik internal kerap melahirkan sempalan partai politik baru karena tak puas dengan mekanisme suksesi pergantian elite partai. Jangankan partai sebesar PDIP, partai kecil menengah saja langganan konflik tak berkesudahan sebagai efek persoalan suksesi kepemimpinan.

PDIP punya surplus kader yang bisa dipersiapkan mulai sekarang meski secara strata politik, trah Soekarno masih sangat dominan dan tak tergantikan. Namun perbincangan publik soal anak biologis dan ideologis Soekarno sebagai suksesor sebenarnya mengarah pada sejumlah nama favorit yang kadung menjadi rahasia umum. Publik sudah bisa menebak dengan mudah. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk regenerasi.

Setidaknya, jika regenerasi lekas dilakukan, Megawati bisa menjadi mentor secara langsung. Memapah serta mengajari bagaimana membesarkan partai yang kenyang asam garam kehidupan politik. Tentu tak mudah karena masa transisi kepemimpinan selalu menyisakan gejolak. Namun upaya regenerasi perlu dipikirkan matang. Entah itu kapan, yang jelas soal ini akan menjadi isu krusial di masa mendatang.

Berdamai dengan Islam
Terlepas dari urusan politik elektoral, salah satu problem mendasar yang dihadapi PDIP saat ini, mungkin juga ke depan, adalah soal renggangnya hubungan dengan kelompok Islam tertentu. Terutama Islam kanan yang agresif memperjuangkan jargon Islam di ruang publik. Sepanjang dua periode berkuasa, ketegangan tak kunjung reda. Bahkan makin keras. Apalagi setelah Front Pembela Islam (FPI) bubar, serangan terhadap PDIP kian kencang. Sahut-sahutan tagar bubarkan FPI dan PDIP di ruang maya masih berlanjut hingga sekarang.

Ada kecenderungan ketika segala hal terjadi dengan kelompok Islam tertentu, serangan sporadis politik selalu mengarah ke PDIP, bukan partai pendukung Jokowi lainnya. Mulai isu kriminalisasi ulama, penangkapan aktivis hingga pembubaran FPI, isunya dilokalisasi dengan hanya menyasar PDIP. Tentu ini tak kondusif bagi keberlanjutan politik di masa yang akan datang. PDIP dinilai mewakili nasionalis kiri versus kelompok Islam kanan.

Memang harus diakui, sepeninggal Taufik Kiemas, Baitul Muslimin sebagai wadah akomodasi politisi Islam tak terlampau jelas manuver politiknya. Terutama dalam membangun jembatan pengertian dengan kelompok Islam di luar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Warna Islam yang sempat membauri PDIP secara perlahan pudar seiring mengerasnya hubungan dengan kelompok Islam kanan.

Di usia yang makin menua, tentu persoalan ini juga penting dipikirkan oleh PDIP guna menganyam hubungan politik yang kembali mesra dengan kelompok Islam tertentu. Suka tak suka, PDIP merepresentasikan wajah negara. Berbagai peristiwa mutakhir makin menebalkan tesis tentang ketegangan relasi negara dengan Islam yang berlangsung sejak era Soekarno.

Publik tanpa henti terus menuding PDIP tak ramah Islam. Korespondensi politiknya akan selalu dikaitkan dengan pembubaran Masyumi di masa pemerintahan Orde Lama. Secara elektoral, kelompok Islam kanan mungkin tak terlampau menggiurkan karena persentasenya minimalis. Namun demi menjaga tautan batin kebangsaan, berdamai dengan mereka perlu juga dilakukan.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0980 seconds (0.1#10.140)