Temuan LSI: Pilkada 2020 Masih Diwarnai Politik Uang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis survei nasional bertajuk Pilkada dan Politik Uang di Masa Wabah Covid-19. Rilis survei disampaikan secara online atau daring pada Minggu 10 Januari 2021.
Dalam survei tersebut, terungkap masih ditemukan adanya politik uang dalam Pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19.
"Menjelang Pilkada serentak 20 Desember 2020, cukup banyak yang mengaku mendapat tawaran uang atau barang (17 persen), atau mengetahui bahwa warga di lingkungan mereka mendapat tawaran tersebut (20 persen). Dari yang mendapat tawaran, cukup banyak yang terpengaruh uang atau pemberian yang ditawarkan tersebut (36 persen), meskipun tidak mayoritas," tutur Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan dalam rilis survei yang disiarkan melalui akun Youtube dan Facebook LSI, Minggu (10/1/2021).
Menurut dia, politik uang masih banyak menyasar kalangan bawah dan perdesaan. "Politik uang banyak menyasar kalangan bawah, baik dari segi pendidikan, segi kelas sosial pendapatan dan dari segi tempat tinggal desa dan kota," paparnya. (Baca juga: 21 Sampel DNA Keluarga Korban Pesawat Sriwijaya Telah Diterima DVI Polri)
Mengenai bentuk apa saja yang ditawarkan dalam politik uang, Djayadi melanjutkan, kebanyakan uang dan sembako. Sebanyak 36% responden mengaku pernah ditawari uang dan barang dan mengakui pemberian tersebut berpengaruh terhadal pilihan mereka.
"Kalau dilihat cukup tinggi pengaruhnya cukup tinggi, itulah salah satu alasan kenapa politik uang masih marak di pilkada tahun ini," kata Djayadi. (Baca juga:34 Keluarga Penumpang dan Awak Sriwijaya Air Melapor ke Crisis Center Bandara Soetta)
Secara umum, kata Djayadi, warga yang memiliki pengalaman politik uang cukup tinggi. Sekitar 30,8% pernah ditawari uang atau barang untuk memilih partai atau anggota legislatif, 26,5% pernah ditawari uang atau barang agar memilih capres atau cawapres tertentu, 25,6% pernah ditawari uang atau barang agar memilih calon gubernur tertentu, 27,1% pernah ditawari uang atau barang agar memilih bupati/wali kota tertentu.
Bahkan, kata Djayadi, sekitar 29% pemilih menilai politik uang wajar, jumlahnya berimbang antara wilayah pilkada dan tanpa pilkada. Mereka yang menilai politik uang sebagai hal wajar, mayoritas akan menerima uang tetapi memilih sesuai hati nurani.
"Hal ini menunjukkan bahwa baik di level sikap maupun tingkah laku, warga cukup toleran terhadap politik uang dan pernah mengalaminya pada berbagai tingkatan pemilu. Dengan demikian, upaya untuk menyosialisasikan pemilu tanpa politik uang masih harus terus dilakukan," ucap Djayadi.
Mengenai metodologi survei yang digunakan, Djayadi menjelaskan di awal bahwa survei ini bersifat survei nasiona melalui telepon. Ada 2.000 responden yang berhasil diwawancarai.
Responden ini dipilih secara acak dari database nomor telepon yang dimiliki LSI dari wawancara tatap muka langsung yang dikumpulkan 2 tahun belakanhan. Dengan jumlah 2.000 responden itu dan simple random sampling maka tingkat kepercayaannya 95% dengan margin of error diperkirakan +-2,2%.
"Secara umum, data yang kita dapat cukup representatif dari segi geografi, dari segi desa, kota, dari segi agama dan lain-lainnya," ucap Djayadi.
Dalam survei tersebut, terungkap masih ditemukan adanya politik uang dalam Pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19.
"Menjelang Pilkada serentak 20 Desember 2020, cukup banyak yang mengaku mendapat tawaran uang atau barang (17 persen), atau mengetahui bahwa warga di lingkungan mereka mendapat tawaran tersebut (20 persen). Dari yang mendapat tawaran, cukup banyak yang terpengaruh uang atau pemberian yang ditawarkan tersebut (36 persen), meskipun tidak mayoritas," tutur Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan dalam rilis survei yang disiarkan melalui akun Youtube dan Facebook LSI, Minggu (10/1/2021).
Menurut dia, politik uang masih banyak menyasar kalangan bawah dan perdesaan. "Politik uang banyak menyasar kalangan bawah, baik dari segi pendidikan, segi kelas sosial pendapatan dan dari segi tempat tinggal desa dan kota," paparnya. (Baca juga: 21 Sampel DNA Keluarga Korban Pesawat Sriwijaya Telah Diterima DVI Polri)
Mengenai bentuk apa saja yang ditawarkan dalam politik uang, Djayadi melanjutkan, kebanyakan uang dan sembako. Sebanyak 36% responden mengaku pernah ditawari uang dan barang dan mengakui pemberian tersebut berpengaruh terhadal pilihan mereka.
"Kalau dilihat cukup tinggi pengaruhnya cukup tinggi, itulah salah satu alasan kenapa politik uang masih marak di pilkada tahun ini," kata Djayadi. (Baca juga:34 Keluarga Penumpang dan Awak Sriwijaya Air Melapor ke Crisis Center Bandara Soetta)
Secara umum, kata Djayadi, warga yang memiliki pengalaman politik uang cukup tinggi. Sekitar 30,8% pernah ditawari uang atau barang untuk memilih partai atau anggota legislatif, 26,5% pernah ditawari uang atau barang agar memilih capres atau cawapres tertentu, 25,6% pernah ditawari uang atau barang agar memilih calon gubernur tertentu, 27,1% pernah ditawari uang atau barang agar memilih bupati/wali kota tertentu.
Bahkan, kata Djayadi, sekitar 29% pemilih menilai politik uang wajar, jumlahnya berimbang antara wilayah pilkada dan tanpa pilkada. Mereka yang menilai politik uang sebagai hal wajar, mayoritas akan menerima uang tetapi memilih sesuai hati nurani.
"Hal ini menunjukkan bahwa baik di level sikap maupun tingkah laku, warga cukup toleran terhadap politik uang dan pernah mengalaminya pada berbagai tingkatan pemilu. Dengan demikian, upaya untuk menyosialisasikan pemilu tanpa politik uang masih harus terus dilakukan," ucap Djayadi.
Mengenai metodologi survei yang digunakan, Djayadi menjelaskan di awal bahwa survei ini bersifat survei nasiona melalui telepon. Ada 2.000 responden yang berhasil diwawancarai.
Responden ini dipilih secara acak dari database nomor telepon yang dimiliki LSI dari wawancara tatap muka langsung yang dikumpulkan 2 tahun belakanhan. Dengan jumlah 2.000 responden itu dan simple random sampling maka tingkat kepercayaannya 95% dengan margin of error diperkirakan +-2,2%.
"Secara umum, data yang kita dapat cukup representatif dari segi geografi, dari segi desa, kota, dari segi agama dan lain-lainnya," ucap Djayadi.
(dam)