Harga BBM dan Wabah Virus Korona
loading...
A
A
A
Keempat, murahnya harga BBM kontra produktif dengan upaya mengoptimalkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT). BBM murah akan mematikan upaya mengeksplorasi EBT yang sudah mulai menjadi fokus. Ingat, selama puluhan tahun setidaknya sejak 1960-an kita terkena kutukan energi fosil, fenomena oil boom. Padahal Indonesia adalah negeri gemah ripah loh jinawi soal EBT. Mulai dari panas bumi (geotermal) yang sangat melimpah, nomor satu di dunia dengan 40 persen cadangan panas bumi dunia.
Jika harga minyak dijual murah, maka praktis EBT tidak akan pernah berkembang, bahkan mati.
Kelima, harga BBM yang sangat murah juga tidak sejalan dengan manajemen transportasi publik. Sebab, mendorong migrasi besar-besaran ke kendaraan bermotor pribadi. Harga BBM murah menjadi ancaman serius bagi transportasi publik masal yang kini makin aksis, seperti Commuter Line, Transjakarta, MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan segera menyusul LRT Jabodebek.
Jika hanya membandingkan dengan harga BBM di Malaysia, faktanya memang harga BBM di Indonesia lebih mahal. Tetapi, jika merujuk pada data Global Petrol Price, per 23 April 2020; ternyata rerata harga BBM nonsubsidi di Indonesia masih di bawah rerata harga BBM di ASEAN. Terbukti harga BBM nonsubsidi di Indonesia untuk kategori bensin mencapai USD0,58 per liter dan untuk kategori diesel harganya USD0,63 per liter. Sedangkan rerata harga di level ASEAN untuk komoditas dan jenis yang sama adalah kategori bensin USD0,77 per liter dan kategori diesel USD0,67 per liter. Harga BBM jenis yang sama di Singapura, Thailand, Philipina, bahkan Laos dan Kamboja masih lebih mahal dibanding harga BBM di Indonesia. Di Singapura harganya USD1,40/liter untuk bensin dan USD1,116/liter untuk diesel.
Lagi pula dalam memformulasikan harga BBM tidak serta merta mempertimbangkan aspek harga minyak mentah atau MOPS saja, tetapi faktor sulitnya distribusi BBM di Indonesia. Konon distribusi BBM di Indonesia tersulit di dunia dan hal ini sangat berdampak terhadap harga (cost) secara keseluruhan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kondisi geografisnya amat sulit dan ekstrem untuk distribusi BBM. Inilah yang sangat membedakan distribusi BBM di negara di ASEAN atau bahkan di dunia.
Sebagai contoh, untuk mengirim BBM ke Wamena, Papua, diperlukan tiga moda transportasi sekaligus, yaitu darat, laut, dan udara. Dampaknya ongkos angkut yang fantastis, Rp11.000 per liter, jauh lebih mahal dibandingkan harga BBM-nya sendiri, yakni Rp 6.500 per liter (premium). Mahalnya ongkos angkut ini ditanggung operator (PT Pertamina) dan tak sepeser pun uang regulator yang menetes untuk menanggungnya, termasuk untuk program kebijakan BBM satu harga sekalipun.
Jadi, dalam menentukan harga BBM di Indonesia harus multi-perspektif, bukan semata perspektif ekonomi global (MOPS) dan atau perspektif sosial ekonomi nasional saja, tetapi juga harus mengusung perspektif lingkungan, transportasi, dan kebijakan energi yang berkelanjutan bahkan perspektif kesehatan. Tanpa memerhatikan hal tersebut, maka menurunkan harga BBM bukan instrumen ampuh untuk menyejahterakan masyarakat, tetapi malah menjadi kebijakan kontra produktif dan “muspro” alias sia-sia.
Jika harga minyak dijual murah, maka praktis EBT tidak akan pernah berkembang, bahkan mati.
Kelima, harga BBM yang sangat murah juga tidak sejalan dengan manajemen transportasi publik. Sebab, mendorong migrasi besar-besaran ke kendaraan bermotor pribadi. Harga BBM murah menjadi ancaman serius bagi transportasi publik masal yang kini makin aksis, seperti Commuter Line, Transjakarta, MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan segera menyusul LRT Jabodebek.
Jika hanya membandingkan dengan harga BBM di Malaysia, faktanya memang harga BBM di Indonesia lebih mahal. Tetapi, jika merujuk pada data Global Petrol Price, per 23 April 2020; ternyata rerata harga BBM nonsubsidi di Indonesia masih di bawah rerata harga BBM di ASEAN. Terbukti harga BBM nonsubsidi di Indonesia untuk kategori bensin mencapai USD0,58 per liter dan untuk kategori diesel harganya USD0,63 per liter. Sedangkan rerata harga di level ASEAN untuk komoditas dan jenis yang sama adalah kategori bensin USD0,77 per liter dan kategori diesel USD0,67 per liter. Harga BBM jenis yang sama di Singapura, Thailand, Philipina, bahkan Laos dan Kamboja masih lebih mahal dibanding harga BBM di Indonesia. Di Singapura harganya USD1,40/liter untuk bensin dan USD1,116/liter untuk diesel.
Lagi pula dalam memformulasikan harga BBM tidak serta merta mempertimbangkan aspek harga minyak mentah atau MOPS saja, tetapi faktor sulitnya distribusi BBM di Indonesia. Konon distribusi BBM di Indonesia tersulit di dunia dan hal ini sangat berdampak terhadap harga (cost) secara keseluruhan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kondisi geografisnya amat sulit dan ekstrem untuk distribusi BBM. Inilah yang sangat membedakan distribusi BBM di negara di ASEAN atau bahkan di dunia.
Sebagai contoh, untuk mengirim BBM ke Wamena, Papua, diperlukan tiga moda transportasi sekaligus, yaitu darat, laut, dan udara. Dampaknya ongkos angkut yang fantastis, Rp11.000 per liter, jauh lebih mahal dibandingkan harga BBM-nya sendiri, yakni Rp 6.500 per liter (premium). Mahalnya ongkos angkut ini ditanggung operator (PT Pertamina) dan tak sepeser pun uang regulator yang menetes untuk menanggungnya, termasuk untuk program kebijakan BBM satu harga sekalipun.
Jadi, dalam menentukan harga BBM di Indonesia harus multi-perspektif, bukan semata perspektif ekonomi global (MOPS) dan atau perspektif sosial ekonomi nasional saja, tetapi juga harus mengusung perspektif lingkungan, transportasi, dan kebijakan energi yang berkelanjutan bahkan perspektif kesehatan. Tanpa memerhatikan hal tersebut, maka menurunkan harga BBM bukan instrumen ampuh untuk menyejahterakan masyarakat, tetapi malah menjadi kebijakan kontra produktif dan “muspro” alias sia-sia.
(jon)